"Ah, lu terlalu mengada-ada."
Santai saja Sony menumpangkan kakinya di atas meja, dekat gelas kopi yang akan diminum. Jari tangannya sibuk memindah-mindahkan saluran yang tidak sedang menayangkan iklan.
"I didn't give a damn tadinya, bro. Tapi setelah gue inget-inget, saling berkaitan juga."
"Bah, itu sih lagu lama. Lu suka cari-cari pembenaran yang sok teoretis, sok filosofis. Kita berteman dari kecil, bro. Gue kenal semua kelakuan dan pola berpikir lu khan.
"C'mon, Son. It's true. Gue selalu bermasalah dalam berhubungan dengan orang berpenyakit asma. Â Lu inget si Belor, anak Sejarah dulu. Doi khan labil gitu temperamennya. Suka nuduh orang sembarangan, sesuka-suka hati dia, tanpa merasa perlu cari penjelasan orang yang dituduhnya, bener atau nggak."
"So?" Singkat saja Sony menyahut sambil angkat alis rada tak acuh.
"Dia khan sama aja dengan calon ipar lu tuh modelnya. Sebelas dua belas."
"Oke, terus kaitannya dengan Lala?"
"Gue ambil dua contoh tuh, laki. Biar seimbang. Ingat juga kasus gue dengan Yani?"
"Ah, kalau yang itu, you just took advantage from her kan." Kaki Sony hampir saja menjatuhkan gelas kopi. Sembarangan sekali ia bergerak.
"Hey, remember, she's cheating on me. C'mon man, be serious dikit lah. Gue diduain. Begitu ketahuan, dua kali dia bilang putus, ternyata masih lanjut. Waktu gue suruh milih, dia malah marah. Akhirnya putus juga. Gue ogah waktu doi minta balikan. Masih dendam tuh, biar kata sudah sepuluh tahun lewat."