Perlunya Undang Undang Perlindungan Pendidik ( Guru)
Tri pusat pendidikan adalah konsep pendidikan yang melibatkan tiga unsur, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Konsep ini digagas oleh Ki Hajar Dewantara bapak Pendidikan Nasional. Hal ini dimaknai bahwa sekolah tidak bisa berdiri sendiri dalam rangka pelaksanaan pendidikan secara Nasional tanpa didukung oleh elemen keluarga dan lingkungan.
Sekolah sebagai bagian penting dalam memajukan pendidikan seringkali dalam pelaksanaan banyak yang tidak sesuai dengan harapan semua pihak. Sekolah atau satuan pendidikan komponen utama nya adalah peserta didik dan pendidik, tidak ada satuan pendidikan bila tidak ada unsur peserta didik juga pendidik.
Hanya saja Akhir akhir ini sering kali terjadi perselisihan hukum antara peserta didik pendidik dan orang tua peserta didik.
Secara hukum baik peserta didik maupun pendidik mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum, hanya saja perangkat hukum yang melindungi pendidik tidak selengkap perangkat hukum yang melindungi peserta didik. Kedepan diperlukan keseimbangan antara keduanya, maka diperlukan perangkat hukum dalam bentuk undang undang yang mengatur perlindungan pendidik atau guru.
2. Timbulnya Masalah Hukum di Satuan Pendidikan.
Sekolah merupakan satuan pendidikan  dimana didalamnya terdapat unsur pendidik, peserta didik dan orang tua peserta didik, ketiga unsur tersebut idealnya saling berinteraksi satu sama lainnya demi tujuan pendidikan secara Nasional..
Interaksi antara peserta didik,pendidik dan orang tua peserta didik seringkali tidak se ideal yang kita bayangkan, kadang kadang interaksinya baik dan mulus, tetapi kadang juga tidak baik dan tidak  mulus.
Salah satu bentuk interaksi yang kurang baik antara peserta didik, pendidik dan orang tua peserta didik adalah timbulnya  tindak kekerasan. Kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis, bisa dilakukan oleh peserta didik, pendidik maupun orang tua peserta didik.
Kekerasan dilakukan pendidik terhadap peserta didik, bisa juga kekerasan dilakukan oleh orang tua peserta didik tetapi jarang pendidik melakukan kekerasan terhadap orang tua peserta didik, namun sebaliknya pendidik sering terkena kekerasan baik oleh peserta didik maupun oleh orang tua peserta didik.
Kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan baik oleh peserta didik,pendidik maupun orang tua peserta didik itulah yang seringkali menjadi timbulnya masalah hukum.
3. Motif Terjadinya Kekerasan di Satuan Pendidikan .
Terjadinya kasus hukum di satuan pendidikan akibat tindak kekerasan baik dilakukan oleh peserta didik, pendidik maupun orang tua peserta didik dikarenakan berbagai  hal . Namun motif tindakan hukum maupun tindak kekerasan yang dilakukan oleh peserta didik dan orang tua peserta didik hingga saat ini masih perlu penelitian lanjutan dan serius, sebaliknya hampir dipastikan motik tindakan keras oleh pendidik ( guru) merupakan bagian dari mendidik.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh peserta didik dan orang tua peserta didik terhadap pendidik secara kualitas sangat menghawatirkan, Â ada pendidik (guru) yang cacat seumur hidup, hingga pendidik yang tewas di tangan peserta didik.
Motif tindakan hukum dan tindak kekerasan baik oleh peserta didik maupun orang tua peserta didik hingga saat ini belum bisa terjawab ,kalau bukan hanya karena dendam atau faktor lain.
4. Data Kasus Menimpa Pendidik ( Guru )
Data yang dihimpun oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melalui LKBH PB PGRI masa bakti 2024-2029, memperlihatkan bahwa secara kualitas kekerasan terhadap pendidik yang dilakukan oleh peserta didik dan orang tua peserta didik dari tahun ke tahun skalanya  semakin meningkat.
Di  bawah ini data beberapa kasus yang dihimpun oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI tentang kekerasan terhadap pendidik.
A. Kasus Aop Saepudin Majalengka.
Kasus bermula saat guru honorer SDN Penjalin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat, Aop Saepudin mengingatkan peserta didik yang berambut panjang agar merapikan rambut nya.
Kemudian Aop Saepudin melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS.
Keempat peserta didik menjadi korban potong rambut dadakan oleh Aop Saepudin. Dari 4 peserta didik satu orang yaitu THS mengadukan kepada orang tuanya atas dipotong rambutnya. Orang tua peserta didik THS bernama Iwan Himawan seorang pensiunan TNI dan pengusaha tidak terima dan balik mengukur paksa rambut pendidik Aop Saepudin, kemudian  melaporkan nya ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pengadilan Negeri,  Pengadilan Tinggi hingga tingkat Mahkamah Agung kasus ini bergulir. MA memutus bebas Aop Saepudin dengan pertimbangan hukum bahwa pendisiplinan peserta didik tidak bisa dipidanakan.
B. Kasus Kurniasih Alawiyah di Sekayu.
Pada November 2016, di Sekayu, AF seorang pelajar di SMP Islam Terpadu Al-Karim Noer nekat menikam  sang  pendidik yakni  Kurniasih  Alawiyah menggunakan pisau  sebanyak  13  kali tusukan. Kejadian  tersebut  bermula  saat  AF  yang  telah  satu  minggu tidak  masuk  sekolah  tanpa  izin,  tiba-tiba  datang  dan  masuk  ke  dalam  kelas.  Melihat kedatangan  AF,  sang  guru mencoba  menegur  dan  melarangnya  untuk  masuk  kelas lantaran   dikhawatirkan   menganggu   teman-teman lainnya  yang  saat  itu  sedang belajar .
 Merasa  tidak  senang,  AF  langsung  mengambil  tas  dan pulang  dari  sekolah.  AF  rupanya tidak langsung  pulang ke rumah, tetapi balik lagi ke sekolah dan menuju  ke  ruang  guru.  Tanpa banyak basa-basi, AF langsung menghujamkan pisau ke tubuh sang pendidik yang saat itu hendak  membuka  pintu  ruang  laboratorium. Mendapati  serangan  membabi  buta, sang pendidik tidak dapat mengelak atau menghindar dari hujanan pisau yang dihujamkan oleh  AF  di  sekujur  tubuh seperti  dada,  tangan  kiri dan  kanan,  serta  punggung.
Pihak  sekolah mendapati  kejadian  tesebut, langsung melarikan pendidik ke  RSUD  Sekayu untuk  mendapatkan pertolongan  yang  lebih  intensif,  lantaran 13 tusukan mengakibatkan korban  bersimbah darah.
C. Kasus Dasrul di Makassar.
Pada Agustus2016, di Makassar,  Dasrul seorang guru di SMKN 2 Makassar dikeroyok  oleh  murid  sendiri berinisial MA.  Kronologinya,  awalnya MA diminta untuk  tertib  dan  duduk  di  belakang  kelas,  karena saat  itu  tidak  membawa  alat perlengkapan  pelajaran sama  sekali.  Tapi  MA  malah pergi  mengganggu  ke  teman-teman lain. Akhirnya Dasrul menegur dan menyuruhnya keluar kelas. Sembari keluar kelas MA menendang  pintu  dan mengeluarkan  kata-kata  kotor  kepadagurunya.Dia keluar kelas dan menelpon ayahnya, dengan memfitnah dan mengaku kepada ayahnya sempat  dihajar  oleh  gurunya. Dasrul  dihajar  Adnan, ayah  dari  MA,  sampai  babak belur.Adnan  kalap  begitu  mendengar  keluhan  MA  telah ditampar  karena  tidak mengerjakan  tugas  sekolah.  Di ketahui bahwa Adnan orang tua peserta MA merupakan mantan peserta didik nya Dasrul di SMKN 2 Makasar.
D. Kasus Ahmad Budi Cahyono di Sampang Madura.
 Awal  Februari  2018  Achmad  Budi  Cahyanto  seorang  pendidik SMAN  1  Torjun,  Sampang,  Madura  yang meninggal dunia karena dipukul oleh siswanya berinisial HZF. HZF memukul Ahmad Budi Cahyono hingga meninggal dunia hanya karena ditegur tidak membawa alat pelajaran melukis .
