Gadis itu tak menjawab. Ia bergegas ke berjalan ke a
rah selatan melintasi taman, melewati pinggir multimedia.
Brak!
Begitu melintasi pintu depan gadis itu kaget. Suara berisik papan jatuh di tembok pinggir ruangan multimedia. Gadis itu menoleh cepat. Ia melihat ujung belakang sepatu yang menghilang di belakang ruangan. Ajeng berhenti. Ia menghela nafas. Ditengoknya arah graha OSIS. Bowo masih di sana mengamati dirinya. Lalu siapa yang lari hingga melanggar kayu? Pikirnya sambal terus berjalan.
Sebenarnya bisa saja ia mengejar ke arah belakang multimedia di depan deretan ruang kelas X, namun ia putuskan untuk tidak peduli. Setelah menenangkan diri gadis itu melanjukan langkah meninggalkan multimedia menyusuri teras ruang BK dan ruang guru. Sekitar tujuh menit berikutnya gerbang sekolah telah dilalui motornya.
Waktu baru pukul empat sore lewat sedikit.
Ajeng mengehentikan motornya. Ia membuka resluiting tas yang dicangklongnya. Ia lihat sejenak ke dalam tas. Ia lega. Bungkusan kecil amanat ibunya untuk bu Nisa masih aman. Sebenarnya ia agak enggan ke rumah itu karena terlanjur minta ijin untuk tidak ikut pertemuan mewakili ibunya. Namun daripada membawa pulang barang itu, ia memutuskan untuk memberikannya sekarang.
“Assalaamu’alaikum Bu…. “ kata Ajeng ketika bertemu bu Nisa di teras.
“Aeh si cantiiik…. katanya ada rapat!” sambut perempuan sahabat ibunya itu.
“Nggak jadi Bu, rapat dibatalkan.”
“Ooo…”