Sony memberondongkan kata-kata hampir tanpa jeda.Â
Bara langsung terdiam. Kepalanya seperti tertarik lantai.
 Â
"Sampai sekarang gue masih bersyukur, Dini ga pernah tahu ulah lu. Kurang baik apa dia sebagai istri buat lu? Â You know, it's impossible for me to talk to her about your affair, about how you cheating her."
Bara garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Selusup rasa terancam masuk ke dalam batinnya. Sony bicara santai, tapi isi kalimatnya benar-benar seperti pusaran puting beliung yang mengaduk-aduk pikirannya.Â
Hempasan rasa bersalah segera menguasai dirinya. Ia tahu bahwa perasaan bersalah itu sebenarnya sudah lama ada di dalam dirinya, tapi selalu ia berhasil menepisnya. Kalimat-kalimat Sony itulah yang memuntir pangkal pusaran rasa bersalahnya sehingga melimbung dan membesar di dalam dirinya.
Untung Sony tidak melesak lebih dalam. Ia tidak melanjutkan kalimatnya, dan kembali bersikap setengah acuh dengan mengembalikan pandangan matanya ke layar televisi yang sedang menampilkan adegan pertarungan seru antara seorang negro dan gadis kulit putih melawan seekor ular raksasa yang sedang mengancam nyawa mereka. Â Pintarnya sang penulis skenario dan sutradara mengemas tontonan itu menjadi bagian-bagian yang menegangkan dan menimbulkan kepenasaran akan lanjutan setiap adegan. Tegang sedikit, pindah adegan. Makin lama terus makin menaik ketegangannya.
Sony sangat sadar waktu muntahkan semua uneg-unegnya. Otak dan pikiran Bara terpusing pastinya.Â
-----
Dua hari setelah pembicaraan itu, Bara tidak ketemu lagi dengan Sony. Sahabat keparat, ia namai Sony dengan sebutan itu untuk dirinya sendiri, saat ini sudah berada di belahan pulau yang lain karena tugas.
Sama saja dengan Sony, teman-teman dekatnya yang lain juga menyampaikan pendapat segaris seperhimpunan. Dita, Anas, Iwan, sama saja. Mereka menyalahkan.Â