Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas (“Soekarno, Mahathir dan Megawati”, 3 November 2003, dan terakhir “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan”, Kompas 9 Oktober 2024). Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Simfoni di Bawah Langit Ottawa

23 Desember 2024   15:07 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:07 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Image Creator, Bing)

Rafael sempat mendengar suara alarm mobil berbunyi, tubuhnya nyeri, nafasnya terasa sesak. Setelah itu gelap.

***

Isabelle masih di kantornya ketika telepon itu datang. Suara seorang kolega, mengatakan sesuatu yang membuat dunianya berhenti.  

"Rafael mengalami kecelakaan..!" kata suara di telpon itu.

Tangannya gemetar saat menutup telepon. Hatinya berguncang hebat. Pikirannya penuh dengan bayangan Rafael. Tanpa menunggu lama, dia meraih mantel dan berlari keluar.  

Di dalam taksi, Isabelle memikirkan segala hal yang tidak pernah dia katakan. Bagaimana dia sebenarnya tidak pernah benar-benar melupakan Rafael. Bagaimana dia merasa kehilangan setiap kali mengenang Paris. Dan bagaimana, jika Rafael pergi selamanya, dia tidak tahu apakah dia bisa menghadapinya.  

"Please," bisiknya, nyaris seperti doa. "Don't leave me again."  

***

Ketika Isabelle tiba di Ottawa Hospital, lorong-lorongnya terasa dingin, penuh dengan bau antiseptik yang menyesakkan. Isabelle berlari ke ruang gawat darurat. Dia hampir tidak mengenali Rafael yang terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dengan perban melilit di dahi dan lengan kirinya tergantung di gips.

Isabelle mendekat perlahan, matanya basah oleh air mata yang sudah lama ia tahan.
Rafael membuka matanya perlahan, seakan-akan mendengar kehadirannya.

"Tu es l," bisik Rafael, lemah tapi terdengar lega. "Kau datang." Pria itu membuka mata perlahan. Dan ketika pandangan mereka bertemu, sebuah senyum kecil muncul di wajah Rafael.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun