“Jangan nyerocos. Kita cari di tempat terdekat sini dulu. Kita ke kafe di dekat kampusnya, siapa tahu dia merayakan ulang tahun sama teman kampusnya. Tapi elu jangan ngebut gini dong bro,” jawab Ardian.
Sebelum sampai di kafe kampusnya Livi, Elang ingat ucapan Livi tiga hari lalu tentang keinginannya merayakan ulang tahun hanya berdua di pantai, duduk di atas batu, menikmati senja. Tanpa banyak bicara, Elang memutar mobilnya dengan tujuan pantai. Ardian hanya diam mengikuti kemana arah sahabatnya itu.
Sementara itu, di tempat lain, Livi yang mamakai gaun berwarna biru muda tampak duduk sendiri di atas batu. Di pantai. Sepatunya dilepas dengan menjuntaikan kaki ke air. Sesekali ombak mengenai kaki putihnya itu. Dia seolah mendegarkan suara riak ombak itu bicara. Livi ingin menceurahkan hati ke ombak itu.
Dia hanya diam sendiri, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Matahari sebentar lagi tenggelam.
Tempat duduk batu besar itulah yang dulu pernah ditunjukkan ke Elang. Namun, harapan berdua bersama Elang sirna. Dia hanya sendiri di hari istimewanya. Seribu rasa kecewa pun hanya terpendam di pikiran tanpa bisa dilampiaskan. Tak lama dia bangkit dan pergi.
Sekitar 10 menit kemudian, tampak mobil Elang datang. Namun sayang, baru saja Livi pergi. Elang buru-buru turun dari mobil dan berlari ke arah batu yang pernah ditunjuk Livi. Dia pun terdiam menyesal tak menemukan Livi.
Tiba-tiba matanya tertuju pada batu di sebelah batu besar. Di situ ada sebuah kalimat yang ditulis tangan dengan batu kapur. ‘Cinta Tak Sendiri, Cinta saling Menjaga Hati’ Elang menduga itu adalah tulisan Livi. Dia semakin menyesal.
“Ayo kita cari lagi. Coba kita ke rumahnya lagi. Ini mau adzan maghrib, siapa tau dia pulang,” teriak Ardian.
Mereka berdua pun saling diam, larut dalam pikiran masing-masing. Saat sampai tepat di gang masuk ke arah rumah Livi, mereka melihat seorang gadis tinggi semampai berjalan menenteng sepatu hak tinggi. Wajahnya tidak jelas karena mereka melihat dari belakang serta suasana makin gelap, hanya lampu penerangan jalan yang bersinar. Namun, Elang dan Ardian mengenali siapa dia.
Elang pun memacu mobilnya dan mendekati perempuan itu yang ternyata benar si Livi. Elang berhenti dan turun dari mobil, “Livi...”
Livi yang berjalan lemas berhenti, kemudian menoleh ke belakang. Elang berlari dan memeluk Livi tepat di bawah lampu penerangan. Keduanya berpelukan erat tanpa sepatah kata keluar dari bibir masing-masing. Livi menangis dan semakin erat memeluk Elang. “Kamu jahat, jahat, jahat...” air mata Livi menetes deras.