Admin Kompasiana juga begitu. Mereka memiliki pasangan calon dukungannya. Seobjektifnya seorang manusia, pastilah dia bisa memihak, karena mereka punya otak dan hati nurani yang menentukan pilihannya. Pilihan dalam memilih artikel pilihan maupun headline pun begitu dalam memilih pasangan calon. Sedikit banyak sikapnya sebagai seorang masyarakat biasa yang memiliki hak suaranya sendiri pasti mempengaruhi tulisan maupun penilaiannya untuk sebuah artikel yang masuk.
Jadi, keberpihakan dalam sebuah artikel maupun berita lumrah adanya. Pada dasarnya manusia hidup dalam pusaran keberpihakan dalam memilih dan memilah. Apalagi dalam sistem demokrasi. Keberpihakan itu nyata adanya dan tak bisa ditampik. Anda sebagai orang tua maupun pelajar adalah orang yang berpihak.
Orangtua akan bekerja untuk memberi nafkah pada anaknya. Bahkan, penjahat saja sering menjadikan keluarga untuk memotivasinya dalam melakukan aksi kejahatan. Pelajar juga begitu, mereka punya motif apapun untuk mencapai kelulusan. Baik untuk orangtuanya atau mendapatkan iming-iming yang di berikan orangtuanya maupun kesadaran bahwa pendidikan itu amat penting.
Namun keberpihakan itu ada dua, keberpihakan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan banyak orang. Tergantung bagaimana manusia itu menyikapinya, dalam hal ini admin Kompasiana. Apakah keberpihakannya mengganjar sebuah artikel sebagai pilihan maupun headline. Itu semua hanya Tuhan dan dia yang tau.
Saya ingin menulis kutipan tulisan dari Bapak Jakob Oetama dalam bukunya Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Kutipan ini saya rasa asyik sebagai pengingat untuk kita menyikapi ketidak tulusan yang terjadi dalam pemberitaan media massa, dalam hal ini produk pers.
Karena hal terbaik untuk menyikapi keberpihakan adalah dengan membaca, belajar, dan terus meng-update informasi. Paling penting di antara itu semua adalah jangan hanya mempercayai satu produk pers saja, namun lihatlah produk lain dari bermacam gaya pembahasan dan isu yang di hembuskan.
Berikut kutipan dari Bapak Jacob
"Kemerdekaan pers sebagai bagian termasuk perangkat demokrasi tidak menghapuskan ketidak tulusan. Tetapi ketidak tulusan lebih mudah dideteksi dalam masyarakat yang terbuka. Lagi-lagi orang harus belajar hidup dan berkomunikasi dalam kondisi baru"
KA Pasar Minggu - Palmerah
Jakarta, 5 Oktober 2016