Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Sepi

30 Desember 2024   20:30 Diperbarui: 30 Desember 2024   13:28 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Image Creator, Bing.

Dan dengan itu, ia menutup buku catatannya, menyimpan semua puisi untuk Kirana di dalam laci.

Tidak ada penyesalan, hanya rasa syukur bahwa, setidaknya, di dunia yang penuh warna itu, ia pernah merasa menjadi bagian dari cerita, meskipun hanya sebagai bayang-bayang di pinggir panggung.

***

Arif memutuskan untuk tidak lagi hanya menjadi bayang-bayang. Setelah malam panjang penuh pergulatan batin, ia menyadari bahwa mungkin, ia tidak perlu menjadi seperti Kirana untuk bisa mencintainya. Cukup menjadi dirinya sendiri, dan keberanian kecil itu akan menjadi langkah pertama.

Pagi itu, ia membawa sebuah buku ke kantor---buku yang selama ini menjadi favoritnya, "Sebatang Pohon di Tepi Sungai". Di halaman depan, ia menyelipkan puisi yang ia tulis semalaman, puisi yang lebih seperti surat:

Kirana
Langit tidak selalu biru,
ada saat ia menjadi kelabu---
seperti jeda dalam musik,
senyap menunggu makna.

Aku mencintai kelabu itu:
tempat bayang-bayang memeluk sunyi,
tempat kata-kata tak lagi perlu terucap.

Aku ingin menjadi bayangan 
di ujung pandanganmu,
sekadar menjadi
sebutir debu di angin yang kau hembuskan,
atau denyut kecil di nadimu,
jika kau mengizinkannya.



Saat jam istirahat tiba, ia memberanikan diri untuk menghampiri meja Kirana. Jantungnya berdetak terlalu kencang, tetapi ia tidak membiarkannya menjadi alasan untuk mundur.

"Kirana," katanya pelan, suaranya hampir tertelan oleh keramaian kantor.

Kirana menoleh, tersenyum. "Arif? Ada apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun