Bertahun lalu, dunia memberikanku keajaiban. Seakan mengerti kegundahanku dan Allah membubuhkan hidayah pada hati Danar. Ia mulai hijrah, dan mau memperlajari agama. Kehidupan kami berangsur baik. Karena hatiku tidak lagi lelah memintanya melakukan kewajiban solat lima waktu. Setiap hari aku bersyukur pada Allah akhirnya doa-doaku dikabulkan oleh-Nya. Meskipun tempramennya masih ada. Bahkan kadang timbul dengan mudahnya hanya karena alasan kecil. Namun, Danar tetaplah suamiku. Meski berkali-kali mendapat tekanan, aku berusaha tetap bertahan. Dengan harapan setelah hijrah, perlahan suamiku akan semakin baik dan melembut sambil tidak berhenti aku mendoakannya.Â
Namun takdir berkata lain. Danar yang dulu pemarah, kemudian menemukan sebuah kebenaran dalam hijrahnya. Kebenaran yang dulu selalu coba aku sampaikan, tentang kalimat talak yang begitu gampang terucap. Belakangan aku tahu dari pengakuan Danar bahwa itu hanya sebagai bentuk ancaman dan gertakan agar aku lebih patuh padanya.Â
"Karena aku sama sekali tidak ingin kehilanganmu. Karena itu, aku mengancam," katanya.Â
Dengan dia hijrah, aku pun semakin bersemangat untuk mencari pembenaran, bahwa tidak ada talak dalam marah. Meskipun hatiku sudah terlanjur porak poranda dan mati rasa, siapa pula yang ingin rumah tangganya hancur? Aku memilih bertahan dengan harapan Allah akan memaafkan kami dan memaklumi ketidak tahuan Danar tentang konsep talak.Â
Semakin hari sikap Danar berubah. Aku sendiri bersusah payah menumbuhkn kembali rasa yang sudah padam. Dengan alasan, pernikahan adalah sebuah ibadah. Jika diniatkan karena Allah insyaallah akan berjalan baik-baik saja.
Namun dugaanku salah. Setelah hijrah, sikap tempramennya makin menjadi. Terlebih Danar mengetahui beberapa hadis dan dalil. Saat aku lupa minun menggunakan tangan kiri, aku akan dimarahi habis-habisan. Pertengkaranpun tidak bisa dihindarkan.Â
Pernah satu ketika, kami makan di sebuah resto. Lagi-lagi aku tidak menggunakan tangan kanan untuk mengangkat gelas jusku. Karena tangan kananku kotor akibat habis menyuapi Zaki dengan tangan yang penuh minyak dan lemak. Danar lalu menggebrak meja, berhasil mengalihkan pandangan semua pelanggan yang ada ke meja kami. Saat itu rasanya aku ingin menghilang seketika berpindah dalam satu detik ke tempat lain.Â
Zaki pun terkena imbasnya. Ketika belajar ngaji dan salah mengucapkan huruf hijaiyah Danar akan marah besar, membentak dan memaki anak kecil yang baru berusia 5 tahun kala itu.Â
Sejak saat itu, Zaki menjadi tidak ingin dekat berla-lama dengan ayahnya. Kalaupun harus bersama, Zaki akan merengek dan memohon agar aku tidak jauh-jauh darinya.Â
Ketika Zaki masih berusia 7 tahun, Danar sangat ingin memasukkan anak kami ke sekolah dasar di yayasan tempatnya belajar berorganisasi dan mengenal lebih dalam tentang ajaran agama. Ia begitu bersemangat mendaftarkan anak kami walaupun harus bersaing dengan ratusan pendaftar lainnya. Ambisinya menyatakan bahwa anak semata wayang kami harus masuk ke sekolah itu.Â
"Pasti masuk, ketua yayasannya berhubungan baik denganku. Syaratnya hanya satu, ketika nanti wawancara orangtua, jawabanmu harus sama. Agar mereka tahu bahwa kita sevisi dengan mereka!" perintah Danar waktu itu.