Lala memang mengiriminya pesan bahwa asmanya kumat, obatnya habis, dan tidak ada orang di rumah. Bara bisa keluar rumah lagi hanya untuk membeli dan mengantarikan Ventolin yang Lala butuhkan.Â
Kalau saja Bara tidak selalu bersikap baik dan penuh perhatian, barangkali Lala pun tidak akan terjebak dalam perasaan yang lebih dalam. Sebagai seorang wanita yang dibesarkan dalam pendidikan luar negeri dan biasa berkutat dalam logika pemikiran bisnis, tetap saja ia tidak kuasa ketika rasa cinta mendera hatinya.
Seperti bekas lesakan meteor yang kerap menghunjam kulit bumi dan menciptakan lubang menganga yang dalam, Â begitu pula rasa kecewa Lala. Memang tidak mungkin, meskipun ia sangat mengharapkan menikah dengan Bara. Komitmen awal untuk tidak terlalu melibatkan rasa telah mereka langgar.Â
Apakah harus ada komitmen lain yang akan terus diterabas. Lagipula, Bara pun tidak pernah berani memberi kepastian. Ketika harus memilih, akhirnya Lala pun memenangkan logika yang baginya pahit sekali. Namun, tetap saja di balik itu, masih ada sebentuk rasa yang tetap selalu menjalari sisi gelapnya setiap kali mengingat hal tersebut. Â Semacam rasa untuk menghancurkan di setiap kesempatan.
-----
"Nuwun sewu, pak. Asmanipun panjenengan sinten?" Â halus suara resepsionis cantik itu bertanya pada Bara sewaktu mendaftarkan dirinya sebagai tamu yang akan menginap di salah satu hotel bagus di wilayah Parangtritis, Yogyakarta. Baju surjan dan blangkon yang dipakai Bara meyakinkan sang resepsionis bahwa tamu yang tampak lebih banyak bengong itu sebagai orang sesuku dengannya. Ia pun spontan menggunakan bahasa yang sesuai dengan tata krama yang ia pahami.
"Bah, jangan kau bicara soal asma! Aku tak suka dengar kata itu!" Spontan Bara berkata.Â
Pikirannya memang masih terperangkap beberapa persoalan yang dibawanya dari Jakarta. Pikiran yang sebenarnya harus ia lepas karena mesti konsentrasi menghadapi pertemuan malam nanti, tetap saja masih melekat erat seperti lintah yang menghisap sumsum otak di benaknya.Â
Bara harus berkonsentrasi penuh dan berupaya mendapatkan klien baru dan menarik kembali klien lama yang pernah menggunakan jasa kantornya. Acara yang harus dihadirinya adalah sebuah peluang terbesar setelah hampir setahun bisnis kantornya tergerus.Â
Dia harus mengabaikan kemungkinan akan bertemu Lala dalam pertemuan itu. Sebuah potensi kegagalan yang sangat besar lagi rasanya bila harus bertemu lagi dengannya. Beberapa kali memang terlintas dalam pikirannya, jika bukan pengidap asma, belum tentu dendam Lala akan merugikan kantornya.Â
Sang resepsionis segera menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri. Meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti penyebab sikap spontan tamu di hadapannya. Kecerdasan di balik kecantikannya hanya bisa menghubungkan kata asma dalam bahasa Jawa yang berarti nama, kebetulan sama dengan asma yang diucapkan bapak di depannya itu. Tapi, toh ia pun tidak segera bisa menangkap kaitannya.