Ketika putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka  maju dalam pemilihan kepala daerah di Kota Solo, perbincangan publik menjadi ramai terkait dengan wacana dinasti politik.Â
Wacana soal dinasti politik ini sebenarnya bukan hal baru, sebab, sejak dibukanya keran-keran demokrasi dalam politik pasca reformasi, isu ini telah muncul ke publik.Â
Lalu kenapa politik dinasti yang selalu dikritik, ditentang dan dihujat karena dapat mengancam demokratisasi selalu terjadi dalam setiap penyelenggraan pemilihan umum (baik pusat maupun daerah) di Indonesia?
Sikap Permisif
Dalam ranah legal formal di Indonesia memang tidak melarang adanya anggota keluarga dari para Pejabat yang akan maju dalam mengikuti pencalonan politik baik dalam Pemilu, Pilkada atau Pileg.Â
Bahkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin adanya hak Politik bagi tiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dapat memilih dan dipilih.Â
Hak politik ini bahkan merupakan hak asasi yang tak dapat dikurangi sebagai warga negara. Termasuk dalam warga negara tersebut adalah anggota keluarga Pejabat.
Maka, selama hukum tak melarang berarti tidak ada masalah ketika ada anggota Pejabat yang  maju dalam pemilihan umum (baik pusat maupun daerah) di Indonesia.
 Bila anggota kelurga pejabat tersebut terpilih dan melahirkan politik dinasti, hal tersebut tak melanggar hukum. Lalu kenapa apabila hukum membolehkan adanya politik dinasti prakteknya banyak ditentang?Â
Dengan landasan legal formal itu, beberapa pihak berpendapat bahwa dengan melarang politik dinasti sama saja mencederai hak dasar warga negara.Â
Meski begitu, kita juga harus menyadari, berkembangnya politik dinasti akan mendukung adanya praktek nepotisme yang pada akhirnya dapat memicu korupsi. Bahaya laten inilah yang membuat praktek politik dinasti banyak ditentang.