Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Remaja: Aku Temani Kau Menyusul

11 Mei 2017   17:20 Diperbarui: 17 Mei 2017   19:15 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Graha OSIS. Pukul 15.36.

Ajeng masih termangu menanti kedatangan Bowo, sang ketua OSIS. Sebenarnya gadis itu masih memiliki acara, namun melihat SMS yang dikirim Bowo seperti memaksa, ia terpaksa mengalah.

“Sudah lama Jeng?” Ajeng terhenyak mendengar ada yang bertanya di belakangnya.

“Aduuuuh Woo… ngagetin saja! Dari mana saja sih lama banget?”

“Shalat dulu.” Kata Bowo seraya menunjuk masjid di sebelah graha.

“Ya sudah, aku nggak jadi marah.”

“Kenapa marah?”

“Lah kamu undang aku jam berapa? Sekarang jam berapa? Memang dikira aku tidak punya acara? Gitu?” kata Ajeng sambal menunjuk jam tangan.

“Katanya nggak jadi marah!” kata Bowo cu-ex.

“Tadinya!”

“Padahal kamu cantik kalau nggak marah lho Jeng!”

“Aaah modus!”

“Sunatullah galat normal!”

“Iiih malah bahas statistika!”

“Ya kamu percaya nggak kalau normalnya, perempuan itu cantik kalau tidak marah. Kalau yang ekstrim, marah baru cantik!”

“Ngaco ah! Sudahlah … ini kapan rapatnya dimulai?”

“Rapat apa?”

“Rapat apa? Kamu bertanya rapat apa?”

“Jeng …. Emmm begini, maaf, hari ini kita nggak jadi rapat.”

“Apa? Nggak jadi rapat?”

“Iya.”

“Terus undangan tadi siang?”

“Aku sudah meralatnya. Semua sudah aku kirimi pemberitahuan. Emmm mungkin kamu terlewat Jeng.”

“Astaghfirullah …….. “ kata Ajeng seraya bergegas pergi. Hatinya dongkol, namun ia mencoba menekan rasa itu dengan istighfar.

“Tunggu Jeng.” Kata Bowo sambal menghalangi langkah Ajeng. Gadis itu berhenti, kemudian menggeleng.

“Baru kali ini aku tahu kualitas kamu yang sebenarnya Wo!” kata Ajeng dengan wajah memerah.

“Kan aku sudah bilang, mungkin terlewat.”

“Berapa jauh sih kelasmu dengan kelasku? Hanya beda dua ruangan, catat Wo, dua ruangan, paling juga tiga puluh langkah! Ngomong langsung kenapa? Nggak bisa? Kamu tahu nggak, gara-gara undanganmu aku membatalkan sebuah acara keluarga!”

Gadis itu pergi dengan muka merah menahan marah. Bowo mengejar kembali menghalangi Ajeng.

“Minggir Wo…. minggir kataku … “

“Maafkan aku Jeng.”

“Hmh!”

“Kamu maafkan aku kan?”

Gadis itu tak menjawab. Ia bergegas ke berjalan ke a

rah selatan melintasi taman, melewati pinggir multimedia.

Brak!

Begitu melintasi pintu depan gadis itu kaget. Suara berisik papan jatuh di tembok pinggir ruangan multimedia. Gadis itu menoleh cepat. Ia melihat ujung belakang sepatu yang menghilang di belakang ruangan. Ajeng berhenti. Ia menghela nafas. Ditengoknya arah graha OSIS. Bowo masih di sana mengamati dirinya. Lalu siapa yang lari hingga melanggar kayu? Pikirnya sambal terus berjalan.

Sebenarnya bisa saja ia mengejar ke arah belakang multimedia di depan deretan ruang kelas X, namun ia putuskan untuk tidak peduli. Setelah menenangkan diri gadis itu melanjukan langkah meninggalkan multimedia menyusuri teras ruang BK dan ruang guru. Sekitar tujuh menit berikutnya gerbang sekolah telah dilalui motornya.

Waktu baru pukul empat sore lewat sedikit.

Ajeng mengehentikan motornya. Ia membuka resluiting tas yang dicangklongnya. Ia lihat sejenak ke dalam tas. Ia lega. Bungkusan kecil amanat ibunya untuk bu Nisa masih aman. Sebenarnya ia agak enggan ke rumah itu karena terlanjur minta ijin untuk tidak ikut pertemuan mewakili ibunya. Namun daripada membawa pulang barang itu, ia memutuskan untuk memberikannya sekarang.

“Assalaamu’alaikum Bu…. “ kata Ajeng ketika bertemu bu Nisa di teras.

“Aeh si cantiiik…. katanya ada rapat!” sambut perempuan sahabat ibunya itu.

“Nggak jadi Bu, rapat dibatalkan.”

“Ooo…”

“Acara sudah selesai Bu?”

“Sudah Jeng, baru lima menit yang lalu.”

“Ooo iya lah, nggak bisa ikut pertemuan. Eh nggak tahunya yang di sekolah malah dibatalkan.”

“Ah ya nggak apa-apa. Mau minum ambil sendiri Jeng.”

“Iya, iya makasih. Kayaknya nggak lama Bu. Mau ini.. ngg… nyampai-in ini saja.” kata Ajeng sambal mengeluarkan bungkusan kecil.

“Apa ini?”

“Hehee…. tebak saja Bu, katanya pesanan ibu waktu mamah ke Jogja kemarin itu.”

“Oooo…. ya ampuuuun…. Ajeng, mamahmu itu lho! Aku hanya bercanda, menggoda jangan lupa cuci mata kalau lewat Kotagede.” kata Bu Nisa sambal merima bungkusan kecil dengan kertas kado. Wajahnya sumringah.

“Ooo nggak tahu Bu.”

“Pasti isinya ….. mmm …. dibuka ya Jeng?” katanya seperti minta ijin.

“Hehehe…. iya silakan saja Bu.”

Sejenak mata Ajeng mengikuti gerakan Bu Nisa membuka bungkusan kecil. Tampak wajah Bu Nisa yang sumringah itu ditimpah rona penasaran.

“Astaghfirullaaaah! Cantiknyaaaa….. Ajeng lihat! Cantik banget bros ini…. “ kata Bu Nisa seraya menunjukkan bros perak handmadeKotagede. Ajeng tersenyum.

“Iya.. iya, bagus.”

“Kalau Ajeng dikasih apa sama mamah?”

“Cincin. Ini …” kata Ajeng sambal menunjukkan cincin dijarinya. Bu Nisa tersenyum menggelengkan kepalanya. Ditatapnya gadis di depannya dalam-dalam.

“Sini ….” Kata Bu Nisa sambil menyorongkan kedua tangannya ke arah Ajeng. Ajeng tahu, perempuan itu minta dirinya untuk menyambut pelukannya.

“Ibu…”

“Ajeng …. mmmh… kamu jadi anak ibu ya …” kata Bu Nisa sambal mencium kepala Ajeng yang membenam di dadanya.

Dada Ajeng bergetar mendengar kata-kata itu dekat di telinganya. Ada rasa beda yang timbul dari kata-kata sahabat ibunya. Dan pula, entah kenapa ia merasa dekat sekali dengan Bu Nisa, dekat tanpa batas. Serasa mendengar apa yang sedang bergetar di hati perempuan itu.

Keduanya kaget ketika mendengar ada suara motor di depan. Bu Nisa melepaskan pelukannya terhadap Ajeng. Keduanya melihat ke arah motor yang baru datang. Dada Ajeng kembali bergetar. Ini getaran yang kedua setelah tadi dipeluk Bu Nisa. Galih…. gumamnya seraya mencoba menekan perasaaan yang bergejolak di hatinya. Ia tatap sejenak pemuda tanggung yang baru datang. Pemuda itu tampak menghela nafas.

“Ini Ajeng Lih, sini ….” kata Bu Nisa kepada anaknya yang baru datang.

“Nggak Mah … mmm …. maaf Mah, ada yang ketinggalan di sekolah. Pamit dulu Maaah…” mendadak pemuda yang masih memakai seragam putih abu-abu itu kembali naik motor, meninggalkan halaman rumahnya.

Bu Nisa menghela nafas, kemudian menggeleng. Sementara itu Ajeng mengatubkan bibirnya.

“Anak itu suka seenak sendiri. Susah diatur. Tapi mudah-mudahan selalu dalam kebaikan.” gumam Bu Nisa pelan, namun terdengar jelas oleh Ajeng.

“Aamiin Bu.” timpal Ajeng.

“Ajeng kenal Galih kan?”

“Hehehe…. kenal-kenal enggak. Tahu mah tahu, tapi ya begitu.”

“Nggak tahu juga Ibu, padahal Galih dan Ajeng sama-sama kelas dua belas.”

“Heheee… iya ….”

“Maafin Galih Jeng, sekedar menyapa saja enggak.”

“Biar saja Bu nggak apa-apa. Oh iya bu, Ajeng pamitan dulu ya, sudah sore.”

“Bener nggak minum dulu.”

“Nggak bu, terima kasih. Lain kali saja.”

“Benar lain kali lho ya!”

“Insya Allah Bu.”

“Salam untuk mamahmu kalau sudah pulang dari Bandung.”

“Saya sampaikan Bu. Mari bu, assalaamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam.”

***

Usai mengerjakan tugas sekolah Ajeng tiduran.

Matanya menatap langit-langit kamar. Wajah Galih terbayang. Anak sahabat ibunya itu dikenalnya belum terlalu lama. Mungkin karena di awal kelas XII ia baru ngehbahwa ia punya perasaan yang tiba-tiba saja datang, maka seolah-olah ia baru mengenal. Padahal orang tua keduanya sudah lama bersahabat.

Kini bulan kedua gadis itu duduk di kelas XII. Sebentar lagi kepengurusan OSIS 43 akan diestafetkan kepada adik-adik kelasnya. Purnabakti. Ia bersyukur bahwa di kelas terakhir akan lebih berkonsentrasi dalam belajar. Cita-cita harus dikejar. Target harus dipasang. Keyakinan harus dipatri dalam-dalam di hati.

Tapi kenapa konsentrasiku sedikit terusik dengan kehadiran Galih? Galih? Galih? Namamu dulu tak aku kenal …. Galih ….” Ajeng terhanyak hingga bangkit dari tidurannya.

Dia menyadari, ia tak bisa membendung rasa yang muncul tiba-tiba saja ketika ia naik ke kelas XII. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa di saat-saat sudah mendekati penghujung di SMA rasa itu baru muncul?

“Datangnya cinta tak bisa direncanakan Ajeng!”

Ajeng mendesah. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Livia sahabatnya. Kadang ia bersama sahabatnya, atau teman-teman lain sering berseloroh. Kenapa bagi siswa yang paling banyak dibahas adalah masalah cinta? Masalah PDKT? Masalah PHP? Bukan pelajaran?

“Pelajaran mah sudah ada setiap detik, bahkan tugaspun tak habis-habis! Apalagi Negara sudah ada yang mengurus! Urusilah cinta yang bisa membuat hidupmu berwarna lain!”begitulah kata-kata jahil yang sering dilontarkan teman-teman yang diakhiri dengan tertawa bersama.

Awas Jeng, jangan sampai cita-citamu kandas oleh kehadiran Galih. Dia itu misterius. Dia tidak tahu kamu suka padanya, kamu malah sibuk sendiri mengeluh.”

Ajeng mendesah.

Ia melihat jam di dinding. Kedua jarumnya hampir sejajar vertikal. Gadis itu bangkit perlahan.Dalam kesendirian banyak sekali kata-kata sahabatnya yang datang. Ada yang masuk akal, ada yang di-iyakan, ada yang dipikirkan kembali. Ada yang diabaikan, tetapi banyak pula yang ditakutkan.

Tepat pukul 00.00 gadis itu telah menengok ke kanan mengakhiri penghambaanya kepada Allah dengan mengucap salam. Sebuah kepasrahan atas apa yang menjadikan dirinya kadang gundah gulana. Kadang-kadang dengan malu, ia paksa adukan kegundahan rasa simpatinya kepada Galih. Ia hanya meyakini, Galih adalah makhlukNya yang diamanatkan melalui kedua orang tuanya. Jadi, kepada siapa lagi aku harus meminta kebaikan atau meminta yang lain selain kepada Allah?

Bibir Ajeng tersenyum, ia teringat benar bagaimana tadi siang Bu Nisa memeluk dirinya sambal berbisik “….. kamu jadi anak ibu ya …..”.

Bu Nisa … doakan yang itu untuk Galih bu, biar jadi lantaran doa ibu kepada anaknya …” gumam Ajeng hampir tak sadar.

Akankah dia memberi warna hidupku ya Allah? Galiiih……, gumamnya seraya melepas mukena yang dipakainya.

***

Menjelang tengah malam, mata Galih belum juga mengantuk.

Ia ingat, tadi sore melihat begitu jelas Ajeng bertengkar dengan Bowo. Betapa ia ingat kalimat Ajeng dalam marahnya kepada Bowo “ … sampai-sampai aku membatalkan sebuah acara keluarga!”

Acara keluarga? Galih tahu benar apa yang dimaksud Ajeng. Itu adalah adalah acara di rumahnya. Beberapa hari yang lalu ibunya telah memberi tahu bakal ada acara di rumahnya, yang dihadiri ibunya Ajeng.

“Betapa indahnya kata-kata acara keluarga ….. Ajeng… “

Pemuda seangkatan Ajeng itu mendesah. Ia mengambil smartphone. Dengan perlahan ia membuka galeri yang ada. Ada satu gambar yang diingatnya.

dok pribadi
dok pribadi
“Ajeng aku mengagumimu, tapi mungkin kamu tidak tahu. Atau bahkan kamu tak akan tahu selamanya. Aku dan kamu bagaikan bumi langit. Kamu aktivis OSIS, pandai berbicara, pandai memotivasi orang lain, adik-adik kelasmu. Bawo. Apalagi dia, Prabowo adalah ketua OSIS yang brilliant. Kamu sering bersamanya …. Ajeng …. andaikan aku adalah Bowo, betapa aku bakal banyak mengenalmu….”

Galih menatap gambar itu hingga lama.

Pemuda itu ingat benar bagaimana ia memberanikan diri mengambil gambar Ajeng dari ruang kelasnya dari balik kaca jendela. Hanya ada satu detik momen yang berkesan yang mungkin tak terulang lagi. Ia ingat betapa gugup ketika ia mulai membidik. Ia takut Ajeng melihatnya.

Siang tadi di rumah sendiri, ia melihat Ajeng bersama ibunya di rumahnya. Ya, di rumahnya. Sebuah momen yang sangat bagus. Ibunya bersama Ajeng. Sebuah perpaduan yang harmonis. Mestinya! Mestinya ini kesempatan baik! Ia menepok jidat sendiri.

Ketika ia kemudan berpamitan, tak jadi pulang ke rumah, ia kembali ke sekolah. Ia duduk sendirian di sisi lapangan basket. Ia kesal. Pemuda itu mengutuki dirinya sendiri. Kenapa tidak menemui Ajeng. Ya, dirinya juga tidak tahu kenapa dirinya menjadi tak tenang ketika melihat Ajeng. Ia bahkan ingat ada sebuah momen seperempat sekon bertemu pandang dengan gadis itu.

Galih mendesah.

Ia melihat jam di dinding.

Kedua jarumnya hampir sejajar vertikal. Pemuda itu bangkit perlahan.Ingin mengumpulkan kekuatan, memohon kepada Tuhan-nya, agar di masa-masa akhir sekolah sempat dipertemukan dengan Ajeng dalam suasana yang nyaman.

Tepat pukul 00.00  Galih itu telah menengok ke kanan mengakhiri penghambaanya kepada Allah dengan mengucap salam. Wajah Ajeng berkelebat.

Ajeng……, gumamnya.

***

                Tanggal 06 Mei 2017.

                Hari ini perpisahan akan dilaksanakan. Para siswa dengan baju resmi, stelan jas berdasi untuk alumnus laki-laki, dan kebaya untuk alumnus putri. Keceriaan sangat tampak di wajah-wajah mereka. Inilah masa SMA, masa yang terindah bagi mereka. Masa persekolahan di mana mereka masih dididik oleh para guru dengan nasehat-nasehat yang mengalir bak sungai tanpa henti. Masa-masa menjelang pelesatan inner-potential, peralihan dari dari masa-masa cenderung pasif dalam interaksi, menuju masa-masa mandiri secara psikologis.

