Mohon tunggu...
Didot Mpu Diantoro
Didot Mpu Diantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Komunikasi

Aktif di dunia periklanan dan komunikasi pemasaran sejak tahun 1996, mendirikan perusahaan periklanan sendiri sejak tahun 2001. Terlibat sebagai panitia dalam beberapa event olahraga berskala nasional maupun internasional sejak tahun 2008. Aktif sebagai konsultan komunikasi dan pembuat konten media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lala

8 Juni 2024   01:13 Diperbarui: 8 Juni 2024   05:28 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ah, lu terlalu mengada-ada."

Santai saja Sony menumpangkan kakinya di atas meja, dekat gelas kopi yang akan diminum. Jari tangannya sibuk memindah-mindahkan saluran yang tidak sedang menayangkan iklan.

"I didn't give a damn tadinya, bro. Tapi setelah gue inget-inget, saling berkaitan juga."

"Bah, itu sih lagu lama. Lu suka cari-cari pembenaran yang sok teoretis, sok filosofis. Kita berteman dari kecil, bro. Gue kenal semua kelakuan dan pola berpikir lu khan.

"C'mon, Son. It's true. Gue selalu bermasalah dalam berhubungan dengan orang berpenyakit asma.  Lu inget si Belor, anak Sejarah dulu. Doi khan labil gitu temperamennya. Suka nuduh orang sembarangan, sesuka-suka hati dia, tanpa merasa perlu cari penjelasan orang yang dituduhnya, bener atau nggak."

"So?" Singkat saja Sony menyahut sambil angkat alis rada tak acuh.

"Dia khan sama aja dengan calon ipar lu tuh modelnya. Sebelas dua belas."

"Oke, terus kaitannya dengan Lala?"

"Gue ambil dua contoh tuh, laki. Biar seimbang. Ingat juga kasus gue dengan Yani?"

"Ah, kalau yang itu, you just took advantage from her kan." Kaki Sony hampir saja menjatuhkan gelas kopi. Sembarangan sekali ia bergerak.

"Hey, remember, she's cheating on me. C'mon man, be serious dikit lah. Gue diduain. Begitu ketahuan, dua kali dia bilang putus, ternyata masih lanjut. Waktu gue suruh milih, dia malah marah. Akhirnya putus juga. Gue ogah waktu doi minta balikan. Masih dendam tuh, biar kata sudah sepuluh tahun lewat."

"Oke, oke, terus kaitannya dengan Lala?" Sony seperti acuh, tapi terus mencecar.

"Idem ditto lah. Yani, Hilda, Indah, sampai terakhir Lala. Selalu berakhir ricuh dan menyimpan dendam. Ada relevansinya, bro. Mereka semua pengidap asma."

Sony menatap Bara sesaat. Sesungging senyuman bernada sinis sempat muncul dari bibirnya. Untung segera terhapus oleh kepulan asap rokok, sehingga tidak sempat tertangkap mata sahabatnya.

"Ingat ga lu, si Hilda sampai senekad itu, mobilnya ditabrakin ke motor gue saking dendamnya. Kasihan si Wito aja, dia ga salah apa-apa, sampai babak belur gitu gara-gara pake motor dan jaket gue."

"Hmmmm, ya itu sih apesnya Wito aja kali." Tetap santai Sony menimpali.

"Ah, lu nih paling-paling. Serius dikit kenapa. Percuma lu jadi sohib gue seumur hidup, kalau cara lu nanggapin masalah gue begini." Ada nada kecut di ucapan itu.

Mendadak sontak, Sony berubah sikap. Lagaknya jadi serius.

"Hey, bro, bukannya gue ga mau peduli urusan lu. Kalo yang dulu-dulu sih gue bisa peduli banget dan mau turun tangan kalo lu minta. Kali ini, ngga deh. Sorry banget. Sejujurnya,  kasus ini murni masalah lu. Bukannya gue ga mau peduli, tepatnya sih gue ga berani ikut campur."

Sony bicara tanpa nada tinggi sama sekali, tapi caranya bicara seperti melepaskan sesuatu yang sudah disimpannya cukup lama di dalam hati dan pikiran. Seperti baru kali ini ia memperoleh pelampiasan.

"Masalahnya bukan lagi di soal lu selalu bermasalah kalau berhubungan dengan orang berpenyakit asma. Nope. Beberapa tahun lalu lu masih beromansa ria. Kalau sekarang, yang lu lakukan adalah hal yang lu tahu gue ga pernah suka dari dulu. Selingkuh. C'mon man, lu khan udah punya istri. 

Dini mau lu kemanain? Kemarin-kemarin waktu lu mulai jalan dengan Lala, gue sudah tunjukin kalo gue ga  setuju. Gue juga sudah pernah sampaikan itu secara lisan. Gue ga tega dan, jujur, ada rasa ga rela lihat lu khianati sahabat gue. Hampir setahun lu jalan dengan Lala. Hampir setahun juga lu terlena. Hampir setahun juga lu bohongin istri lu sendiri." 

Sony memberondongkan kata-kata hampir tanpa jeda. 

Bara langsung terdiam. Kepalanya seperti tertarik lantai.

   

"Sampai sekarang gue masih bersyukur, Dini ga pernah tahu ulah lu. Kurang baik apa dia sebagai istri buat lu?  You know, it's impossible for me to talk to her about your affair, about how you cheating her."

Bara garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Selusup rasa terancam masuk ke dalam batinnya. Sony bicara santai, tapi isi kalimatnya benar-benar seperti pusaran puting beliung yang mengaduk-aduk pikirannya. 

Hempasan rasa bersalah segera menguasai dirinya. Ia tahu bahwa perasaan bersalah itu sebenarnya sudah lama ada di dalam dirinya, tapi selalu ia berhasil menepisnya. Kalimat-kalimat Sony itulah yang memuntir pangkal pusaran rasa bersalahnya sehingga melimbung dan membesar di dalam dirinya.

Untung Sony tidak melesak lebih dalam. Ia tidak melanjutkan kalimatnya, dan kembali bersikap setengah acuh dengan mengembalikan pandangan matanya ke layar televisi yang sedang menampilkan adegan pertarungan seru antara seorang negro dan gadis kulit putih melawan seekor ular raksasa yang sedang mengancam nyawa mereka.  Pintarnya sang penulis skenario dan sutradara mengemas tontonan itu menjadi bagian-bagian yang menegangkan dan menimbulkan kepenasaran akan lanjutan setiap adegan. Tegang sedikit, pindah adegan. Makin lama terus makin menaik ketegangannya.

Sony sangat sadar waktu muntahkan semua uneg-unegnya. Otak dan pikiran Bara terpusing pastinya. 

-----

Dua hari setelah pembicaraan itu, Bara tidak ketemu lagi dengan Sony. Sahabat keparat, ia namai Sony dengan sebutan itu untuk dirinya sendiri, saat ini sudah berada di belahan pulau yang lain karena tugas.

Sama saja dengan Sony, teman-teman dekatnya yang lain juga menyampaikan pendapat segaris seperhimpunan. Dita, Anas, Iwan, sama saja. Mereka menyalahkan. 

Bara pun mengakui sejujurnya, bahwa ia memang salah. Hanya saja, ia tetap tidak bisa menerima beberapa kejadian belakangan ini yang ia yakini ada keterkaitan dalam hubungan buruknya dengan Lala.

Sebelumnya, Lala adalah klien yang sering ia temui untuk mendapatkan kontrak sebagai konsultan manajemen untuk perusahaan milik wanita itu. Adalah suatu konsekuensi logis dari pertemuan-pertemuan yang berlangsung dalam suasana akrab dan hangat, lalu bergeser menjadi hubungan lain. Apalagi di kota besar yang hampir segalanya serba permisif seperti di Jakarta ini. Permisif dalam artian, apa pun mungkin saja terjadi dan dibiarkan oleh orang lain, meskipun belum tentu hal itu benar.

Awalnya pun Bara hanya berniat iseng, terdorong libido belaka. Siapa yang tidak tergoda oleh bungkusan dan bentuk tubuh wanita yang meski umurnya sudah lebih dari tiga puluh tahun, namun selalu rajin merawat dirinya. 

Kecantikan adalah anugerah, kepintaran adalah bakat yang terasah, sikap menawan muncul sebagai keselarasan dari kecantikan itu sendiri. Lala punya itu semua. Kalau soal dia kaya raya, sama sekali bukan bagian dari pertimbangan.

Lala bagaikan magma yang selalu siap meletupkan pijar-pijar birahi setiap kali berdekatan dengannya. Dan, Bara pun menjadi sangat mudah luluh lepuh serta selalu sangat menikmati saat-saat di mana mereka bisa melepaskan segalanya.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Bara menyimpulkan hubungannya selalu tidak berhasil dengan baik dengan mereka yang berpenyakit asma. Ia pun sibuk mengingat-ingat literatur apa yang pernah dibacanya, yang mengutarakan kaitan penyakit asma dengan kendali dan kendala emosi pengidapnya. Rata-rata beremosi labil, temperamental, mudah menuduh dan juga cenderung pendendam.

Beberapa wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya dalam kondisi serupa, menunjukkan ciri-ciri yang sama. Gairah yang meledak-ledak, sikap manja yang menuntut, kemarahan yang susah dilunturkan, serta pemelihara dendam yang baik. 

Sebagai justifikasi, agar tidak merasa terlalu subyektif, ia pun mengaitkan dengan beberapa teman lelaki yang ia kenal dan berpenyakit sama. Segera dengan mudahnya, atas kebutuhan pembenaran pikirannya itu, Bara menarik kesimpulan. Pengidap asma memang selalu begitu karakternya.  

"Sudah kubilang sejak awal, janganlah kau coba bermain api. Sekarang, habislah sudah kita. Hilang satu klien besar. Mau makan apa kau dan karyawan lain di sini nantinya?"

Hendrik, boss bermarga Pakpahan itu pernah menyampaikan hal itu dengan nada yang sangat kecewa. Namun, Hendrik tidak mungkin menghukum Bara secara administratif perusahaan karena hal tersebut. Akan konyol sekali jadinya.

Bara pun tidak bisa berbuat apa-apa, ketika beberapa klien lainnya juga menarik diri dari perusahaan mereka. Hendrik tidak pernah tahu pasti penyebabnya, tapi Bara bisa mengambil kesimpulan sendiri. 

Selama bersama Lala, ia tahu jaringan bekas kekasihnya itu. Ia pun hanya berani menduga, tapi sama sekali tidak berani menuduh karena amat sangat tidak mungkin untuk membuktikan kalau ada peran Lala di situ.  Sialnya, mayoritas klien yang memutuskan kerjasama dengan kantornya adalah klien yang berada dalam jaringan mantan kekasihnya. 

Pengidap asma adalah pendendam yang baik. Dendam itu bisa tersalur dalam format apa pun. Tapi, kalau sampai pada ingin menghancurkan, dendam itu tak aka tertahan oleh apa pun. Apalagi kalau menyangkut soal hati, soal perasaan. 

Pemicu rangkaian kejadian itu sebenarnya adalah pertanyaan Lala di suatu ketika mereka bersama, sehabis memuntahkan lava gairah mereka di sebuah hotel. Lala cuma bertanya lirih, pelahan, terdengar hati-hati sekali. Tapi, bagi Bara itu adalah bom waktu  yang siap meledak kapan saja.

"Sampai kapan kita akan begini terus, bang?"

Bara terhenyak, tangannya yang semula membelai-belai halus kulit dada Lala, jadi seolah kaku seketika. Lala pun bukannya tidak menyadari hal itu.

"Maaf ya, bang. Waktu berjalan terus, umur ku pun bertambah. Aku sangat mencintai abang, tapi aku pun tidak mungkin memisahkan abang dari kak Dini di rumah."

Lala merasa tanggung untuk tidak menyelesaikan kalimatnya, meskipun ia tahu resiko dari pembicaraan yang merupakan beban pikirannya selama beberapa bulan terakhir dalam hubungan mereka.

Sampai akhirnya mereka sampai di rumah masing-masing, pertanyaan itu terus saja mengambang tanpa jawaban, barangkali terus saja melayang berputar-putar tanpa sekalipun pernah bisa keluar dari dalam ruangan yang sebelumnya mereka gunakan untuk menuai gairah.

Dua tiga kali pertemuan sesudah itu, Lala pun sampai pada keberanian mengambil pilihan yang seringkali membuat dadanya semakin membusung, pikirannya limbung, air mata pun jadi sering turun. 

Lala tahu kalau sebenarnya dia tidak sanggup. Dia telah terlalu mencintai lelaki itu. Meski sejak awal menjalani hubungan, ia sudah tahu resikonya, tetap saja bingung tak dapat ia hindari. Meski sejak awal ia juga sudah memutuskan untuk menjalani hubungan itu tanpa melibatkan perasaan, tetap saja ia merasa gamang ketika ternyata kemudian ia menyadari bahwa perasaannya telah terlibat terlalu dalam. 

Kalau saja Bara tidak pernah datang ke rumahnya tengah malam  mengantarkan Ventolin, padahal saat itu ia sudah berada di rumah bersama istrinya. 

Lala memang mengiriminya pesan bahwa asmanya kumat, obatnya habis, dan tidak ada orang di rumah. Bara bisa keluar rumah lagi hanya untuk membeli dan mengantarikan Ventolin yang Lala butuhkan. 

Kalau saja Bara tidak selalu bersikap baik dan penuh perhatian, barangkali Lala pun tidak akan terjebak dalam perasaan yang lebih dalam. Sebagai seorang wanita yang dibesarkan dalam pendidikan luar negeri dan biasa berkutat dalam logika pemikiran bisnis, tetap saja ia tidak kuasa ketika rasa cinta mendera hatinya.

Seperti bekas lesakan meteor yang kerap menghunjam kulit bumi dan menciptakan lubang menganga yang dalam,  begitu pula rasa kecewa Lala. Memang tidak mungkin, meskipun ia sangat mengharapkan menikah dengan Bara. Komitmen awal untuk tidak terlalu melibatkan rasa telah mereka langgar. 

Apakah harus ada komitmen lain yang akan terus diterabas. Lagipula, Bara pun tidak pernah berani memberi kepastian. Ketika harus memilih, akhirnya Lala pun memenangkan logika yang baginya pahit sekali. Namun, tetap saja di balik itu, masih ada sebentuk rasa yang tetap selalu menjalari sisi gelapnya setiap kali mengingat hal tersebut.  Semacam rasa untuk menghancurkan di setiap kesempatan.

-----

"Nuwun sewu, pak. Asmanipun panjenengan sinten?"  halus suara resepsionis cantik itu bertanya pada Bara sewaktu mendaftarkan dirinya sebagai tamu yang akan menginap di salah satu hotel bagus di wilayah Parangtritis, Yogyakarta. Baju surjan dan blangkon yang dipakai Bara meyakinkan sang resepsionis bahwa tamu yang tampak lebih banyak bengong itu sebagai orang sesuku dengannya. Ia pun spontan menggunakan bahasa yang sesuai dengan tata krama yang ia pahami.

"Bah, jangan kau bicara soal asma! Aku tak suka dengar kata itu!" Spontan Bara berkata. 

Pikirannya memang masih terperangkap beberapa persoalan yang dibawanya dari Jakarta. Pikiran yang sebenarnya harus ia lepas karena mesti konsentrasi menghadapi pertemuan malam nanti, tetap saja masih melekat erat seperti lintah yang menghisap sumsum otak di benaknya. 

Bara harus berkonsentrasi penuh dan berupaya mendapatkan klien baru dan menarik kembali klien lama yang pernah menggunakan jasa kantornya. Acara yang harus dihadirinya adalah sebuah peluang terbesar setelah hampir setahun bisnis kantornya tergerus. 

Dia harus mengabaikan kemungkinan akan bertemu Lala dalam pertemuan itu. Sebuah potensi kegagalan yang sangat besar lagi rasanya bila harus bertemu lagi dengannya. Beberapa kali memang terlintas dalam pikirannya, jika bukan pengidap asma, belum tentu dendam Lala akan merugikan kantornya. 

Sang resepsionis segera menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri. Meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti penyebab sikap spontan tamu di hadapannya. Kecerdasan di balik kecantikannya hanya bisa menghubungkan kata asma dalam bahasa Jawa yang berarti nama, kebetulan sama dengan asma yang diucapkan bapak di depannya itu. Tapi, toh ia pun tidak segera bisa menangkap kaitannya.

"Maaf, pak. Boleh tahu nama bapak siapa untuk kami daftarkan? Bapak termasuk rombongan tamu dari Jakarta itu kan?"

"Oh, maaf maaf, saya Bara Silalahi ...." 

Beberapa dialog singkat terjadi, proses check in pun selesai. Hingga Bara berlalu dari hadapannya, si resepsionis tetap tidak bisa menemukan kaitan kedua kata berbunyi sama tadi. 

Kejadian kecil itu segera mengembalikan kesadaran Bara. Ah, semestinya aku bisa konsentrasi dulu di sini. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, jangan sampai hilang kesempatan kali ini. Ia pun bergegas ke kamarnya untuk menyimpan barang-barangnya terlebih dulu, sebelum masuk ke ruang pertemuan. Itu pun sebenarnya ia sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan.

Memasuki ruang pertemuan, sayup namun semakin lama semakin jelas. Ada suara  dan intonasi yang ia kenal di masa-masa sebelumnya. Sewaktu membuka pintu dan perlahan beringsut masuk ke dalamnya, ia malah terpaku di pintu.  

Bara tidak bisa menghindar karena pembicara yang sedang berbicara kebetulan sedang menatap ke arah pintu dan memergokinya sedang memasuki ruangan. Bara terpaku karena sorot mata dan wajah pembicara itu sangat dikenalnya. Tajam dan menusuk. Wajah yang semula tampak ramah dan optimis terhadap audiens di situ, segera berubah ketus. 

Lala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun