“Halaaaah, kalau bukan aku yang mencari nomor kontakmu, mana ada kamu mencari aku,” kata Rere sambil meminta Elang duduk.
“Hehehehe,” jawab Elang singkat merasa tak berdosa.
Setelah basa basi saling mengingat, Rere pun membahas hal yang lebih serius. “Lang, aku belum tahu kuliahku mau lanjut apa tidak. Kalau berhenti sayang tinggal tiga semester lagi. Kalau lanjut aku belum tahu, apa bisa,” ujar Rere.
Elang kaget, “kenapa? Biaya? Kenapa ndak mencoba sambil kerja?”
“Bukan. Bukan itu. Ehmm gimana yang ngomongnya. Boleh ndak aku minta pendapatmu. Selama ini kalau kamu kasih pendapat kan biasanya enak didengar, obyektif,” Rere mencoba mencari cara mengungkapkannya.
“Jadi, kenapa kok tiba-tiba berpikiran ndak bisa melanjutkan kuliah,” tanya Elang.
“Aku mau dilamar. Bapak ibuku setuju. Awalnya aku belum siap karena masih kuliah. Tapi dia serius dan memberi pengertian ke aku, bahwa pernikahan ini akan menghindarkan kami dari hal-hal yang tidak benar. Aku juga tidak mau nanti punya anak sementara umur sudah tua,” kata Rere yang membuat Elang terdiam lama.
“Pertanyaanmu sudah kamu jawab sendiri. Sebenarnya itu tidak perlu lagi pendapatku. Kecuali Rere sengaja memberitahu jika mau menikah. Kenapa kamu lakukan ini. Baru lima menit yang lalu kamu bilang kangen, selama ini mencari aku, berharap aku jodohmu, tapi..” belum selesai ngomong, Rere memotong pembicaraan.
“Bukan. Bukan itu maksudku. Aku serius senang bisa mengontakmu lagi. Aku serius selama ini kangen. Tapi selama ini kamu kemana? Tidak ada kabarnya sama sekali. Tidak mencoba mencari aku. Apa itu yang dulu kamu bilang aku cinta sejatimu, cinta pertamamu?” Rere membela diri.
“Hah? Di sini aku yang harusnya marah karena sikapmu seperti ini. Kok malah mencari salahku. Jangan mencari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan sendiri,” jawan Elang makin emosi.
“Apa maksudmu? Kamu tidak pernah berubah ternyata,” Rere ikut emosi.