Hari Minggu, usai UN, dekat ruang server.
Putri sudah lama menanti kedatangan Radite. Gadis itu gelisah. Beberapa kali ia beranjak dari duduk, melihat ke gerbang sekolah. Sepi. Di lingkungan sekolah hanya tampak beberapa orang yang mengurus kegiatannya sendiri. Perlahan matanya melihat ke arah masjid. Masjid yang megah di almamaternya itu sebentar lagi akan ditinggalkan. Ia ingat betapa ketika kelas-kelas akhir di SMAN 1 Majalengka bersama beberapa temannya selalu melaksanakan shalat dhuha. Ke arah selatan sedikit, tampak bangunan Multimedia. Gadis itu mendesah. Ia ingat ketika di multimedia Radite memberinya gantungan kunci bergambar bunga mawar.
Beberapa jenak kemudian Putri mencoba menghubungi sahabatnya itu, namun HP Radite masih tidak aktif. Gantungan kunci yang ada di kontak motornya ia pandangi. Hhhh! Putri kesal. Hingga menjelang waktu dzuhur, yang dinanti tak kunjung datang. Gadis itu memutuskan pulang. Gombal! Walau tak terucapkan, tak urung kesabaran untuk tidak mengungkapkan sesuatu yang jelek terlintas juga. Dengan langkah cepat ia meninggalkan halaman sekolah yang sepi. Beberapa saat kemudian ia telah berada di perjalanan menuju rumahnya di Kadipaten.
Sampai di rumah ia matikan HP-nya. Untuk keperluan lain, ia mengaktifkan nomor yang lain. Rasa kesalnya terhadap Radite benar-benar memuncak. Termasuk puasa medsos. Ia ingin menenangkan diri dari nama Radite.
Hari minggu berikutnya.
“Put .... putriiii! Tunggu!” ada suara berteriak di belakangnya. Putri menoleh.
“Aaah.. kau Ngga! Ada apa?” tanya gadis itu demi melihat Anggara, teman sekelasnya.
“Jangan pulang dulu Put. Aku ada perlu sebentar.”
“Apa?”
“Penting, kita duduk di depan gerbang.”