"Arif, kan?" Kirana bertanya, suaranya seperti melodi sederhana yang mudah diingat.
Ia hanya mengangguk, gugup. Kata-kata menumpuk di kerongkongannya, tetapi tidak ada yang keluar.
"Kamu suka menyendiri, ya?" Kirana melanjutkan, senyumnya tipis tetapi tulus. "Aku sering lihat kamu di perpustakaan. Baca apa biasanya?"
Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan tentang buku-buku favoritnya, tentang puisi yang selalu ia baca sebelum tidur. Tetapi yang keluar hanyalah, "Ehm.. buku biasa."
Percakapan itu tidak berlangsung lama. Kirana dipanggil oleh seseorang, dan ia kembali tenggelam dalam kesendiriannya.
Tetapi malam itu, ia menulis lagi, lebih dalam, lebih jujur.
Â
Kirana
namamu,
seperti angin yang menyelinap lembut di sela daun,
meninggalkan jejak sunyi yang tak mampu kupeluk.
Aku,
hanyalah daun yang gemetar,
mencintai sepi dari langkahmu,
berharap angin itu,
meski sekali saja,
sudi berhenti,
tinggal lebih lama,
dan membisikkan rahasia waktu.
Hari-hari berlalu, dan Kirana tetap menjadi mimpi yang tidak berani ia kejar. Ia tahu, di dunia yang penuh warna seperti milik Kirana, dirinya hanyalah bayangan yang melintas tanpa suara.
Tetapi suatu malam, di kamar kosnya yang sepi, ia sadar: cinta, meskipun tak terucapkan, tidak pernah sia-sia. Ia mungkin tidak pernah cukup berani untuk mengungkapkannya, tetapi cinta itu telah memberinya sesuatu yang berharga---puisi-puisi yang menjadi saksi dari keindahan yang pernah ia rasakan.