Bara pun mengakui sejujurnya, bahwa ia memang salah. Hanya saja, ia tetap tidak bisa menerima beberapa kejadian belakangan ini yang ia yakini ada keterkaitan dalam hubungan buruknya dengan Lala.
Sebelumnya, Lala adalah klien yang sering ia temui untuk mendapatkan kontrak sebagai konsultan manajemen untuk perusahaan milik wanita itu. Adalah suatu konsekuensi logis dari pertemuan-pertemuan yang berlangsung dalam suasana akrab dan hangat, lalu bergeser menjadi hubungan lain. Apalagi di kota besar yang hampir segalanya serba permisif seperti di Jakarta ini. Permisif dalam artian, apa pun mungkin saja terjadi dan dibiarkan oleh orang lain, meskipun belum tentu hal itu benar.
Awalnya pun Bara hanya berniat iseng, terdorong libido belaka. Siapa yang tidak tergoda oleh bungkusan dan bentuk tubuh wanita yang meski umurnya sudah lebih dari tiga puluh tahun, namun selalu rajin merawat dirinya.Â
Kecantikan adalah anugerah, kepintaran adalah bakat yang terasah, sikap menawan muncul sebagai keselarasan dari kecantikan itu sendiri. Lala punya itu semua. Kalau soal dia kaya raya, sama sekali bukan bagian dari pertimbangan.
Lala bagaikan magma yang selalu siap meletupkan pijar-pijar birahi setiap kali berdekatan dengannya. Dan, Bara pun menjadi sangat mudah luluh lepuh serta selalu sangat menikmati saat-saat di mana mereka bisa melepaskan segalanya.
Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Bara menyimpulkan hubungannya selalu tidak berhasil dengan baik dengan mereka yang berpenyakit asma. Ia pun sibuk mengingat-ingat literatur apa yang pernah dibacanya, yang mengutarakan kaitan penyakit asma dengan kendali dan kendala emosi pengidapnya. Rata-rata beremosi labil, temperamental, mudah menuduh dan juga cenderung pendendam.
Beberapa wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya dalam kondisi serupa, menunjukkan ciri-ciri yang sama. Gairah yang meledak-ledak, sikap manja yang menuntut, kemarahan yang susah dilunturkan, serta pemelihara dendam yang baik.Â
Sebagai justifikasi, agar tidak merasa terlalu subyektif, ia pun mengaitkan dengan beberapa teman lelaki yang ia kenal dan berpenyakit sama. Segera dengan mudahnya, atas kebutuhan pembenaran pikirannya itu, Bara menarik kesimpulan. Pengidap asma memang selalu begitu karakternya. Â
"Sudah kubilang sejak awal, janganlah kau coba bermain api. Sekarang, habislah sudah kita. Hilang satu klien besar. Mau makan apa kau dan karyawan lain di sini nantinya?"
Hendrik, boss bermarga Pakpahan itu pernah menyampaikan hal itu dengan nada yang sangat kecewa. Namun, Hendrik tidak mungkin menghukum Bara secara administratif perusahaan karena hal tersebut. Akan konyol sekali jadinya.
Bara pun tidak bisa berbuat apa-apa, ketika beberapa klien lainnya juga menarik diri dari perusahaan mereka. Hendrik tidak pernah tahu pasti penyebabnya, tapi Bara bisa mengambil kesimpulan sendiri.Â