Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rumah Baru

23 Januari 2024   15:17 Diperbarui: 28 Januari 2024   19:15 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Air matanya semakin deras, meratapi keadaan diri. Detik itu juga dirinya merasa begitu bodoh telah berani mengambil keputusan gegabah itu. Namun ia tidak bisa membohongi hati bahwa Dirman adalah lelaki yang sangat dicintainya. 

Ratusan bahkan ribuan malam berlalu begitu saja. Hari-hari yang dilewati Nimas masih sama. Dirman masih saja belum memenuhi janjinya bahwa ia akan dikenalkan kepada keluarga besarnya. 

"Aku ini memang bodoh," bisik Nimas mengutuk dirinya sendiri.

Bayangan masa lalu pun melintas di kepala. Bahwa keputusan yang dia ambil memang hasil perenungan yang panjang. Solat istikharah pun dilakukannya. 

"Aku tidak boleh menyesal. Karena apa yang aku putuskan adalah hasil dari doa-doaku setiap malam. Kini aku hanya perlu menjalani dan melaluinya dengan kepasrahan yang lebih banyak lagi. Atau....," pergolakan dalam hatinya terhenti seketika saat sebuah kesadaran hinggap dalam hatinya, "atau aku kembali memohon kepada Allah, meminta petunjuk agar aku mendapatkan jalan terbaik dari semua ini?" 

Ratusan malam pergulatan batin itu tidak jua selesai. Solat-solat pun dilakuan tiap sepertiga malam, sekadar merajuk pada Allah meminta ketenangan dan ketetapan hati pada sesuatu yang memang terbaik dan diridhoi Allah. 

"Mas, jadi bagaimana, kapan kita bisa tinggal serumah?" tanya Nimas ketika mereka berkesempatan makan bersama. 

"Mas belum bisa memastikan. Sampai saat ini, Mas belum bisa terbuka dan membawa mu di depan umum. Khawatir ini terdengar oleh Ibunda Mas yang sedang sakit. Maafin Mas ya," Dirman memelas. 

Nimas hanya bisa menghela napas panjang. Usahanya kini lagi-lagi tidak menemukan titik terang. Harapannya perlahan pudar. 

"Aku tahu, Mas. Sekat di antara kita terlalu kuat. Ibumu tidak akan pernah setuju anak lelaki satu-satunya menikah dengan anak mantan pacarnya di masa muda. Mungkin luka yang pernah bapakku goreskan terlalu dalam sampai ibumu tidak bisa memaafkan," ujar Nimas sambil berlinang air mata. 

"Tahu dari mana bahwa ibuku...?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun