Zaniar menjawab dengan reflek. Padahal ia tahu tidak mempunyai uang cukup. Di sakunya hanya ada uang dua puluh ribu yang akan digunakan untuk membeli tepung. Namun kemudian Zaniar menggeleng cepat untuk menghilangkan rasa khawatirnya. Seandainya saja Joni mati, maka ia merasa akan menjadi orang yang paling menyesal seumur hidupnya.
Perlahan angkot mulai bergerak ke arah bundaran patung mangga, kemudian memutar ke arah barat menyusuri jalan raya menuju rumah sakit. Sampai di dekat pertigaan patung botol, Zaniar terhenyak melihat laki-laki yang pingsan menggerakkan tangan. Zaniar semakin gembira ketika laki-laki itu mengerdip-ngerdipkan mata. Bahkan beberapa jenak kemudian laki-laki itu membuka matanya.
“Di mana aku?” Tanya Joni seraya duduk.
“Di angkot. Kamu mau dibawa ke rumah sakit!” kata laki-laki yang duduk di dekatnya.
“Siapa yang sakit?”
“Kamu! Kamu hampir mati!”
“Saya?”
Joni bingung sejenak. Ketika pandangannya berkeliling mata Joni melihat Zaniar yang duduk di bagian belakang. Laki-laki itu kaget kemudian duduk.
“Kamu? Kamuuu….!” kata Joni menunjuk Zaniar dengan wajah pucat.
“Iya saya.”
“Turunkan saya….. awas minggir! Berhenti! Berhentiiii sopiiir! Berhenti!” kata Joni sambil berteriak-teriak menggebrak kursi belakang sopir.