Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rumah Baru

23 Januari 2024   15:17 Diperbarui: 28 Januari 2024   19:15 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah baru. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Hidup memang selalu memberikan kejutan yang bermacam-macam. Susah ditebak dan kadang begitu pandai membolak-balikan keadaan, membuat manusia terpontang-panting tidak karuan. Soal ekonomi, soal kehidupan dan status sosial, tidak terkecuali soal cinta. 

Bicara soal cinta, hal yang satu ini adalah hal yang justru paling membuat seseorang mudah sekali rapuh. Terlebih jika sudah telah terjadi akad janji, baik secara sah maupun hanya serupa akad gombal antara pria dan wanita. 

Namun bisa juga terjadi sebaliknya. Orang-orang yang tersakiti dengan cinta bisa saja menjadi orang-orang yang sangat kuat, dan bangkit lebih hebat. Seperti Nimas, perempuan paruh baya yang berhasil berjuang mewujudkan mimpi-mimpi dengan beralaskan rasa sakit hati.

"Nanti kita sewa dulu rumah ya, tidak perlu besar, yang penting nyaman untuk kita berdua. Ke depannya aku akan belikan kamu rumah, nanti kita ambil perumahan. Mas yang bayarin uang muka kamu yang nyari cicilan," ujar Dirman.

Nimas mematung. Memikirkan kalimat suami yang baru saja menikahinya itu. Berusaha mencerna, kemana arahnya? 

Bukan harus menjadi matre, tetapi hidup harus realistis bukan? 

Spacejoy/unsplash 
Spacejoy/unsplash 

"Lah, biaya sewa juga besar toh, Mas. Kenapa gak sekalian dipakai uang muka saja uangnya? Dan kenapa harus aku yang nyicil?" tanya Nimas. Tangannya sibuk memainkan seat belt, tanpa sanggup memandang wajah lelaki di sebelahnya yang sedang mengemudi. 

Belum sampai sehari menikah, Nimas sudah menunjukkan ketidaksepakatan. Hatinya begitu gelisah. Masa iya ia yang harus kerja keras untuk membayar cicilan rumah. Kalau begitu mendingan nyewa saja seumur hidup biar dia tidak perlu memikirkan cicilan. Biar Dirman saja yang menyewakan.

Soal tempat tinggal memang belum sempat benar-benar dibahas. Selama ini keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jarang bertemu karena terpisah jarak yang memang cukup jauh. Nimas bekerja di sebuah perusahaan jasa, sedangkan Dirman bekerja di sebuah instansi pemerintah. 

Dirman pulang hanya satu bulan sekali untuk menjenguk ibundanya yang turunan ningrat dan tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Nimas yang hanya orang biasa. Itulah sebabnya Dirman tidak pernah benar-benar terbuka tentang hubungan mereka padahal sudah terjalin tiga tahun lamanya. 

Namun, meskipun LDR-an, Dirman selalu berhasil membuat hati Nimas berbunga-bunga dan yakin akan kesungguhan cintanya. Sampai akhirnya Dirman bisa pindah tugas ke kota yang sama dengan Nimas, terlebih mereka sekarang sudah menikah meskipun harus tanpa restu orangtua Dirman. 

"Nimas, kita kan belum menemukan tempat yang pas dan aman untuk kita tinggal berdua lho. Harap kamu mengerti lah!" Dirman memelas.

"Mas, aku kira setelah kita menikah Mas akan lebih terbuka soal hubungan kita," Nimas merajuk, "lagi pula, kenapa aku yang harus nyicil rumah nanti?" 

Air matanya mengalir membasahi pipinya membuat Dirman salah tingkah, merasa bersalah dan memberhentikan mobilnya ke pinggir jalan. 

"Lho... Kan itu nanti. Berapa tahun kemudian," ucap Dirman berusaha lembut.

Dirman tidak mau merusak malam pertama pernikahannya dengan Nimas. Membawa paksa Nimas di hari pernikahan mereka untuk pulang ke kota pun sudah membuat Nimas dan orangtuanya bersitegang dan membuat gadis itu sedih. 

Jangan sampai moodnya rusak, batin Dirman. 

Perlahan ia meraih tangan sang istri menggenggamnya erat-erat, seakan ia ingin membuat Nimas benar-benar memberikan kepercayaan penuh bahwa dirinya benar-benar ingin membuat perempuan yang dicintainya itu bahagia. 

"Nimas..., pelan-pelan ya... Mas nanti mulai kenalin kamu sama adik-adik Mas dulu, mau yo...?" bujuk Dirman. Sekali lagi tangannya mengelus lembut tangan istrinya itu. 

"Mas..., aku hanya mohon sama kamu. Aku ini istri kamu. Masa masih mau disembunyikan kayak punya salah apa aja. Kita kan sah, Mas. Kalau saja aku tetap disembunyikan, buat apa kita mengikat janji di depan penghulu malam tadi?" keluh Nimas. 

Air matanya semakin deras, meratapi keadaan diri. Detik itu juga dirinya merasa begitu bodoh telah berani mengambil keputusan gegabah itu. Namun ia tidak bisa membohongi hati bahwa Dirman adalah lelaki yang sangat dicintainya. 

Ratusan bahkan ribuan malam berlalu begitu saja. Hari-hari yang dilewati Nimas masih sama. Dirman masih saja belum memenuhi janjinya bahwa ia akan dikenalkan kepada keluarga besarnya. 

"Aku ini memang bodoh," bisik Nimas mengutuk dirinya sendiri.

