Selalu seperti itu obrolan mereka, tidak pernah nyambung lagi. Apalagi kerap Jati datang dalam keadaan lelah, kumal, dekil. Tak jarang pula ia menemui Irma dalam keadaan belum mandi.
"Iiiiih joroook!"
Irma menjerit, menghindari pelukan Jati sambil menutup hidungnya jika mengetahui gelagat kekasihnya itu ingin memeluknya. Dia kan belum mandi, berkeringat pula.
Teringat kejadian-kejadian itu semakin membutakan hati dan pikiran Irma. Â Terlebih ingat akan sikap dingin Jati saat dia melancarkan protesnya, beberapa bulan lalu.
"....Cemburu sama kerjaan kamu itu. Seluruh waktumu tercurah ke lokasi proyek. Kapan kamu meluangkan waktu untuk aku?"
"Ir, kamu seperti, Bu Anne. Atasanku yang bawelnya bukan main. Udahlah, kerjaan kok dicemburui. Toh kita juga merasakan manfaatnya kan?"
"Maksud-mu?"
"........"
Bla bla bla, jawaban yang Jati ungkapkan sangat memukul perasaan Irma sebagai wanita. Dia bukan cewek matre. Segala sesuatu yang menyangkut keuangan selalu dirundingkan terlebih dahulu. Terlebih menyangkut keperluan mereka berdua. Tidak pernah dia merasa merugikan Jati. Apalagi bermaksud ingin memanfaatkan pendapatan Jati yang memang lumayan besar. Tidak ada. Belum lagi...
Semua memori itu semakin membuat dia tak ingin menemui Jati apalagi untuk memaafkannya. Meski Jati telah berulang-ulang kali datang dan meminta maaf bahkan berjanji akan merubah sikapnya. Irma tetap diam, teguh pada pendiriaannya. Ia merasa sanggup berjalan sendiri tanpa kehadiran Jati disisinya. Bahkan seminggu yang lalu, melalui Berta, sahabat Jati. Irma hendak memutuskan tali kasih yang telah 3 tahun mereka jalin. Namun Jati bersikeras menolaknya. Merasa di atas angin, Irma semakin menjauhi Jati.
*****