Â
Di sebuah ruang sempit yang penuh buku, ia duduk, merangkum dunia dalam sunyi. Namanya Arif, seorang yang lebih sering berbicara dengan kertas daripada manusia.
Hidupnya adalah rutinitas yang tak pernah meleset---kantor, perpustakaan, kamar kos yang dingin. Tapi sejak ia melihatnya, rutinitas itu bergeser, seperti orbit yang menemukan gravitasi baru.
Dia, Kirana, adalah segala hal yang tidak ia miliki. Suaranya mengalun di ruang rapat, mencuri perhatian bahkan dari waktu yang berjalan. Wajahnya, dengan senyum yang lebih terang dari cahaya lampu neon di kantor, adalah kontras yang mencolok dari dirinya yang selalu tenggelam di balik bayang.
Mereka bekerja di gedung yang sama, tetapi hidup di dunia yang berbeda. Kirana adalah bintang di tengah galaksi: memancarkan warna di setiap ruang yang ia masuki, menjadi pusat perbincangan, sementara Arif adalah titik hitam kecil yang selalu menjaga jarak.
Di setiap pagi, Arif memperhatikan Kirana dari balik meja kerjanya. Tidak terlalu lama, hanya cukup untuk mencuri momen yang ia simpan dalam ingatan.
Sesekali, Kirana menoleh ke arahnya, dan ia berpura-pura sibuk mengetik sesuatu. Jantungnya selalu berdetak terlalu cepat, seperti sebuah mesin yang bekerja melampaui kapasitasnya.
Ia ingin berbicara padanya, tetapi keberanian itu seperti debu dalam genggaman: menghilang sebelum sempat ia sadari. Bagaimana mungkin seseorang seperti dia, yang hidupnya penuh dengan sunyi, menjadi cukup bagi seseorang seperti Kirana, yang hidupnya penuh warna?
Namun cinta, bahkan dalam sepi, memiliki caranya sendiri untuk merayap masuk. Arif mulai menulis puisi untuk Kirana---bait-bait yang ia sembunyikan di buku catatan kecil.
Puisi-puisi itu seperti cermin dari dirinya, penuh rasa tetapi tidak pernah cukup kuat untuk disuarakan.
"Kau adalah langit yang berwarna,
 aku hanyalah awan abu-abu yang lewat,
 yang dalam diam berharap,
sekali saja kau sempat menoleh."
Suatu hari, Kirana mendekatinya. Itu hari ulang tahun seorang rekan kerja, dan mereka semua berkumpul di pantry kantor. Kirana, dengan gelas kopi di tangan, berdiri di sampingnya.
"Arif, kan?" Kirana bertanya, suaranya seperti melodi sederhana yang mudah diingat.
Ia hanya mengangguk, gugup. Kata-kata menumpuk di kerongkongannya, tetapi tidak ada yang keluar.
"Kamu suka menyendiri, ya?" Kirana melanjutkan, senyumnya tipis tetapi tulus. "Aku sering lihat kamu di perpustakaan. Baca apa biasanya?"
Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan tentang buku-buku favoritnya, tentang puisi yang selalu ia baca sebelum tidur. Tetapi yang keluar hanyalah, "Ehm.. buku biasa."
Percakapan itu tidak berlangsung lama. Kirana dipanggil oleh seseorang, dan ia kembali tenggelam dalam kesendiriannya.
Tetapi malam itu, ia menulis lagi, lebih dalam, lebih jujur.
Â
Kirana
namamu,
seperti angin yang menyelinap lembut di sela daun,
meninggalkan jejak sunyi yang tak mampu kupeluk.
Aku,
hanyalah daun yang gemetar,
mencintai sepi dari langkahmu,
berharap angin itu,
meski sekali saja,
sudi berhenti,
tinggal lebih lama,
dan membisikkan rahasia waktu.
Hari-hari berlalu, dan Kirana tetap menjadi mimpi yang tidak berani ia kejar. Ia tahu, di dunia yang penuh warna seperti milik Kirana, dirinya hanyalah bayangan yang melintas tanpa suara.
Tetapi suatu malam, di kamar kosnya yang sepi, ia sadar: cinta, meskipun tak terucapkan, tidak pernah sia-sia. Ia mungkin tidak pernah cukup berani untuk mengungkapkannya, tetapi cinta itu telah memberinya sesuatu yang berharga---puisi-puisi yang menjadi saksi dari keindahan yang pernah ia rasakan.
Dan dengan itu, ia menutup buku catatannya, menyimpan semua puisi untuk Kirana di dalam laci.
Tidak ada penyesalan, hanya rasa syukur bahwa, setidaknya, di dunia yang penuh warna itu, ia pernah merasa menjadi bagian dari cerita, meskipun hanya sebagai bayang-bayang di pinggir panggung.
***
Arif memutuskan untuk tidak lagi hanya menjadi bayang-bayang. Setelah malam panjang penuh pergulatan batin, ia menyadari bahwa mungkin, ia tidak perlu menjadi seperti Kirana untuk bisa mencintainya. Cukup menjadi dirinya sendiri, dan keberanian kecil itu akan menjadi langkah pertama.
Pagi itu, ia membawa sebuah buku ke kantor---buku yang selama ini menjadi favoritnya, "Sebatang Pohon di Tepi Sungai". Di halaman depan, ia menyelipkan puisi yang ia tulis semalaman, puisi yang lebih seperti surat:
Kirana
Langit tidak selalu biru,
ada saat ia menjadi kelabu---
seperti jeda dalam musik,
senyap menunggu makna.
Aku mencintai kelabu itu:
tempat bayang-bayang memeluk sunyi,
tempat kata-kata tak lagi perlu terucap.
Aku ingin menjadi bayanganÂ
di ujung pandanganmu,
sekadar menjadi
sebutir debu di angin yang kau hembuskan,
atau denyut kecil di nadimu,
jika kau mengizinkannya.
Saat jam istirahat tiba, ia memberanikan diri untuk menghampiri meja Kirana. Jantungnya berdetak terlalu kencang, tetapi ia tidak membiarkannya menjadi alasan untuk mundur.
"Kirana," katanya pelan, suaranya hampir tertelan oleh keramaian kantor.
Kirana menoleh, tersenyum. "Arif? Ada apa?"
Ia menyerahkan buku itu dengan tangan gemetar. "Aku... aku pikir kamu mungkin suka ini."
Kirana mengambil buku itu, membaca sekilas halaman depan, lalu tersenyum lebih lebar. "Puisi ini kamu tulis?"
Arif hanya mengangguk, wajahnya memerah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik.
Namun Kirana, alih-alih canggung atau terkejut, malah tertawa kecil. "Arif, kamu tahu? Aku selalu penasaran dengan kamu. Selalu terlihat seperti punya banyak cerita, tapi terlalu sibuk menyembunyikannya."
Kirana membuka halaman pertama buku itu, lalu menatapnya. "Makan siang bareng nanti? Aku ingin dengar lebih banyak tentang puisi-puisi kamu."
Arif hampir tidak percaya apa yang ia dengar. Hanya dengan anggukan pelan, ia menjawab, "Tentu."
Siang itu, mereka duduk di kafe kecil di dekat kantor, berbicara tentang buku, puisi, dan hal-hal yang selama ini hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Kirana, ternyata, bukan hanya penuh warna, tetapi juga penuh ruang untuk mendengarkan. Ia tidak pernah menilai Arif sebagai kurang, melainkan sebagai bagian dari sesuatu yang ia ingin pelajari lebih jauh.
Hari-hari setelah itu, dunia Arif mulai berubah. Ia tidak lagi menjadi bayangan, tetapi menjadi bagian dari cerita yang akhirnya mulai ia tulis bersama Kirana.
Tidak sempurna, memang. Tetapi itu sudah cukup---karena cinta, pada akhirnya, adalah tentang keberanian untuk menerima seseorang apa adanya, termasuk dirinya sendiri.
Dan saat ia pulang malam itu, di tempat kosnya yang sunyi, ia tersenyum kecil.
Sunyi itu masih ada, tetapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian.
Bogor, 29 Desember 2024
Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H