E. Kasus Zaharman di Rejang Lebong Bengkulu.
Tahun 2023 di SMAN 7 Rejang Lebong Bengkulu pendidik olah raga Zaharman matanya mengalami buta permanen setelah di katapel oleh orang tua peserta didik. Orang tua peserta didik mendatangi ruang guru lalu mengarahkan katapel nya kepada Zaharman dengan alasan, tidak terima anak nya ditegur saat merokok di kantin sekolah. Tragisnya Zaharman dikemudian hari dilaporkan kepada polisi karena dianggap melakukan kekerasan saat menegur dengan melakukan tendangan.
F. Kasus Supriyani Guru Honorer di Konawe Selatan.
26 April 2024 Supriyani guru honorer di SDN 4 Baito Konawe Selatan dilaporkan ke polisi oleh orang tua peserta didik dengan tuduhan melakukan kekerasan. Orang tua peserta didik berinisial WH yang bertugas di Polsek Baito melaporkan Supriyani seorang guru honorer bergaji 300 ribu rupiah sebulan hingga berperkara di pengadilan negeri Andoolo Konawe Selatan. Kasus ini dihebohkan karena ada tuntutan damai dengan kompensasi uang sebesar Rp 50 juta dan SK pemecatan dari sekolah.
Beberapa kasus diatas merupakan bagian kecil dari fenomena gunung es kekerasan terhadap pendidik, kemungkinan kasus kekerasan terhadap pendidik (guru) lebih banyak, hanya saja kasusnya tidak terungkap karena peristiwa tersebut tidak dilaporkan atau di viralkan.
Kasus maraknya kekerasan terhadap pendidik ( guru) baik oleh peserta didik maupun orang tua peserta didik disebabkan banyak faktor, salah satu faktor penyebab kekerasan terhadap pendidik (guru) adalah lemahnya dasar Hukum Perlindungan bagi pendidik (guru)
5. Dasar Hukum Perlindungan Peserta Didik (Anak)
Undang undang nomor 23 tahun 2002 yang telah diubah menjadi undang undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Kemudian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Selanjutnya Undang undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ada lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) , Komisi Nasional Anak ( Komnas Anak) hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Semua itu merupakan bagian dari perhatian semua pihak dan  pemerintah terhadap anak, termasuk konvensi PBB yang diratifikasi pemerintah tentang Hak Hak Anak.
6. Dasar Hukum Perlindungan Pendidik (Guru)
Secara khusus pendidik atau Guru belum ada undang undang yang khusus tentang perlindungan hukum terhadap pendidik atau guru.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Tertulis hanya ada (1) pasal tentang perlindungan pendidik (guru) yaitu,
Pasal, 40 ayat (2) huruf (d).
Hanya ada (1)pasal dan ( 3 ) ayat tertulis tentang perlindungan pendidik (guru) dalam Undang undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Peraturan pemerintah nomor 74 tahun 1008 yang dirubah menjadi Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2017 tentang Guru , hanya ada 2 pasal (40 ) dan (41) tertulis mengenai perlindungan pendidik (guru).
Selanjutnya ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan
Kemudian Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Terakhir Permendikbud ristek Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP ).
Lemahnya perlindungan hukum bagi pendidik (guru) bisa jadi karena belum adanya Undang undang yang dibuat khusus untuk melindungi pendidik ( guru), bila dibandingkan dengan peserta didik (Anak) bukan saja sudah kuat karena ada undang undang sebagai dasarnya disamping ada lembaga lain yang ikut serta didalamnya seperti, Komnas Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) hingga Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
7. Kesimpulan
Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional maka konsep Tri Pusat pendidikan yang di gagas oleh Ki Hajar Dewantara perlu diimplementasikan ke dalam praktek khususnya di dunia persekolahan atau satuan pendidikan.
Interaksi dan relasi dalam satuan pendidikan antara peserta didik pendidik dan orang tua peserta didik perlu ada keseimbangan dasar pijakan hukum yaitu peraturan dan perundang undangan.
Peserta didik ( Anak) dasar hukum dan peraturan perundang-undangan serta lembaga lembaga yang ikut serta mengayomi demi perlindungan Anak ( peserta didik) sudah baik dan lengkap, sebaliknya bagi pendidik ( Guru) dasar hukum dan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mengayomi masih kurang dan lemah
Dari uraian diatas maka tidak ada salahnya demi keseimbangan dan mengurangi ekses negatif akibat interaksi antara peserta didik, pendidik dan orang tua peserta didik dan demi terwujudnya tujuan Pendidikan Nasional maka diperlukan Undang undang khusus tentang perlindungan bagi pendidik (guru).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H