Ia menyerahkan buku itu dengan tangan gemetar. "Aku... aku pikir kamu mungkin suka ini."
Kirana mengambil buku itu, membaca sekilas halaman depan, lalu tersenyum lebih lebar. "Puisi ini kamu tulis?"
Arif hanya mengangguk, wajahnya memerah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik.
Namun Kirana, alih-alih canggung atau terkejut, malah tertawa kecil. "Arif, kamu tahu? Aku selalu penasaran dengan kamu. Selalu terlihat seperti punya banyak cerita, tapi terlalu sibuk menyembunyikannya."
Kirana membuka halaman pertama buku itu, lalu menatapnya. "Makan siang bareng nanti? Aku ingin dengar lebih banyak tentang puisi-puisi kamu."
Arif hampir tidak percaya apa yang ia dengar. Hanya dengan anggukan pelan, ia menjawab, "Tentu."
Siang itu, mereka duduk di kafe kecil di dekat kantor, berbicara tentang buku, puisi, dan hal-hal yang selama ini hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Kirana, ternyata, bukan hanya penuh warna, tetapi juga penuh ruang untuk mendengarkan. Ia tidak pernah menilai Arif sebagai kurang, melainkan sebagai bagian dari sesuatu yang ia ingin pelajari lebih jauh.
Hari-hari setelah itu, dunia Arif mulai berubah. Ia tidak lagi menjadi bayangan, tetapi menjadi bagian dari cerita yang akhirnya mulai ia tulis bersama Kirana.
Tidak sempurna, memang. Tetapi itu sudah cukup---karena cinta, pada akhirnya, adalah tentang keberanian untuk menerima seseorang apa adanya, termasuk dirinya sendiri.
Dan saat ia pulang malam itu, di tempat kosnya yang sunyi, ia tersenyum kecil.
Sunyi itu masih ada, tetapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian.