“Nggak bu, terima kasih. Lain kali saja.”
“Benar lain kali lho ya!”
“Insya Allah Bu.”
“Salam untuk mamahmu kalau sudah pulang dari Bandung.”
“Saya sampaikan Bu. Mari bu, assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam.”
***
Usai mengerjakan tugas sekolah Ajeng tiduran.
Matanya menatap langit-langit kamar. Wajah Galih terbayang. Anak sahabat ibunya itu dikenalnya belum terlalu lama. Mungkin karena di awal kelas XII ia baru ngehbahwa ia punya perasaan yang tiba-tiba saja datang, maka seolah-olah ia baru mengenal. Padahal orang tua keduanya sudah lama bersahabat.
Kini bulan kedua gadis itu duduk di kelas XII. Sebentar lagi kepengurusan OSIS 43 akan diestafetkan kepada adik-adik kelasnya. Purnabakti. Ia bersyukur bahwa di kelas terakhir akan lebih berkonsentrasi dalam belajar. Cita-cita harus dikejar. Target harus dipasang. Keyakinan harus dipatri dalam-dalam di hati.
“Tapi kenapa konsentrasiku sedikit terusik dengan kehadiran Galih? Galih? Galih? Namamu dulu tak aku kenal …. Galih ….” Ajeng terhanyak hingga bangkit dari tidurannya.