Irma menghapus sisa-sisa airmatanya. Didekap erat foto kekasihnya lalu dia kembali merebahkan diri di atas ranjang. Irma merindukan sosok Jati. Irma sadar, dia terlalu keras kepala untuk mengakui sifat kekanakannya.
Perasaan bersalah itu semakin meyiksa hatinya setelah beberapa hari ini mencoba instropeksi diri. Dan ia menemukan kenyataan bahwasanya Jati, meski selalu sibuk dan sering mengecewakannya. Jati tetaplah seorang laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan penuh kasih. Walau terkadang, menyebalkan.
Terbayang wajah Jati yang tertidur pulas di stadion pertandingan basket tempo hari. Tampak lusuh dan lelah.  Tetapi tetap, Jati bergegas meninggalkan pekerjaannya. Membiarkan pekerjaannya terbengkalai demi menemaninya.  "Ya Tuhan, kenapa aku baru menyadarinya?" bisik Irma menahan isak.
Resah, gundah, segalam macam rasa meliliti jiwa Irma. Tak dapat ia pungkiri ada perasaan kehilangan yang ia rasakan dalam menjalani  kesehariannya. Apalagi setelah beberapa hari ini Jati menghilang begitu saja. Tak ada dering telepon yang menanyakan kabarnya. Tidak ada lagi suara gaduh dari ruang tamu rumahnya. Meski tidak menemui Jati, ia sering menguping obrolan Jati dengan adiknya. Bercanda sambil disertai pertanyaan-pertanyaan Jati menanyakan kegiatannya.
Sesungguhnya kala itu Irma sangat ingin bergabung. Mencoba mencairkan suasana beku di antara dirinya dan Jati. Namun  rasa gengsi yang terlalu tinggi mencegahnya untuk meminta maaf atas kesalahannya. Terlebih mengakui bahwa dirinya sangat ingin berdamai.
"Aku menyesal, aku menyesal..."
Tangis yang tertahan akhirnya pecah juga. Ia tak perduli lagi jika suara tangisannya terdengar sampai keluar. Ia tidak malu! Semua memang salahnya. Selama ini dia tak mau mendengarkan Mama ataupun saudara-saudaranya yang telah memperingati dan memberinya nasehat. Penyesalan selalu datang terlambat.
"Jati, aku ingin minta maaf." Tangisan itu semakin mengencang. "Jat, apakah kamu lupa, entar malam adalah malam spesial kita?"
*****
TOK...TOK...TOK...