dok pribadi
dok pribadi
Masa SMA adalah masa yang tak terlupakan. Banyak kisah, baik pribadi maupun dalam kebersamaan. Dinamika interaksi yang sangat humanistis ala anak-anak , biarpun secara fisik sudah dewasa, namun uniform putih abu-abu, akan tetap membawa makna anak-anak.
Ada friksi, konflik dan penyelesaian, belajar bersama, belajar saling membantu, belajar membangun empati terhadap keterbatasan teman, belajar menghargai perbedaan pendapat, belajar menggali potensi, belejar mandiri, belajar berkolaborasi dalam perbedaan potensi. Memupuk dedikasi, membangun karater diri dengan pertemanan, dengan persahabatan, baik sahabat yang akhirnya menjadi sahabat sementara, maupun sanabat yang akan tetap terjaga menjadi sahabat sejati sampai kapanpun.
Simpati, iba, rasa kekaguman, rasa cemburu, rasa cinta juga menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak terucapkan karena ketidak beranian, cinta yang bersambut, cinta yang gagal, cinta yang memberikan pengalaman untuk memahami karakter di masa muda. Banyak pelajaran yang diambil dari pengalaman cinta.
Kekaguman terhadap teman yang berprestasi, kekaguman terhadap teman yang selalu berusaha walaupun gagal berkali-kali, kekaguman terhadap teman yang selalu mau berbagi, kekaguman terhadap teman yang selalu membuka ruang untuk menerima curahan isi hati.
Kekaguman terhadap para guru. Kekaguman terhadap guru yang lucu, kekaguman terhadap guru yang rajin dan santun, kekaguman terhadap guru yang menginspirasi, kekaguman terhadap guru yang kreatif, kekaguman terhadap guru yang tangguh yang selalu mengerti kondisi para siswa, kekaguman terhadap guru yang memahami potensi dan bakat yang dimiliki, kekaguman terhadap guru yang tak pernah menunjukkan rasa lelah, kekaguman terhadap guru yang tak pernah marah, kekaguman terhadap guru yang mampu menjadi sahabat para siswanya.
Siapa yang memiliki kekaguman itu? Tentu, si putih abu-abu. Yang kini telah dilepas secara simbolis dengan beribu kenangannya. Semua ada di SMA Negeri 1 Majalengka, sekolah yang telah tiga tahun menjadi tempat bermain, menjadi almamater atau ibu asuh yang akan selalu mencintai dan mendoakan para alumninya.
Di deretan kelas XII MIPA 6 yang agak ke belakang, Ajeng menyikut pelan lengan Livia. Yang diberi kode menoleh.
“Apa?”
“Aku pengen ketemu Galih.”
“Haha! Ya tinggal nanti pas bubar acara.”
“Tapi malu. Aku kan cewek!”
“Aku comblangin.”
“Maksudnya aku sebenarnya ingin dia yang datang ke aku…. terus …. teruuusss…”
“Foto bareng?!”
“Ya itulah. Buat apa pakai baju kebaya bagus gini nggak foto sama dia.”
“Kalau Bowo pasti mau.”
“Nggak!”
“Bowo sudah lama suka sama kamu lho Jeng.” Kata Livia memancing.
“Aku juga tahu.”
“Ya sudah, terima saja.”
“Nggak.”
“Jeng … mmm gini, tadi pagi kamu tahu nggak, pas kamu mau ke resepsionis di depan sana. Kamu ngobrol bareng Bowo kan?”
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Dari gerbang ada Galih datang. Tapi begitu ia sadar di depan jalan yang mau dilewati ada kamu ngrol sama Bowo, dia balik arah.”
“Ah? Masa Vi?”
“Iya. Dia pilih masuk lewat jalan timur.”
“Oooo….”
“Kamu tahu maksudnya apa?”
“Nggak.”
“Kalau dia nggak ada rasa sama kamu, nggak mungkin dia berlaku seperti itu. Dia itu cemburu Jeng.”
“Ah ngaco kamu Vi!”
“Waktu kamu diterima SNMPTN, dia juga sempat ketemu aku, katanya semakin malu sama kamu, karena dia nggak diterima….”
“Dia bilang begitu?”
“Iya!”
“Terus apa lagi?”
“Kamu mau aku comblangin nggak Jeng?”
“Noway! Nggak banget!”
“Kamu keras kepala Jeng.”
“Kamu pengen tahu alasanku kenapa Vi?”
“Kenapa?”
“Aku nggak mau berhutang budi padamu! Ntar kalau aku jadi sama Galih, setiap lihat dia, bayanganmu berkelebat. Hutang budi? Nggak …. biarlah aku berjalan dengan caraku.”
“Astaghfirullaaah… Ajeng Ajeeeng… ya sudah aku doakan saja!” kata Livia sambal menghela nafas dalam.
“Doakan aku di setiap sujud terakhir shalatmu Vi!”
“Apa?!”
“Doakan aku di setiap sujud terakhir shalatmu Vi!”
“Berat sekali? Noway! Aku doakan sekali saja!”
“Dasar pelit!”
“Heheee…. Jeng, dengar aku …”
“Apa Vi?”
“Mungkin ruangan yang indah ini tak seindah apa yang kita inginkan. Jangan nangis kalau kita meninggalkan SMA kita dengan kehambaran cinta. Kamu hambar, aku juga. Aku ada, tapi LDR-an. Dia menungguku di Semarang. Oke?”
“Iii.. iya.. hh..”
“Jangan nangis laah!”
“Kamu sih ngomong gitu, malah jadi pengen nangis.”
“Hambarmu tak sepenuhnya Jeng, kamu diterima di UPI, komunikasi lagi. Itu sesuai dengan kemahiranmu saat ini, yang  ditempa di OSIS.”
Hari itu benar-benar perpisahan yang sebenar-benarnya.
Tak ada  yang menahan, tak ada yang menyatakan kehilangan, tak ada yang menyatakan kutunggu kau lima tahun lagi setelah aku sukses dan sejenisnya. Dan akhirnya Ajeng pun tak mau berfikir untuk sebuah penyesalan. Mungkin demikian jalan yang harus ditempuh melewati masa SMA-nya, tak sesuai dengan harapan. Atau tepatnya, ia tak mengetahui apa yang sebenarnya ditakdirkan kepada dirinya. Tentu, karena hanya Tuhan yang telah membuat skenario. Dan akhirnya gadis itu pun memahami.
***

Maret 2021.
Pukul setengah dua siang Ajeng bersama kedua orang tuanya meninggalkan kantin barat Kantor Imigrasi Cirebon. Mereka bertiga berjalan menuju ruang pendaftaran. Kedua orang tuanya duduk hanya Ajeng menuju loket pengecekan berkas-berkas pembuatan paspor.
“Ajeng!” ada suara di sampingnya.
Gadis itu menoleh. Matanya terbelalak. Dirinya hampir tak percaya. Di tengah-tengah keraguan, ia melihat sinar mata yang sempat ia kenal. Wajah itu kini sedikit tertutup oleh cambang tipis di kedua pipinya.
“Galih? Kau Galih?”
“Iya Ajeng….”
“Tunggu sebentar!”
Ajeng berlari ke arah ibunya memberitahu bahwa ada Galih. Ibunya yang dulu dikenal bersahabat kini sudah lama berpisah kota.
“Ibu sehat?” tanya ibunya Ajeng.
“Alhamdulillah Bu, Pak, semua sehat. Saya permisi dulu …” kata Galih bergegas.
Ajeng terhenyak. Ia mengejar Galih yang melangkah dengan cepat keluar ruangan.
“Galih tunggu!”
“Emm… iya Ajeng.”
“Kamu habis buat paspor?”
“Iya. Ajeng dengan ibu ayah juga?”
“Iya, kami mau umroh bulan depan.”
“Oh syukur, mudah-mudahan menjadi ibadah yang berkah.”
“Amin Galih … terimakasih doanya. Galih sendiri mau ke mana?”
“Emmm…. kemana ya? Jadi TKI gitu?” kata Galih sambal membuang pandang ke arah lain. Ajeng heran, Galih tak berani menatap dirinya. Ia tampak seperti anak SMA dulu yang masih pemalu.
“Yang bener saja Galih, kamu mau ke mana?”
“Nanyang.”
“Nanyang Singapura? Universitas Teknologi itu?”
“Mau mengadu nasib. Siapa tahu bisa lolos beasiswa di sana.”
“Amin Lih. Kamu lama nggak kabar-kabar.”
“Ajeng juga hilang hehe….”
“Ah kamu ini. Kamu yang susah ditemui.”
“Hehee… nggak tahu lah. Oh iya Jeng, aku pamit dulu. Doakan aku sukses, lolos di sana.”
“Iya Lih, semoga saja yang terbaik untukmu.”
“Terima kasih.”
Galih mengulurkan tangan.
Ajeng menerima uluran tangan itu dengan gemetar. Bibirnya terkatub. Pandangan mata keduanya bertemu. Gadis itu merasakan juga telapak tangan galih dingin dan bergetar. Ajeng merasakan detakan jantungnya menjadi tak teratur.
Hingga beberapa jenak gadis itu tak sadar bahwa Galih telah menjauh meninggalkan dirinya dengan tergesa. Ketika sadar apa yang terjadi, gadis itu beristighfar. Ia menyesal ingin sekali berbicara lebih lama dengan pemuda itu, namun ia malu untuk menyatakan itu.  
Hari itu adalah pertama kali berbicara panjang dengan Galih. Bersalaman juga baru kali ini. Sayang sekali banyak hal yang tak bisa dimengerti Ajeng. Kedua orang tuanya pernah bersahabat, walaupun sekarang keluarganya telah pindah dari Majalengka. Kalaupun tidak dengan dirinya, mestinya bicara dengan ibu dan ayahnya.
Hmh, tapi sudahlah.
Bertemu sekejap Ajeng juga bersyukur. Sebuah hal yang sangat tak terduga sama sekali setelah lima tahun meninggalkan SMA.
Juni 2021.
Selang empat bulan sejak bertemu dengan Galih, Livia, sahabat Ajeng menikah. Perhelatan pernikahan sahabatnya itu tentu menjadi ajang reuni teman-teman seangkatan dulu. Sebagian sudah berpasangan, sebagian masih sendirian. Termasuk Ajeng.
“Galih nggak kelihatan Jeng?” tanya Livia ketika usai foto bareng di pinggir pelaminan.
“Ngilang. Line nggak ada, WA alumni kita juga nggak gabung, pokoknya dia benar-benar menghilang.”
“Aneh banget dia.”
“Empat bulan lalu aku sempat ketemu dia Vi.”
“Hah? Di mana?”
“Di Kantor Imigrasi Cirebon.”
“Buat paspor ya? Mau kemana dia?”
“Lanjut kuliah di Nanyang.”
“O-em-ji! Singgepor? Kamu ketemu?”
“Iya.”
“Terobati kangenmu dong?”
“Cuma lima menit. Dia langsung pamitan.”
“Ooooo…. aneh benar dia.”
Selalu pembicaraan aneh dan tak ada ujungnya ketika membahas Galih. Akhirnya pembicaraan di perhelatan pernikahan itu menjadi ajang untuk mensuport dan saling mendoakan.

***
Angin semilir di teras. Ajeng masih sibuk dengan tugas yang dihadapi.
Biarpun kali ini liburan semester, namun ia harus bersiap lebih keras lagi untuk mencapai prestasi di jenjang magister. Tak peduli itu sedang pulang kampong, tugas turut dibawa.
Bim!
Ajeng kaget. Ia menoleh ke arah klakson motor. Sebuah CBR hitam di standar di halaman. Kerongkongan Ajeng tersekat. Ia tak percaya yang berjalan ke arahnya adalah Galih.
“Galih?”
“Ya, ini aku.”
“Bukannya kamu di Singapura?”
Sore itu Galih bertemu keluarga Ajeng. Ajeng merasa sangat heran. Kali ini sifat Galih yang lebih banyak menghindar tak tampak lagi. Sangat jauh berbeda seperti ketika terakkhir bertemu di Cirebon.
Di teras Galih duduk sendirian. Sejenak kemudian muncul Ajeng dari dalam membawa baki berisi teh dan kue kering. Gadis itu meletakknya di meja. Dari sudut pandangannya, gadis itu tahu Galih mengamati dirinya. Ia pura-pura tidak tahu. Namun tak urung dirinya tergoda untuk bertanya ketika tiba-tiba Galih tersenyum.
“Ada apa senyum-senyum?”
“Mmm…. kaya beneran.”
“Apanya yang beneran?”
“Teh-nya.”
“Ya memang teh beneran. Terus apanya yang lucu sampai tersenyum?”
“Aaah nggak jadi.”
“Diminum teh-nya.”
Benar. Ajeng merasakan Galih tak sekaku kemarin-kemarin. Sekarang pemuda itu berbicara dengan santai, tak tampak rasa gugup. Gadis itu tak habis piker. Tapi ia juga sangat bersyukur memang kondisi Galih seperti inilah yang ia harapkan.
“Lih, bagaimana kuliah di luar negeri-nya? Enak?”
“Enak. Enak banget kalau lancar. Sayang itu hanya dimiliki oleh orang lain.” kata Galih melemah. Ajeng mengernyitkan dahi.
“Maksudmu?”
“Aku gagal.”
”Astaghfirullah, gagal Lih?”
“Iya.”
“Tesnya ketat Lih? Sulit begitu?”
“Nggak tahu. Hanya kayaknya ada yang doanya tidak tulus.”
“Maksudnya?”
“Ada yang mendoakan aku agar sukses, tetapi doanya tidak sepenuh hati.”
“Siapa yang mendoakan itu?”
“Sahabat Livia.”
“Sahabat Livia? Galih tahu nggak Livia menikah sepuluh hari yang lalu?”
“Aku tahu, hanya aku belum sempat beri ucapan selamat. Baru kemarin ini aku mampir ke sana. Ya, Livia sahabatmu itu Jeng.”
“Ooo syukurlah. Terus sahabat Livia yang tak tulus mendoakanmu siapa?”
“Memang sahabat Livia itu siapa?” Galih ganti bertanya.
“Banyak sih.”
“Yang paling dalit, paling karib, yang ibarat siang malam dalam suka duka selalu bersama.”
“Aku maksudmu?”
Galih mengangguk pelan. Ajeng mendesah. Sebuah pernyataan yang tidak enak baru saja dengan dari ucapan pemuda di depannya.
“Iya. Doa Ajeng kayaknya nggak tulus buat aku ya?”
“Galih … siapa sih yang sampai segitunya sampai tahu tulus dan tidaknya doa seseorang?” Ajeng memprotes.
“Ajeng tidak tulus aku kuliah di luar negeri. Kamu lebih suka aku tetap di sini, di Majalengka, di Bandung. Iya Jeng?”
Mendengar kata-kata itu, gadis itu merasa jantungnya berhenti sejanak. Kalimat itu sangat dalam maknanya. Sulit diterjemahkan. Ajeng sendiri tak begitu saja langsung bisa menerjemahkan.
“Maafkan aku Galih. Mengapa Galih bisa berkata begitu?”
“Kemarin aku bertanya ke Livia, bagaimana hubungan Ajeng dengan Bowo. Dia malah mengatakan tak tahu apa-apa. Setahu Livia katanya, Ajeng katanya single fighter, berjuang sendirian untuk mengejar sebuah keyakinan.”
“Livia ngomong begitu?”
“Iya, Bagaimana sebenarnya dengan Bowo Jeng?”
“Ya nggak tahulah.”
“Sejak Ajeng di OSIS dulu? Bowo bukannya suka sama Ajeng?”
“Mungkin, tapi nggak ada apa-apa kok. Sejak lulus aku juga nggak tahu ke mana akhirnya mantan ketua OSIS itu. Eh Lih, kenapa si malah ngurus Bowo?”
“Ajeng jangan ketawain aku ya! Aku jeles sama dia!”
“Jeles? Galiiih……. kamu lucu. Kita kan kenal juga seadanya, kenapa mesti jeles segala.”
“Nggak tahu, makanya pas kita ketemu di Imigrasi dulu, kalau lihat Ajeng terus terbayang Bowo. Aku sebel! Makanya aku cepet-cepet pergi.”
Di usia pasca kuliah S1, ternyata keduanya masih bisa berbicara seperti anak-anak SMA. Hampir tak ada gaya bicara yang hilang. Mungkin Galih yang dulu punya penilaian lain, sekarang sudah terbuka pikirannya.
Ketika siang hendak pulang, Galih sudah berada di jok CBR-nya. Ia memberi isyarat agar Ajeng mendekat.
“Ada apa?”
“Aya yang membahagiakan saya ketemu keluarga Ajeng hari ini, terutama Ajeng. Ajeng yang masih utuh.”
“Maksudnya?”
“Dulu, ketika lulus, aku khawatir kalau suatu saat Ajeng akan berubah. Tapi sekarang masih utuh Ajeng yang dulu. Ajeng yang tidak mengoperasi menghilangkan tahi lalat di dahi kanannya!”
“Galiiiih!” tanda sadar Ajeng mencubit keras lengan pemuda itu. Namun kemudian wajahnya tampak memerah menahan malu. Ditutupinya wajahnya sambal tertawa.
“Jangan dioperasi tahi lalatnya ya Jeng.”
“Engghaaaakk hihihi….. aaah Galih!”
“Itu yang bikin aku kangen!”
“Ah kamu ngaco!”
“Aku pamit dulu Jeng.”
“Iya, iya. Hati-hati …”
Galih menjalankan sepeda motornya perlahan. Setelah berjalan sekitar lima meter, kaki Galih bertelekan tanah. Motor itu ia mundurkan. Ajeng heran.
“Ada apa lagi?”
“Ajeng…. masih ada pertemuan kita yang kedua. Di Bandung. Ingat di Bandung.”
“Mhmh….”
“Ajeng dengar nggak?”
“Iya.. iya dengar.”
“Di mana Jeng?”
“Bandung.”
“Janji ya?”
“Insya Allah.”
“Alhamdulillaaah…..”
***
Bandung. Lembang.The Ranch.
Udara dingin. Di tengah libur kuliah magisternya Ajeng memenuhi janji, memenuhi undangan Galih. Keduanya tengah menikmati hot chocolatos marsmallow, makanan ringan dan tentu canda.
“Ajeng hampir lulus S2?”
“Insya Allah hampir. Doakan saja.”
“Aku doakan.”
“Setelah lulus mau apa?”
“Belum tahu.”
“Menikah?”
“Belum tahu.”
“Kalau datanag ke pernikahan teman sukan ditanya kapan nyusul nggak.”
“Hehee… iya, selalu.”
“Livia kemarin menikah.”
“Iya.”


“Nggak tahu.”
“Tunggu…. aku punya sesuatu …. “
Beberapa jenak Galih memainkan smartphonenya. Jarinya menekan tombol galeri. Sejurus kemudian ia menyorongkan sebuah gambar ke depan Ajeng.
“Aku punya gambar indah banget! Iniiii!”

foto dok. Ajeng Megapratiwi
foto dok. Ajeng Megapratiwi
Ajeng terbelalak. Ditatapnya mata Galih.
“Galih, kamu dapat dari mana?”
“Dari Livia. Bukannya ini di pernikahan Livia.”
“Iya.”
“Ajeng, lihat gambar itu. Inilalah gambar gadis yang aku kagumi sejak SMA. Hanya saja dulu aku minder. Tak memiliki keberanian. Hingga akhirnya kepulanganku dari perjuangan gagal di Nanyang, aku mendapatkan informasi banyak tentang Ajeng, dari Livia….”
“Galih.”
“Ajeng, maukah Ajeng Galih temani?”
“Ke mana?”
“Nyusul.”
“Nyusul siapa?”
“Ajeng di foto itu mau nyusul siapa?”
“Mmmh….”
“Galih mau menemani Ajeng nyusul …” kata Galih hampir tak terdengar.
Mata Ajeng terasa panas. Beberapa jenak keduanya diam. Hingga beberapa saat akhirnya gadis itu tak mampu menaham air mata. Dua air mata bening menuruni pipin. Ajeng menyeka dengan punggung tangannya.
“Ajeng, jawablah ….”
“Mmmh….”
 “Galih serius. Galih mau bareng Ajeng nyusul … menyusul sebuah harapan besar. Ajeng, ini adalah keputusan besar dalam hidupku. Mudah-mudahan perasaan yang Galih pelihara sejak enam tahun lalu akan mendatangkan kebaikan. Mau ya Jeng?”
“Mmm….”
Tenggorokan Ajeng tersekat. Bibirnya tak bisa bicara.
Apa yang sedang dihadapinya adalah sebuah sejarah besar dalam hidupnya. Di tengah kegaluaan untuk menjawab pertanyaan Galih, gadis itu perkataan Bu Nisa “Ajeng, kamu jadi anak ibu ya.” Kejadian itu lama sekali. Namun kata-kata itu terngiang begitu jelas. Mungkin inilah jawaban dari harapan bu Nisa, ibu Galih.
Perlahan ia mengangkat muka. Ditatapnya sekilas mata Galih. Benar, ia melihat ada sebuah sinar mata yang memberikan getaran teramat dalam di hatinya. ***

* Cerpek fiksi Request Ajeng Megapratiwi

Kelas XII MIPA SMAN 1 Majalengka Alumnus 2017

Mahasiswa baru Pend. Ilmu Komunikasi - UPI Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun