"Ibumu sendiri yang bilang padaku, Mas," jawab Nimas.Â
Hatinya begitu hancur mengingat kejadian satu hari sebelum akad dilakukan. Keluarganya di kampung kedatangan tamu dari kota. Memaki dan mencaci kedua orangtuanya.Â
"Bagaimana ini, Pak?" tanya Nimas kepada bapaknya yang lebih banyak diam setelah kedatangan tamu perempuan itu.Â
"Bapak tidak akan mengorbankan hati anak perempuan bapak satu-satunya. Apa yang kamu inginkan, maka lakukan. Bapak dan ibumu hanya bisa mendoakan. Ikuti kata hati mu, Nak!" ucap lelaki paruh baya itu seraya menghela napas panjang.Â
"Apa jadinya anak kita nanti, Pak? Apa tidak akan terjadi masalah yang semakin menyakiti kita nanti?" tanya sang ibu dengan penuh kekhawatiran.Â
"Buk, Nimas sudah besar. Biarkan ia menanggung risiko atas apa yang telah menjadi keputusannya," ucapnya datar.Â
Sejak saat itu, matanya tidak lagi dapat melihat bagaimana indahnya masa depan dalam kehidupan rumah tangga yang akan dijalaninya.Â
Hanya karena atas dasar cinta yang luar biasa, ia berharap Dirman memiliki kadar cinta yang sama besar dengan dirinya sehingga suaminya itu tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan restu dari ibunya.Â
Namun waktu kian menjauh. Hari berganti dengan keadaan yang sama. Nimas bersabar, tetapi tidak lagi membujuk. Tidak lagi berharap. Tidak lagi berkeinginan Keinginan tentang hidup seatap, keinginan tentang digandeng di tempat umum, apalagi tentang impian rumah baru yang pernah menjadi wacana bertahun lalu.Â
"Kenapa kamu tidak bilang kalau ibu datang ke rumahmu malam itu?" tanya Dirman penuh penyesalan.Â
"Sudahlah!" jawab Nimas tanpa rasa peduli. Ya, Nimas sudah mati rasa.Â