Bayangan masa lalu pun melintas di kepala. Bahwa keputusan yang dia ambil memang hasil perenungan yang panjang. Solat istikharah pun dilakukannya. 

"Aku tidak boleh menyesal. Karena apa yang aku putuskan adalah hasil dari doa-doaku setiap malam. Kini aku hanya perlu menjalani dan melaluinya dengan kepasrahan yang lebih banyak lagi. Atau....," pergolakan dalam hatinya terhenti seketika saat sebuah kesadaran hinggap dalam hatinya, "atau aku kembali memohon kepada Allah, meminta petunjuk agar aku mendapatkan jalan terbaik dari semua ini?" 

Ratusan malam pergulatan batin itu tidak jua selesai. Solat-solat pun dilakuan tiap sepertiga malam, sekadar merajuk pada Allah meminta ketenangan dan ketetapan hati pada sesuatu yang memang terbaik dan diridhoi Allah. 

"Mas, jadi bagaimana, kapan kita bisa tinggal serumah?" tanya Nimas ketika mereka berkesempatan makan bersama. 

"Mas belum bisa memastikan. Sampai saat ini, Mas belum bisa terbuka dan membawa mu di depan umum. Khawatir ini terdengar oleh Ibunda Mas yang sedang sakit. Maafin Mas ya," Dirman memelas. 

Nimas hanya bisa menghela napas panjang. Usahanya kini lagi-lagi tidak menemukan titik terang. Harapannya perlahan pudar. 

"Aku tahu, Mas. Sekat di antara kita terlalu kuat. Ibumu tidak akan pernah setuju anak lelaki satu-satunya menikah dengan anak mantan pacarnya di masa muda. Mungkin luka yang pernah bapakku goreskan terlalu dalam sampai ibumu tidak bisa memaafkan," ujar Nimas sambil berlinang air mata. 

"Tahu dari mana bahwa ibuku...?"

 "Ibumu sendiri yang bilang padaku, Mas," jawab Nimas. 

Hatinya begitu hancur mengingat kejadian satu hari sebelum akad dilakukan. Keluarganya di kampung kedatangan tamu dari kota. Memaki dan mencaci kedua orangtuanya. 

"Bagaimana ini, Pak?" tanya Nimas kepada bapaknya yang lebih banyak diam setelah kedatangan tamu perempuan itu. 

"Bapak tidak akan mengorbankan hati anak perempuan bapak satu-satunya. Apa yang kamu inginkan, maka lakukan. Bapak dan ibumu hanya bisa mendoakan. Ikuti kata hati mu, Nak!" ucap lelaki paruh baya itu seraya menghela napas panjang. 

"Apa jadinya anak kita nanti, Pak? Apa tidak akan terjadi masalah yang semakin menyakiti kita nanti?" tanya sang ibu dengan penuh kekhawatiran. 

"Buk, Nimas sudah besar. Biarkan ia menanggung risiko atas apa yang telah menjadi keputusannya," ucapnya datar. 

Sejak saat itu, matanya tidak lagi dapat melihat bagaimana indahnya masa depan dalam kehidupan rumah tangga yang akan dijalaninya. 

Hanya karena atas dasar cinta yang luar biasa, ia berharap Dirman memiliki kadar cinta yang sama besar dengan dirinya sehingga suaminya itu tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan restu dari ibunya. 

Namun waktu kian menjauh. Hari berganti dengan keadaan yang sama. Nimas bersabar, tetapi tidak lagi membujuk. Tidak lagi berharap. Tidak lagi berkeinginan Keinginan tentang hidup seatap, keinginan tentang digandeng di tempat umum, apalagi tentang impian rumah baru yang pernah menjadi wacana bertahun lalu. 

"Kenapa kamu tidak bilang kalau ibu datang ke rumahmu malam itu?" tanya Dirman penuh penyesalan. 

"Sudahlah!" jawab Nimas tanpa rasa peduli. Ya, Nimas sudah mati rasa. 

Sekali lagi Nimas menghela napas panjang. Lelah yang teramat sangat begitu terasa. Pukul 16:30 adalah jam di mana dirinya baru bisa beristirahat dari kepenatan pekerjaan. 

Matanya menyapu seluruh ruangan dengan dinding berwarna cerah. Tepat di hadapannya terpampang sebuah foto berukuran besar. Dua insan yang saling setia saling menjaga. Lelaki kecil dalam pangkuannya melirik ke arah perempuan yang tengah memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ya, itu adalah foto Nimas dengan Rangga anak semata wayangnya. 

Kini mereka harus menjalani hidup berdua. Dengan perjuangan yang begitu keras.

"Membangun rumah baru sendiri ternyata lebih menyenangkan bukan? Meskipun aku lelah setengah mati, setidaknya tidak ada lagi rasa takut dan ragu yang menghantui," bisik Nimas pada dirinya sendiri. 

"Tumbuh lah besar anak Mama, jadilah lelaki yang bertanggung jawab, Nak. Kita akan hadapi dunia ini sama-sama," bisik Nimas lagi sambil memandang foto anak lelaki itu lamat-lamat. 

"Ma, tadi aku ketemu Papa Dirman. Dia jadi pembicara acara seminar di SMA ku," ucap Rangga yang entah sejak kapan anak lelaki itu telah berada di sana dengan seragam sekolah yang masih dikenakannya. 

Nimas menghela napas panjang, sekuat hati ia berusaha menepis nama yang baru saja disebutkan anaknya itu sejauh mungkin.

Pikirannya harus kembali waras. Masa lalu yang muram tidak boleh merusak apa yang kini sudah berjalan baik. 

"Makanlah! Mama sudah masak makanan kesukaan kamu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun