Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebelum dan Sesudah Hijrahmu

24 Oktober 2024   09:52 Diperbarui: 24 Oktober 2024   11:07 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku senang, akhirnya anak kita akan masuk ke sekolah yang dulu sangat aku inginkan," ucap Danar dengan mata berbinar-binar. 

Aku hanya tersenyum getir, mendengar kalimatnya itu. 

Ya, setidaknya dengan belajar agama lebih dini dia tidak perlu lagi kesulitan membedakan mana huruf Ya dan Ta sepertimu saat sudah menikah nanti. Setidaknya ia paham hukum meninggalkan salat lima waktu itu seperti apa.akibatnya. Setidaknya ia akan menjadi iman yang baik bagi diri dan hawa nafsunya juga buat keluaranya kelak. Tidak akan sepertimu, Danar. 

Hatiku berkecamuk. Rasanya ingin berteriak mengungkit masa lalu yang telah merenggut kebahagiaanku dan membuatku menderita penyakit psikosomatik akut karena terlalu lama menahan sakit sendirian, menyimpan beban tanpa diceritakan. Terlalu lama mengalah padahal aku tahu persis siapa yang salah.

Danar yang dulu memang bukan Danar yang sekarang. Kini, Danar adalah seorang lelaki religius dengan banyak ilmu agama yang telah diketahui bahkan diamalkannya. Penampilannya pun jauh berbeda. 

Dulu, Danar adalah penyuka musik rock, kini ia lebih senang mendengarkan murotal dan menambah hafalan Al-Qur'an. Dulu Danar pemarah, nyaris tidak terkendali, kini ia terlihat lebih penyabar dan penyang. Dulu ia adalah seorang workaholic, kini ia bekerja separuh waktu, dan separuhnya disibukkan dengan aktivitas ibadah, mencari ilmu, dan membersamai keluarga barunya. 

Ya, Danar telah jauh berbeda dengan lelaki yang dulu menikahiku dengan sejuta pesona tetapi nyatanya memenjaraku dengan sikap posesif, operprotective, dan tempramennya. Pemahaman-pemahaman partiarkinya pun sepertinya sudah memudar. Dulu, dia adalah raja yang hanya memiliki kewajiban mencari nafkah, sedangkan aku adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam segala urusan anak, rumah dan seisinya. Walapun aku juga masih bekerja di sebuah sekolah swasta. 

Masih teringat jelas, saat Zaki sakit kejang. Akulah yang susah payah menanganinya, nangis-nangis meminta pertolongan kepada tetangga tengah malam. Akhirnya wajahku pucat pasi saat tetangga bertanya, "di mana ayahnya?" Akupun harus berbohong, bahwa kau kelelahan selepas bekerja dan sedang tidak enak badan. Padahal malam itu, aku yakin sekali kau mendengarkan tangisanku mencemaskan anak kita, Danar. 

Sekarang, saat Zaki anak kita sudah besar, kau datang kembali mendekatinya. Setelah selama hampir 5 tahun kau begitu jarang bertanya tentang kabarnya. Aku banting tulang sendirian mencari penghidupan. Kemana saja selama ini? 

Kau tentu senang karena Zaki siap masuk ke pesantren yang kau inginkan. Padahal, andai kau tidak datang pun, aku siap medukung dan membrikan pendidikan terbaik untuk anak yang lahir dari rahimku sendiri dan menemaniku saat suka dan duka. Bahkan dengan terpaksa ia harus melihat tangisanku karena ulahmu. 

Bertahun lalu, dunia memberikanku keajaiban. Seakan mengerti kegundahanku dan Allah membubuhkan hidayah pada hati Danar. Ia mulai hijrah, dan mau memperlajari agama. Kehidupan kami berangsur baik. Karena hatiku tidak lagi lelah memintanya melakukan kewajiban solat lima waktu. Setiap hari aku bersyukur pada Allah akhirnya doa-doaku dikabulkan oleh-Nya. Meskipun tempramennya masih ada. Bahkan kadang timbul dengan mudahnya hanya karena alasan kecil. Namun, Danar tetaplah suamiku. Meski berkali-kali mendapat tekanan, aku berusaha tetap bertahan. Dengan harapan setelah hijrah, perlahan suamiku akan semakin baik dan melembut sambil tidak berhenti aku mendoakannya. 

Namun takdir berkata lain. Danar yang dulu pemarah, kemudian menemukan sebuah kebenaran dalam hijrahnya. Kebenaran yang dulu selalu coba aku sampaikan, tentang kalimat talak yang begitu gampang terucap. Belakangan aku tahu dari pengakuan Danar bahwa itu hanya sebagai bentuk ancaman dan gertakan agar aku lebih patuh padanya. 

"Karena aku sama sekali tidak ingin kehilanganmu. Karena itu, aku mengancam," katanya. 

Dengan dia hijrah, aku pun semakin bersemangat untuk mencari pembenaran, bahwa tidak ada talak dalam marah. Meskipun hatiku sudah terlanjur porak poranda dan mati rasa, siapa pula yang ingin rumah tangganya hancur? Aku memilih bertahan dengan harapan Allah akan memaafkan kami dan memaklumi ketidak tahuan Danar tentang konsep talak. 

Semakin hari sikap Danar berubah. Aku sendiri bersusah payah menumbuhkn kembali rasa yang sudah padam. Dengan alasan, pernikahan adalah sebuah ibadah. Jika diniatkan karena Allah insyaallah akan berjalan baik-baik saja.

Namun dugaanku salah. Setelah hijrah, sikap tempramennya makin menjadi. Terlebih Danar mengetahui beberapa hadis dan dalil. Saat aku lupa minun menggunakan tangan kiri, aku akan dimarahi habis-habisan. Pertengkaranpun tidak bisa dihindarkan. 

Pernah satu ketika, kami makan di sebuah resto. Lagi-lagi aku tidak menggunakan tangan kanan untuk mengangkat gelas jusku. Karena tangan kananku kotor akibat habis menyuapi Zaki dengan tangan yang penuh minyak dan lemak. Danar lalu menggebrak meja, berhasil mengalihkan pandangan semua pelanggan yang ada ke meja kami. Saat itu rasanya aku ingin menghilang seketika berpindah dalam satu detik ke tempat lain. 

Zaki pun terkena imbasnya. Ketika belajar ngaji dan salah mengucapkan huruf hijaiyah Danar akan marah besar, membentak dan memaki anak kecil yang baru berusia 5 tahun kala itu. 

Sejak saat itu, Zaki menjadi tidak ingin dekat berla-lama dengan ayahnya. Kalaupun harus bersama, Zaki akan merengek dan memohon agar aku tidak jauh-jauh darinya. 

Ketika Zaki masih berusia 7 tahun, Danar sangat ingin memasukkan anak kami ke sekolah dasar di yayasan tempatnya belajar berorganisasi dan mengenal lebih dalam tentang ajaran agama. Ia begitu bersemangat mendaftarkan anak kami walaupun harus bersaing dengan ratusan pendaftar lainnya. Ambisinya menyatakan bahwa anak semata wayang kami harus masuk ke sekolah itu. 

"Pasti masuk, ketua yayasannya berhubungan baik denganku. Syaratnya hanya satu, ketika nanti wawancara orangtua, jawabanmu harus sama. Agar mereka tahu bahwa kita sevisi dengan mereka!" perintah Danar waktu itu.

Sayangnya, Allah berkata lain lagi. Meleset jauh dari harapan Danar. Zaki tersingkir di seleksi kedua. Ia adalah urutan ke 27 dari 25 santri yang dinyatakan lulus dan berhak sekolah di sana. 

Pulang ke rumah, Danar berkata dengan putus asa, "ini adalah hukuman dari Allah atas dosa-dosa kita. Mari kita bercerai saja!" katanya seolah tanpa beban mengatakannya.

Saat itu aku kehabisa kata. Tidak habis pikir dengan caranya mengambil sikap. Anak kami nyaris kehabisan waktu untuk mendaftar sekolah, apakah membahas perceraian jauh lebih penting daripada bekerja sama untuk mencarikannya sekolah lain agar Zaki tidak tertinggal? Tahun ajaran baru semakin dekat dan Zaki tidak mendaftar lagi ke sekolah manapun. 

Hh, lelah memang jika mengingat kejadian-kejadian itu. 

Aku melirik Zaki yang lagi sibuk mengamati sekeliking. Tidak seperti pada umumnya, pesantren ini memiliki bangunan yaang megah dengan bentuk minimalis. Sepertinya pendiri sekolah menyewa seorang arsitek andal untuk menyelesaikan semuanya. Catnya yang berwarna krem dipadu dengan warna cokelat muda memberikan kesan mewah tetapi tetap elegan. 

Zaki tampak berjalan-jalan berkeliling mengamati ruangan kelas yang kelak akan menjadi tempat belajarnya, jika ia memang lolos tes di sini. Langkahnya sedikit pelan dibuat-buat mencoba menyeimbangkan langkah petugas penerimaan siswa baru di sana. 

"Gimana, Sayang? Kamu suka kalau nanti sekolah di sini?" tanyaku pada lelaki kecil berusia 12 tahunan itu.

Zaki hanya tersenyum tipis. Sejak dulu Zaki selalu nurut apa yang dikatakan oleh orangtuanya. Meskipun kepatuhan itu memiliki alasan yang berbeda antara patuh padaku dan kepada Danar ayahnya. 

Tempo hari, sebelum kami akhirnya mendarangi pesantren ini untuk mendaftarkan Zaki, aku sendiri sempat bertanya kepadanya tentang kesiapannya memasuki pesantren. Aku sendiri khawatir jika anak semata wayangku merasa terpaksa. Maklum, ia baru akan lulus SD tahun ini. 

"Aku tidak masalah, Bunda. Gak apa-apa aku mesantrean. Asal aku gak disuruh tinggal sama ayah," jawabnya. 

Hatiku bagai teriris sembilu. Ternyata luka batin Zaki belum juga sembuh. Padahal Danar sekarang sudah jauh lebih baik. Sikap tempramennya tidak lagi kentara. Mungkin belajar agama membuatnya jauh lebih paham bagaimana bersikap sebagai seorang lelaki, suami dan seorang ayah. Namun walaupun begitu, hatiku masih sama koyaknya. Jika bertemu dengan dia, bayangan-banyangan kesakitan masa lalu masih tergambar jelas, seolah menyiramkan air garam dalam sayatan-sayatan luka di dalam sekujur tubuhku. 

Mungkin, itu pula yang terjadi dengan Zaki anak kami. Beberapa kejadian membekas di hati dan pikirannya. Membuat dia belum sepenuhnya bisa membuka hati untuk bisa tanpa sekat dengan orang yang menjadi ayah kandungnya. Sehingga ia akan melakukan segala cara agar tidak harus memenuhi ajakan ayahnya agar tinggal bersama. 

"Kalau gak mau mesantren, tinggalnya bareng ayah biar belajar agama bareng ayah nanti," begitu ucapan Danar tempi hari pada Zaki sebagai megosiasi.

"Zaki suka gak tempatnya?" 

Entah sejak kapan tiba-tiba Wina ibu sambung Zaki sudah berdiri begitu dekat dengan analku.

Zaki hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kakinya melangkah menjauh sedikit menjaga jarak dengan Wina. Aku segera memberi kode, "engak apa-apa."

"Tuh lihat di sana! Nanti akan dibangun sport centre. Zaki nanti bisa main bola di sana. Zaki suka kan main bola?" tanya Wina lagi. 

Tubunya yang sedikit lebih tinggi dariku, berusaha membungkuk untuk menyeimbangkan tingginya dengan Zaki. Kain abayanya yang berwarna hitam terjulur, menyapu lantai sekolah. Danar mendekat, menyentuh bahu perempuan bercadar itu dengan lembut sambil tersenyum. 

Aku menelan saliva menyaksikan pemandangan itu. Di depan mataku sendiri aku menyaksikan bahwa mantan suamiku telah menemukan perempuan yang sangat diinginkannya sejak ia menyatakan diri untuk hijrah; seorang perempuan bercadar yang ia nikahi 5 bulan kemudian sejak pemgajuan perceraian kami. 

Masih teringat jelas. Malam itu, setelah beberapa hari Danar pergi dari rumah dan mengemasi barangnya, Danar menelefonku. Dengan suara yang riang bertanya kabar. Ya, meskipun kami akan bercerai Danar tetap menganggapku sebagai teman baik, bahkan mungkin akulah satu-satunya teman terbaik dalam hidupnya adalah aku. Seorang perempuan yang pernah berada di daftar nama siswa di kelas yang sama saat SMA. 

"Apa kabar, Dinda?" tanyanya malam itu. 

"Alhamdulillah," jawabku singkat menjawab pertanyaan suamiku yang baru dua pekan menjatuhkan talak di pengadilan negeri dengan pergi sendiri tanpa persetujuanku. 

"Kalau bisa besok pagi datang ya ke sidang ke dua! Waktu lalu, hakim bertanya, kamu kemana, Tidak hadir di persidangan?" katanya. 

Cih! mendengar pernyataan itu, aku merasa begitu kesal. Bagaimana tidak, waktu persidangan pertama, Danar sendirilah yang meminta agar aku tidak perlu hadir dengan alasan agar persidangan lekas selesai dan gugatannya lekas dikabulkan. Sudah tak sabar ingin berpisah.

"Baik," jawabku dengan gigi gemeretak dan tangan mengepal, kesal. Tidak heran, sejak dulu mood dan keinginannya memang mudah sekali berubah-ubah.

"Okay deh, sampai jumpa esok ya," ucapnya.

"Baik," jawabku lagi. 

"Oh iya," Danar kembali berseru.

"Iya ada apa?" tanyaku. 

Rasanya ingin sekali menangis, dan entahlah apa yang kurasakan saat itu. Jujur, di balik rasa kesalku aku masih ingin mempertahankan bahtera ini. Siapa juga yang ingin mejanda? Bagaimana pandangan keluarga besar jika tahu kami berpisah? 

Namun apa daya kesadarannya pada agaman yang begitu tinggi membuatnya benar-benar harus melepaskanku. 

Hijrahmu dan hijrahku ternyata membuahkan hasil yang berbeda. 

"Bunda ada teman yang sudah berniqob (cadar) dan siap nikah gak?" tanyanya lagi. 

"Kenapa, buat siapa?" tanyaku sekenanya.

"Buat ayah," jawabnya santai. 

Seketika itu langit runtuh menimpa tubuhku. Badanku remuk tetapi sayangnya aku tidak mati. Jadi, semua kesakitan itu sangat terasa di setiap persendianku. Aku ambruk, luluh lantak seketika. Sakit teramat sakit. Aku menangis tanpa air mata. 

Telefon kuputus tanpa mengucapkan apa-apa, sayup-sayup kudengar penjelasannya yang mengutif hadis bahwa lelaki tidak boleh terlalu lama membujang. Ingin rasanya kumaki, bahwa Danar adalah lelaki bajingan paling bajingan dan tidak berperasaan. Namun kekuatanku sudah habis, bahkan untuk bicara sepatah kata pun aku sudah tidak bisa lagi. 

Sekarang, di depan mataku, Danar sudah berdampingan dengan perempuan yang dijak taaruf sejak sidang perceraian kami belum selesai. Kalau saja tidak ada wabah covid melanda tahu 2019, maka pernikahan mereka sepertinya tidak harus ditunda. Melepasku beberapa hari Danar mungkin akan langsung melaksanakan resepsi pertikahannya lebih cepat lagi. 

Aku akui, Wina memang cantik.  Tutur katanya juga begitu lembut. Dalam hati kecilku berdoa, semoga Wina tidak perlu merasakan apa yang kurasakan dulu. Dimaki, diusir dan dijatuhi kata talak berkali-kali. Untuk kemudian Danar kembali memohon agar aku memaafkannya. 

"Ayah, jangan ucapkan itu lagi ketika marah. Karena jika sudah lebih dari tiga kali, maka kita tidak akan lagi bisa bersama," ucapku waktu itu. 

Kuliah di perguruan tinggi islam negeri dan mengikuti kajian rutin membuat aku sedikit banyak paham tentang hukum dan fiqih rumah tangga. 

Aku bahagia ketika akhirnya Danar hijrah dan mendalami agama. Namun seiring dengan itu, kesadarannya akan kesalahan semakin dalam.

"Aku dulu mengira kalau cerai itu hanya terjadi di pengadilan. Aku sungguh salah, telah begitu mudah mengucapkan kata itu berkali-kali. Jadi, demi ridho Allah, aku akan menceraikanmu sekarang juga," ucapnya di hari sabtu saat aku sedang menyetrika baju-bajunya. 

Aku yang semula memiliki suasana hati yang bahagia di akhir pekan karena bisa menikmati hari libur bersama mendadak gagu, kaku dan ah entahlah apa itu namanya. Entah, menangispun rasanya sudah tidak bisa saat itu.

Kini terserah kamu, Danar. Kita sudah memiliki jalan yang berbeda. Aku mungkin tidak sesempurna istri yang kau idamkan. Tapi jangan pernah lupa, akulah yang telah bersabar selama kurang lebih 8 tahun untuk menghadapi sikapmu yang keras dan tempramen. Bersabar menghadapi kemalasanmu melaksanakan solat lima waktu. 

Aku bersyukur dengan hijrahmu, yang setiap malam kudoakan. Meskipun aku hanya merasakan rasa sakit dari buah hijrahmu, aku tidak mengapa. Semoga kau dapat menjaga istrimu dengan baik, istri bercadar yang kau cita-citakan.

"Bunda, melamun ya?" 

Suara Zaki mengagetkanku. Tangannya meraih tanganku lalu memggenggamnya begitu erat.

"Bunda gamisnya kotor, maaf tadi kena injak sepatu Zaki, gak sengaja," katanya. 

"Gak apa-apa, Sayank Tidak masalah," jawabku sambil mengelus pundaknya.

Aku memeluk tubuh lelaki kecilku dengan erat. Tidak terasa air mataku mengalir deras membasahi pundak Zaki.

"Jangan sedih, Bunda. Zaki kan belum mulai pesantrennya," ucapnya dengan lembut.

"Nak, apakah kalau sudah belajar agama lebih dalam kamu akan membenci Bunda?" 

"Tidak dong, Bunda. Selama ini Zaki juga sudah banyak belajar dari Bunda" jawabnya. Seketika hatiku menjadi lapang mendengarkan pernyataan yang krluar dari mulut buah hatiku.

Danar, kita pernah duduk di tempat kajian ilmu agama sama-sama. Pernah menimba ilmu yang sama. Sayangnya saat aku benar-benar siap mengamalkan ilmu yang kita dapat, kesadaranmu berbalik menjadi lebih ingin melepaskanku. Kini kita sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, meskipun mungkin aku belum sebaik kamu dan sesalihah istirmu. Namun ilmu yang aku dapatkan tetap aku gunakan untuk mendidik anak kita. Anak kita anak yang saleh. 

Namun maaf, aku belum bisa menyembuhkan luka batin Zaki, seperti luka batinku yang begitu susah sembuhnya karena kelukaan yang kau goreskan sebelum dan sesudah kehijrahanmu. Kalau saja aku tega menjauhkan Zaki dengan ayah kandungnya, aku tidak ingin lagi bertemu denganmu. 

Biarlah hijrah ini memberikan hikmah tersendiri bagi kita, walaupun cara menyikapinyaberbeda-beda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun