Dan dengan itu, ia menutup buku catatannya, menyimpan semua puisi untuk Kirana di dalam laci.
Tidak ada penyesalan, hanya rasa syukur bahwa, setidaknya, di dunia yang penuh warna itu, ia pernah merasa menjadi bagian dari cerita, meskipun hanya sebagai bayang-bayang di pinggir panggung.
***
Arif memutuskan untuk tidak lagi hanya menjadi bayang-bayang. Setelah malam panjang penuh pergulatan batin, ia menyadari bahwa mungkin, ia tidak perlu menjadi seperti Kirana untuk bisa mencintainya. Cukup menjadi dirinya sendiri, dan keberanian kecil itu akan menjadi langkah pertama.
Pagi itu, ia membawa sebuah buku ke kantor---buku yang selama ini menjadi favoritnya, "Sebatang Pohon di Tepi Sungai". Di halaman depan, ia menyelipkan puisi yang ia tulis semalaman, puisi yang lebih seperti surat:
Kirana
Langit tidak selalu biru,
ada saat ia menjadi kelabu---
seperti jeda dalam musik,
senyap menunggu makna.
Aku mencintai kelabu itu:
tempat bayang-bayang memeluk sunyi,
tempat kata-kata tak lagi perlu terucap.
Aku ingin menjadi bayanganÂ
di ujung pandanganmu,
sekadar menjadi
sebutir debu di angin yang kau hembuskan,
atau denyut kecil di nadimu,
jika kau mengizinkannya.
Saat jam istirahat tiba, ia memberanikan diri untuk menghampiri meja Kirana. Jantungnya berdetak terlalu kencang, tetapi ia tidak membiarkannya menjadi alasan untuk mundur.
"Kirana," katanya pelan, suaranya hampir tertelan oleh keramaian kantor.
Kirana menoleh, tersenyum. "Arif? Ada apa?"