"Gemana kalau tanggal 14 Pebruari, Ma?"
"Baik. Mama tunggu. Terima kasih ya..."
***
"Ma, hari ini Jati ada nelphon?"
"Nggak ada. Beberapa hari ini dia juga tidak ada mampir. Kenapa Ir, tumben nanyain Jati?"
"Nggak ada apa-apa, Ma." sahut Irma datar.
"Ada yang lagi kangen nih rupanya. Hayo ngaku," seloroh Mama bercanda.
"Idiiih...." Tanpa pamit Irma langsung bangkit menuju kamarnya.
"Iiiiir, kok nggak dihabisin?!" teriak Mama melihat nasi goreng kesukaan Irma tak tersentuh sama sekali.
"Nggak lapeer." jawab Irma sekenanya.
Irma menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk kamar mungilnya yang penuh dengan ornamen warna krem. Kelopak matanya tak berkedip menatap langit-langit kamar. Dengan gelisah sesekali ia melirik handphone yang tak kunjung bergetar dalam genggamannya.
Bosan hanya tiduran, Ia kemudian beranjak menuju meja riasnya, meraih bingkai mungil di pojokan kumpulan farfum yang berjejer rapi. Menatap foto dirinya bersama kekasih hati yang memiliki garis wajah tegas nan tampan. Tampak pipi mereka beradu dengan senyum merekah bahagia, menambah keserasian keduanya. Lama, ia menatapnya.
"Jatii, aku kangen. Kemana saja kamu?" Irma berbicara pada bingkai foto yang dipegangnya. Sayang  foto itu hanya tersenyum kearahnya.
Mata Irma berkaca-kaca, teringat akan peristiwa bulan lalu.
Blup-blup-Ting..
Maaf aq br bls, bsk jd y. Aq capek bgt mw tdr dl. Smp bsk by...
Pukul 16.45
Irma mondar-mondir seperti setrikaan sibuk di teras depan. Sebentar-bentar dia keluar dari rumah menuju jalan  raya, toleh kiri-kanan. Terlihat cemas sambil sesekali melihat jam tangan.
"Duh, kemana aja sih tu kurcaci! Sudah setengah jam molor. Aduh keburu mulai dah acaranya!"
Tin...Tinnnn....
Irma melonjak senang mendengar suara klakson motor Suzuki Ksatria milik kekasihnya. Disambarnya jaket jeans  dan tas di atas meja. "Maaaa, Irma berangkat!" teriaknya kencang sambil berlari mendekati Jati yang masih nangkring di atas motornya.
"Kok telat!?!"
"Udaaah, ntar aja ngomelnya. Ntar, nggak dapat tempat duduk, lho!"
Dengan ekspresi kecewa, Irma duduk manis di belakang Jati tanpa banyak kata.
"Pegangan ya!" perintah Jati.
Seolah tidak peduli dengan kekesalan Irma, Jati langsung tancap gas.
"Jatiiii...! Jangan ngebut gini, Irma ngeriiii...!" Irma memejamkan mata sambil memeluk pinggang Jati,  seerat-eratnya.
Jati tak perduli. Dengan kecepatan tinggi, Jati membelah jalan kota, meliuk-liuk di antara  ramainya lalu lintas.
Jati menarik-narik kedua tangan Irma yang masih  memeluk erat tubuhnya. "Sudah sampai, Ir. Sepertinya sudah mulai pertandingannya."
"Sudah nyampe?" perlahan Irma mengendorkan pelukannya. Walau sipit sedikit kabur, pengelihatan
Irma berangsur-angsur normal. Irma langsung melompat turun dari atas motor menyadari keadaan sekelilingnya,
"Aaaaah, Jati! Tu kan udah mulai. Ayo, cepat!" Irma berlari kecil menuju pintu stadion tanpa melihat kearah Jati yang tengah sibuk menyimpan jaket dan helm.
Dalam stadion suasana tampak telah memanas, pertandingan basket antar kampus beberapa menit lalu di mulai. Decit sepatu para pemain nyaris tak terdengar. Teredam oleh gemuruh yang memekakkan telinga. Hanya peluit wasit yang mampu mengalahkan gemuruhnya. Warna merah menghiasi tribun penonton bagian utara. Sementara pada bagian selatan, warna biru mendominasi. Sorak-sorai penonton jelas membakar semangat pemain, membuat pertandingan semakin menarik.
Sementara itu, tampak Irma menarik tangan Jati mengajaknya mencari tempat duduk yang agak nyaman untuk menonton. Mencari-cari selama lima menit akhirnya mereka menemukan tempat duduk nyaman, dekat tembok pembatas pintu ruang ganti pemain.
Baru saja mereka menjatuhkan bokong.
"Aduh Jati! Kamu lupa beli minuman!" sungut Irma kesal.
"Sudah, nggak usah minum. Nanti saja istirahat quarter pertama!"
Irma terdiam.
"Ya sudah. Irma saja yang beli ke depan!" Irma bangkit.
"Iiiir... bawa duit, nggak?!!"
Irma tidak menjawab, menoleh pun tidak. Dengan cepat ia melangkah di depan orang-orang yang tersungut-sungut melihatnya menghalangi jalannya pertandingan. Sesekali dilihatnya permainan tim basket favoritnya. Dia pun berdecak kagum.
"Duh, hebat banget si Andre" gumam bibir itu sambil mengerutu tidak jelas.
****
"Niiiih, cola kesukaanmu!" Dengan kasar dicoleknya punggung kekasihnya.
Jati diam, tidak merespon.
Irma hendak mendorong tubuh Jati yang tengah bersandar di pagar pembatas lapangan, "Lhooo, Jatiiii...?" diturunkannya jaket jeans yang menutup sedikit wajah Jati. Terlihatlah, Jati yang tengah tertidur pulas. Begitu riuh bergetarnya stadion tak mampu mengganggunya dari lelap.
"Jatiii...!!"
Irma kesal. Emosi yang sedari tadi ditahannya meledak di ubun-ubun. Dihempaskannya camilan yang barusan dibelinya. Hasrat menonton basketnya lenyap seketika. Dia tidak peduli. Di tinggalkannya stadion olahraga yang riuh bergelora. Di tinggalkannya tim basket favoritnya yang tengah bertanding ketat. Ditinggalkannya Jati, kekasihnya yang tengah terpenjara mimpi.
****
"Ir, buka pintunya. Kamu seperti anak kecil saja, ngambek sampai berhari-hari. Tidak baik, Ir. Ayo temui Jati" bujuk Mamanya dari balik pintu.
Irma tidak ingin bertemu Jati. Hatinya sakit. Jati sudah sangat keterlaluan. Kesabarannya telah terpangkas habis. Jati benar-benar berubah! Dia tidak mengenal Jati yang tengah menunggunya. Dia menginginkan Jati yang dulu! Air mata Irma jatuh....
***
"Jat...denger cerita aku nggak sih?!"
"Iya, dengar." ujar Jati
"Dengar? Coba, barusan aku tanya apa ke kamu?"
"Apaaan sih, Ir. Emangnya tanya jawab," sungut Jati sedikit kesal
"Aku cuma mau tahu kamu barusan dengar'in aku tidak," jawab Irma dengan nada meninggi
"Iya dengar. Tadi kamu cerita tentang Chiko kan? Aku tahu besok 1 tahun kematian Chiko! Besok aku lembur tidak bisa nemenin!" balas Jati dengan nada tak kalah tinggi. Jati menguap.
"Hah.... Aku bukan cerita tentang kematian Chiko!" Irma cemberut menghentakkan kaki. "Sudah, kamu pulang saja sana, tidur. Daripada kamu berlama-lama di sini cuma jadi tembok. Nyebelin!"
Selalu seperti itu obrolan mereka, tidak pernah nyambung lagi. Apalagi kerap Jati datang dalam keadaan lelah, kumal, dekil. Tak jarang pula ia menemui Irma dalam keadaan belum mandi.
"Iiiiih joroook!"
Irma menjerit, menghindari pelukan Jati sambil menutup hidungnya jika mengetahui gelagat kekasihnya itu ingin memeluknya. Dia kan belum mandi, berkeringat pula.
Teringat kejadian-kejadian itu semakin membutakan hati dan pikiran Irma. Â Terlebih ingat akan sikap dingin Jati saat dia melancarkan protesnya, beberapa bulan lalu.
"....Cemburu sama kerjaan kamu itu. Seluruh waktumu tercurah ke lokasi proyek. Kapan kamu meluangkan waktu untuk aku?"
"Ir, kamu seperti, Bu Anne. Atasanku yang bawelnya bukan main. Udahlah, kerjaan kok dicemburui. Toh kita juga merasakan manfaatnya kan?"
"Maksud-mu?"
"........"
Bla bla bla, jawaban yang Jati ungkapkan sangat memukul perasaan Irma sebagai wanita. Dia bukan cewek matre. Segala sesuatu yang menyangkut keuangan selalu dirundingkan terlebih dahulu. Terlebih menyangkut keperluan mereka berdua. Tidak pernah dia merasa merugikan Jati. Apalagi bermaksud ingin memanfaatkan pendapatan Jati yang memang lumayan besar. Tidak ada. Belum lagi...
Semua memori itu semakin membuat dia tak ingin menemui Jati apalagi untuk memaafkannya. Meski Jati telah berulang-ulang kali datang dan meminta maaf bahkan berjanji akan merubah sikapnya. Irma tetap diam, teguh pada pendiriaannya. Ia merasa sanggup berjalan sendiri tanpa kehadiran Jati disisinya. Bahkan seminggu yang lalu, melalui Berta, sahabat Jati. Irma hendak memutuskan tali kasih yang telah 3 tahun mereka jalin. Namun Jati bersikeras menolaknya. Merasa di atas angin, Irma semakin menjauhi Jati.
*****
Irma menghapus sisa-sisa airmatanya. Didekap erat foto kekasihnya lalu dia kembali merebahkan diri di atas ranjang. Irma merindukan sosok Jati. Irma sadar, dia terlalu keras kepala untuk mengakui sifat kekanakannya.
Perasaan bersalah itu semakin meyiksa hatinya setelah beberapa hari ini mencoba instropeksi diri. Dan ia menemukan kenyataan bahwasanya Jati, meski selalu sibuk dan sering mengecewakannya. Jati tetaplah seorang laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan penuh kasih. Walau terkadang, menyebalkan.
Terbayang wajah Jati yang tertidur pulas di stadion pertandingan basket tempo hari. Tampak lusuh dan lelah.  Tetapi tetap, Jati bergegas meninggalkan pekerjaannya. Membiarkan pekerjaannya terbengkalai demi menemaninya.  "Ya Tuhan, kenapa aku baru menyadarinya?" bisik Irma menahan isak.
Resah, gundah, segalam macam rasa meliliti jiwa Irma. Tak dapat ia pungkiri ada perasaan kehilangan yang ia rasakan dalam menjalani  kesehariannya. Apalagi setelah beberapa hari ini Jati menghilang begitu saja. Tak ada dering telepon yang menanyakan kabarnya. Tidak ada lagi suara gaduh dari ruang tamu rumahnya. Meski tidak menemui Jati, ia sering menguping obrolan Jati dengan adiknya. Bercanda sambil disertai pertanyaan-pertanyaan Jati menanyakan kegiatannya.
Sesungguhnya kala itu Irma sangat ingin bergabung. Mencoba mencairkan suasana beku di antara dirinya dan Jati. Namun  rasa gengsi yang terlalu tinggi mencegahnya untuk meminta maaf atas kesalahannya. Terlebih mengakui bahwa dirinya sangat ingin berdamai.
"Aku menyesal, aku menyesal..."
Tangis yang tertahan akhirnya pecah juga. Ia tak perduli lagi jika suara tangisannya terdengar sampai keluar. Ia tidak malu! Semua memang salahnya. Selama ini dia tak mau mendengarkan Mama ataupun saudara-saudaranya yang telah memperingati dan memberinya nasehat. Penyesalan selalu datang terlambat.
"Jati, aku ingin minta maaf." Tangisan itu semakin mengencang. "Jat, apakah kamu lupa, entar malam adalah malam spesial kita?"
*****
TOK...TOK...TOK...
"Ir.., Irma...."
Irma tergagap bangun mendengar keributan diluar pintu kamarnya. Rupanya lelah seharian menangis membuat Irma tertidur pulas. Dengan malas Irma beringsut dari ranjang, membuka...,
"Aduuh, anak gadis! Sore begini baru bangun tidur. Kalo tamu besar sudah pada datang ngeliat kamu belum mandi, pasti batal rencana Mama! Ayo cepat mandi sana!" Cerocos Mama tanpa ba bi bu sambil menyeret Irma ke kamar mandi.
"Maksud Mama? Tamu besar? Rencana Mama. Rencana apa, Ma?!" Dihentakannya tangan Mama yang mencengkeram lengannya. "Irma mau tidur lagi, masih ngantuk." Irma berbalik arah,
"Eeeee... keluarga besar Jati sebentar lagi datang! Mau ngelamar kamu, Ir..."
"Hah...."
====================================================================
No 93. Â Ghumi +Â Ni Ketut Tini Sri
NB : Untuk melihat hasil karya KCV yang lain silahkan lihat pada postingan Inilah Kumpulan Kolaborasi Cerpen Valentine. Bergabung bersama di Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H