Mohon tunggu...
Lutfi Nasution
Lutfi Nasution Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Amatiran Ndeso

Biasa aja ... Masih Belajar dan Terus Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Gincu Vs Politik Garam Versi Ketum PAN

12 Januari 2020   20:35 Diperbarui: 12 Januari 2020   20:40 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan Gincu Vs Garam secara historis adalah dalam konteks perdebatan perjuangan Islam relasinya dengan negara. (bukan dengan Jokowi ya hihihi..

Pemikiran Pak Natsir mewakili "Islam Gincu" : Islam harus jadi Dasar Negara. Formal legal. Setuju dengan konsep Piagam Jakarta, memasukkan 7 kata : "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya".

Tapi pemikiran Pak Natsir ini berbeda dengan Bung Hatta. Bung Hatta mewakili "Islam Garam" : Islam tidak secara formal jadi Dasar Negara. Dasar Negara adalah Pancasila (sebagai negara nasional). Tidak Islam formal legal. Tidak simbolik. Tapi Islam substantif. Yaitu nilai-nilai Islam melekat dan mengisi kehidupan masyarakat dan bernegara.

Apakah Bung Hatta anti Islam?

Tidaklah. Strategi perjuangan Bung Hatta agar nyala api Islam tetap hidup dengam pendekatan substantif. Tidak simbolik. Bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara sebenarnya adalah hadiah umat Islam bagi bangsa Indonesia.

Islam sebagai value, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan negara. Islam yang rahmatan lil alamin harus mengisi dan menghiasi perjalanan bangsa.

Itulah himbauan ZH bahwa politik Islam Garam lebih relevan dan diterima oleh masyarakat majemuk. ZH tidak beretorika. ZH menawarkan politik Islam Garam karena sesuai dengan platfotm PAN, yang menghargai kemanusiaan dan pluralitas.

Dari sini, apakah sudah dapat di mengerti ?

Politik Islam Garam itu tidak ada hubungannya dengan deideologisasi partai politik. Dan istilah deideologisasi itu istilah masa rezim Orba, di mana Pancasila sebagai ideologi negara dipaksa sebagai satu-satunya asas tunggal bagi seluruh parpol. Tetap memakai ideologi versi pemerintah : Pancasila.

Perumpamaan pemaksaan ideologi tunggal di rezim Orba tidak tepat jika memakai istilah pak Daniel Bell, The End of Ideology. Kan tetap memakai ideologi Pancasila. Meskipun dengan paksaan memakai pistol.

Saat ini, ciri khas ideologi partai telah dijamin Undang-undang Pemilu (No.7/ 2017). Seluruh partai politik dijamin oleh UU untuk mencantumkan asas atau ciri khas ideologinya masing-masing. Bebas merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun