Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mempersoalkan Keberpihakan Media, Sama Saja Bertanya Kapan Kiamat Tiba!

10 Oktober 2016   17:28 Diperbarui: 10 Oktober 2016   19:36 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: iyhps.org

Era demokrasi Indonesia ditandai dengan kebebasan menyuarakan pendapat. Maklum saja, semenjak Indonesia merdeka hingga dibukanya era baru bernama reformasi, kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapat amat dibatasi.

Dalam perjalanan menuju Indonesia yang lebih terbuka, Presiden ketiga Indonesia BJ. Habibie, mulai membuka keran kebebasan berpendapat yang salah satunya membuka kebebasan pers. Bagai jamur di musim penghujan, pembentukan media massa saat itu amat banyak. Namun banyak di antaranya pula yang mati akibat tidak mampu bertahan di tengah persaingan produk pers tersebut.

Kini, kita telah merasakan bagaimana kebebasan itu digunakan oleh insan pers dalam memberitakan sebuah peristiwa. Tetapi kita sebagai penikmat produk tersebut merasa dikhianati akibat keberpihakan orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan produk pers, baik cetak, online, maupun audiovisual.

Mengapa saya katakan proses? Karena pembuatan produk pers tak hanya melibatkan satu rangkaian dan satu orang tetapi banyak orang dengan job desk masing-masing. Pewarta di lapangan merupakan wartawan yang sering kita lihat ketika terjadi sebuah peristiwa.

Kemudian berita dari wartawan di lapangan akan diedit sedemikian rupa sesuai dengan kaidah dan gaya setiap media massa dalam mempublikasikan sebuah berita oleh editor di kantor. Ada lagi orang yang memberi instruksi sebagai koordinator wartawan di lapangan (korlip).

Tugas korlip adalah memberi arahan kepada pewarta untuk mengambil sebuah peristiwa yang penting dan memberikan alamat lengkap lokasi peristiwa itu. Dalam memberikan instruksi, korlip akan berdiskusi oleh kepala desk untuk menentukan agenda mana yang diutamakan untuk diliput. Orang-orang itu yang paling penting dalam proses pembuatan berita.

Orang-orang itu pula yang menentukan keberpihakan sebuah produk pers. Korlip dan kepala desk menentukan mana isu yang patut diangkat, menonjolkan isu satu dengan isu lainnya adalah sebuah keberpihakan, mengapa? Karena isu itu dipilih mana yang lebih penting dan tidak, sehingga terlihat keberpihakannya melalui motif kepentingan media pers tersebut.

Wartawan di lapangan pun begitu, di lapangan ada juga oknum yang nakal dengan menerima suap. Biasanya suap ini diberikan kepada pewarta dari seorang atau sebuah perusahaan yang ingin diangkat citranya sehingga mereka memberikan uang kepada oknum pewarta agar memberitakan yang baik.

Beda pula dengan model konglomerasi media. Konglomerasi bisa dikatakan sebagai kepemilikan banyak media oleh satu tokoh. Seperti di Indonesia, konglomerasi itu terjadi. Naasnya, media masa itu dimiliki oleh orang yang berafiliasi atau sebagai orang penting dalam sebuah partai politik. Jadilah berita, sebagai produk pers, selalu diangkat dari segi positifnya walau parpol itu sedang dirundung masalah.

Dalam media yang di miliki oleh anggota atau pengurus parpol, keberpihakan akan sangat terlihat lewat sajian beritanya. Lalu bagaimana keberpihakan itu terjawab pada media yang dinilai secara tersirat mendukung salah satu pasangan calon?

Sumber Gambar: www.republika.co.id
Sumber Gambar: www.republika.co.id
Keberpihakan akan sangat terasa ketika pesta demokrasi akan berlangsung. Dialah Pemilu, salah satu pesta rakyat terbesar dengan tema demokrasi. Setiap bakal calon pemimpin akan beriklan secara masif di semua media massa yang ada, media massa yang dimiliki oleh tokoh politik pun tak mau kalah. Mereka bergerak sebagai turbin pendongkel suara pasangan calon pemimpin lewat pemberitaan dan iklan yang dia lakukan.

Pun begitu dengan Kompasiana, sebuah media warga yang menjadi wadah bagi masyarakat berkeluh kesah dan menyuarakan opini serta reportasenya. Walau pemilu akan dilangsungkan tahun 2017, namun riuh rendah warga menyambut event akbar ini telah terasa jauh-jauh hari.

Bertubi-tubi artikel masuk ke Kompasiana. Berturut-turut pula artikel itu membicarakan seluruh pasangan calon pemimpin yang bertarung dalam pilkada serentak 2017.

Pembaca dan penulis di Kompasiana yang biasa disebut Kompasianer mengeluhkan admin kompasiana yang berpihak oleh salah satu pasangan calon. Mereka menilai admin dalam memilih artikel pilihan dan Headline mengutamakan artikel yang berbicara soal kebaikan satu pasangan calon.

Berbeda dengan produk pers pada umumnya, produk yang dihasilkan oleh Kompasiana merupakan artikel yang dibuat oleh warga. Prosesnya adalah warga lah yang mengemas produk tersebut dan akan dikoreksi sedikit oleh admin mulai dari keabsahan hingga teknik penulisan tanpa menghilangkan esensi dari tulisan tersebut.

Tentu saja artikel yang di berikan label artikel pilihan maupun artikel headline adalah artikel terbaik yang disajikan oleh warga. Jadi saya rasa keberpihakan kepada salah satu pasangan calon pemimpin sukar diterima jika tolak ukurnya adalah artikel pilihan dan headline yang dipilih oleh admin.

Saya amat percaya, praktik pemberian uang kepada penulis di Kompasiana sedikit risikonya, karena belum tentu semuanya cakap dalam menulis dengan struktur yang baik. Akses untuk meliput sebuah peristiwa atau tokoh penting pun akan sangat sulit mengingat mereka tidak memiliki legalitas dan payung hukum jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Mengapa saya katakan seperti itu? Seperti yang saya tulis di paragraf sebelumnya, praktik pemberian uang kepada oknum wartawan terjadi biasanya ketika sebuah peristiwa atau melibatkan institusi tertentu maupun parpol. Jadi jelas keberpihakan admin di level pembuatan berita tidak ada.

Kompasiana bukanlah sebuah media dengan pembaca sebanyak media mainstream atau produk pers yang ada. Hal ini berakibat pada isu yang ditonjolkan.

Isu itu bisa di lihat dari topik pilihan yang dibuat admin. Berbeda dengan produk jurnalistik pada umumnya yang bebas menentukan isu yang ditonjolkan, Kompasiana tak mungkin melakukan hal itu untuk menarik pembaca. Hal ini terjadi lantaran isu di Kompasiana mengikuti keinginan pembaca.

Sebagai sebuah produk pers alternatif, jurnalisme warga adalah alternatif warga dalam membaca dan menulis sebuah informasi. Informasi warga lebih banyak didapat dari media mainstream dan dituliskan ke dalam sebuah artikel yang diposting di laman Kompasiana. Tak ayal, isu atau topik pilihan maupun prokontra yang menjadi isu serta pemikat warga untuk menulis di Kompasiana dipengaruhi oleh para penulis dan pembaca yang mengikuti dan menuliskan hal-hal yang diberitakan oleh media mainstream.

Jika memilih isu sendiri, pastilah riuh di Kompasiana tak bisa dirasakan. Karena isu itu tidak populer untuk pembaca dan penulis di Kompasiana. Prokontra dan topik pilihan adalah salah satu cara Kompasiana menghidupkan riuh di blog keroyokan ini.

Lalu bagaimana keberpihakan itu dilihat dan dirasakan oleh Kompasianer dan pembaca di kompasiana? Padahal seperti analisis yang sudah saya jabarkan tadi, keberpihakan admin terhadap satu pasang calon pemimpin itu sulit terjadi.

Untuk menjawabnya, izinkan saya memberikan sedikit pengetahuan saya tentang hari kiamat. Dahulu, ketika belajar di TPA, saya ingat perkataan guru ngaji saya. Dia mengatakan bahwa kiamat itu tidak bisa diprediksi oleh siapapun.

Kedatangan kiamat itu hanya Tuhan, yang bernama Allah dalam ajaran agama saya yang mengetahui kapan tanggal pastinya. Guru ngaji saya menggambarkan bahwa kiamat akan menghancurkan sesisi jagad raya. Manusia layaknya kapas yang diombang-ambing oleh angin dan sebagainya. Entah penggambaran ini sesuai dengan hari akhir nanti atau tidak, namun yang pasti bagi seorang manusia beragama Islam, saya amat percaya dengan datangnya hari terakhir itu.

Tidak ada satu manusia pun yang tahu soal datangnya kiamat. Selama ini kita hanya menerka tentangnya. Bahkan orang barat sana percaya bahwa kiamat datang pada tahun 2012 namun sang pencipta berkata lain. Bumi masih hidup sampai kini, setidaknya hingga tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10:10, hari kedua saya merancang artikel ini.

Kiamat layaknya keberpihakan. Kita selama ini hanya menerka apakah keberpihakan itu benar terjadi atau tidak karena yang kita lihat hanyalah luarnya saja, kita tidak bisa melihat dalamnya. Selama ini kita sebagai penikmat produk pers hanya melihat beritanya tanpa pernah melihat apa yang ada di dalam dapur produksinya dan psikologis si pembuat berita atau admin di Kompasiana. Seperti kiamat, kita hanya melihat buih-buihnya seperti penggundulan hutan, lapisan ozon yang kian menipis, dll.

Sumber Gambar: www.pikirreview.com
Sumber Gambar: www.pikirreview.com
Keberpihakan yang tersirat amatlah sulit diterka. Apalagi dalam media warga macam Kompasiana ini. Bagaimana keberpihakan itu tidak terlihat jika penulisnya adalah warga yang mungkin banyak diantaranya tidak berasal dari jurusan jurnalistik dan tak pernah bekerja sebagai insan pers. Sehingga tidak mengetahui bagaimana kaidah jurnalistik yang di dalamnya mengharamkan keberpihakan dan subjektifitas.

Jadi amat jelas kaitan antara penulis Kompasiana yang sering menuliskan opininya dengan pemilihan admin mengganjar artikel pilihan dan headline. Karena admin memilih artikel terbaik tanpa mengurangi isi artikel dan warga menyampaikan opininya, opini itu adalah lambang subjektifitas penulis, yang bisa saja memiliki tujuan untuk meninggikan atau merendahkan kredibilitas pasangan calon lain.

Dengan kata lain, penilaian keberpihakan hanya Anda, para para penulis dan pembaca yang menentukan. Tapi ada satu proses yang saya belum analisis di sini, yaitu aspek psikologis admin.

Aspek psikologis amatlah penting untuk menentukan bagaimana sesorang dalam bekerja. Aspek psikologis lebih menekankan pada pengalaman pribadi atau sifat pribadi seseorang. Psikologis juga menentukan bagaimana orang itu akan bersikap.

Keberpihakan itu sebenarnya ada di dalam setiap individu. Bagaimana dia memilah dan memilih gaya berpakaian, memilih tujuan, memilih pasangan dan sebagainya. Semua ini merupakan hasil memilih, pemilihan itu meruapakan hasil dari keberpihakan.

Pun begitu dalam menyikapi Pemilu, semua orang punya pilihan jagoan masing-masing. Ada juga yang memilih untuk tidak bersikap lantaran tidak senang dengan pilihan calon yang tersedia. Sekarang, wartawan pun begitu. Walau dia bekerja di bawah naungan media yang di miliki oleh tokoh politik, tidak menyurutkan niatnya untuk memilih calon di luar pasangan yang di dukung oleh atasannya itu.

Admin Kompasiana juga begitu. Mereka memiliki pasangan calon dukungannya. Seobjektifnya seorang manusia, pastilah dia bisa memihak, karena mereka punya otak dan hati nurani yang menentukan pilihannya. Pilihan dalam memilih artikel pilihan maupun headline pun begitu dalam memilih pasangan calon. Sedikit banyak sikapnya sebagai seorang masyarakat biasa yang memiliki hak suaranya sendiri pasti mempengaruhi tulisan maupun penilaiannya untuk sebuah artikel yang masuk.

Jadi, keberpihakan dalam sebuah artikel maupun berita lumrah adanya. Pada dasarnya manusia hidup dalam pusaran keberpihakan dalam memilih dan memilah. Apalagi dalam sistem demokrasi. Keberpihakan itu nyata adanya dan tak bisa ditampik. Anda sebagai orang tua maupun pelajar adalah orang yang berpihak.

Orangtua akan bekerja untuk memberi nafkah pada anaknya. Bahkan, penjahat saja sering menjadikan keluarga untuk memotivasinya dalam melakukan aksi kejahatan. Pelajar juga begitu, mereka punya motif apapun untuk mencapai kelulusan. Baik untuk orangtuanya atau mendapatkan iming-iming yang di berikan orangtuanya maupun kesadaran bahwa pendidikan itu amat penting.

Sumber Gambar: mesaenimerosis.blogspot.com
Sumber Gambar: mesaenimerosis.blogspot.com
Layaknya hari kiamat, kita sebagai manusia hanya bisa menerkanya tanpa bisa mendeteksi adanya keberpihakan itu sendiri. Keberpihakan hanya dapat diketahui oleh manusia itu sendiri dan Tuhan.

Namun keberpihakan itu ada dua, keberpihakan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan banyak orang. Tergantung bagaimana manusia itu menyikapinya, dalam hal ini admin Kompasiana. Apakah keberpihakannya mengganjar sebuah artikel sebagai pilihan maupun headline. Itu semua hanya Tuhan dan dia yang tau.

Saya ingin menulis kutipan tulisan dari Bapak Jakob Oetama dalam bukunya Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Kutipan ini saya rasa asyik sebagai pengingat untuk kita menyikapi ketidak tulusan yang terjadi dalam pemberitaan media massa, dalam hal ini produk pers.

Karena hal terbaik untuk menyikapi keberpihakan adalah dengan membaca, belajar, dan terus meng-update informasi. Paling penting di antara itu semua adalah jangan hanya mempercayai satu produk pers saja, namun lihatlah produk lain dari bermacam gaya pembahasan dan isu yang di hembuskan.

Berikut kutipan dari Bapak Jacob

"Kemerdekaan pers sebagai bagian termasuk perangkat demokrasi tidak menghapuskan ketidak tulusan. Tetapi ketidak tulusan lebih mudah dideteksi dalam masyarakat yang terbuka. Lagi-lagi orang harus belajar hidup dan berkomunikasi dalam kondisi baru"

KA Pasar Minggu - Palmerah

Jakarta, 5 Oktober 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun