Kini terserah kamu, Danar. Kita sudah memiliki jalan yang berbeda. Aku mungkin tidak sesempurna istri yang kau idamkan. Tapi jangan pernah lupa, akulah yang telah bersabar selama kurang lebih 8 tahun untuk menghadapi sikapmu yang keras dan tempramen. Bersabar menghadapi kemalasanmu melaksanakan solat lima waktu.Â
Aku bersyukur dengan hijrahmu, yang setiap malam kudoakan. Meskipun aku hanya merasakan rasa sakit dari buah hijrahmu, aku tidak mengapa. Semoga kau dapat menjaga istrimu dengan baik, istri bercadar yang kau cita-citakan.
"Bunda, melamun ya?"Â
Suara Zaki mengagetkanku. Tangannya meraih tanganku lalu memggenggamnya begitu erat.
"Bunda gamisnya kotor, maaf tadi kena injak sepatu Zaki, gak sengaja," katanya.Â
"Gak apa-apa, Sayank Tidak masalah," jawabku sambil mengelus pundaknya.
Aku memeluk tubuh lelaki kecilku dengan erat. Tidak terasa air mataku mengalir deras membasahi pundak Zaki.
"Jangan sedih, Bunda. Zaki kan belum mulai pesantrennya," ucapnya dengan lembut.
"Nak, apakah kalau sudah belajar agama lebih dalam kamu akan membenci Bunda?"Â
"Tidak dong, Bunda. Selama ini Zaki juga sudah banyak belajar dari Bunda" jawabnya. Seketika hatiku menjadi lapang mendengarkan pernyataan yang krluar dari mulut buah hatiku.
Danar, kita pernah duduk di tempat kajian ilmu agama sama-sama. Pernah menimba ilmu yang sama. Sayangnya saat aku benar-benar siap mengamalkan ilmu yang kita dapat, kesadaranmu berbalik menjadi lebih ingin melepaskanku. Kini kita sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, meskipun mungkin aku belum sebaik kamu dan sesalihah istirmu. Namun ilmu yang aku dapatkan tetap aku gunakan untuk mendidik anak kita. Anak kita anak yang saleh.Â