Air matanya semakin deras, meratapi keadaan diri. Detik itu juga dirinya merasa begitu bodoh telah berani mengambil keputusan gegabah itu. Namun ia tidak bisa membohongi hati bahwa Dirman adalah lelaki yang sangat dicintainya.Â
Ratusan bahkan ribuan malam berlalu begitu saja. Hari-hari yang dilewati Nimas masih sama. Dirman masih saja belum memenuhi janjinya bahwa ia akan dikenalkan kepada keluarga besarnya.Â
"Aku ini memang bodoh," bisik Nimas mengutuk dirinya sendiri.
Bayangan masa lalu pun melintas di kepala. Bahwa keputusan yang dia ambil memang hasil perenungan yang panjang. Solat istikharah pun dilakukannya.Â
"Aku tidak boleh menyesal. Karena apa yang aku putuskan adalah hasil dari doa-doaku setiap malam. Kini aku hanya perlu menjalani dan melaluinya dengan kepasrahan yang lebih banyak lagi. Atau....," pergolakan dalam hatinya terhenti seketika saat sebuah kesadaran hinggap dalam hatinya, "atau aku kembali memohon kepada Allah, meminta petunjuk agar aku mendapatkan jalan terbaik dari semua ini?"Â
Ratusan malam pergulatan batin itu tidak jua selesai. Solat-solat pun dilakuan tiap sepertiga malam, sekadar merajuk pada Allah meminta ketenangan dan ketetapan hati pada sesuatu yang memang terbaik dan diridhoi Allah.Â
"Mas, jadi bagaimana, kapan kita bisa tinggal serumah?" tanya Nimas ketika mereka berkesempatan makan bersama.Â
"Mas belum bisa memastikan. Sampai saat ini, Mas belum bisa terbuka dan membawa mu di depan umum. Khawatir ini terdengar oleh Ibunda Mas yang sedang sakit. Maafin Mas ya," Dirman memelas.Â
Nimas hanya bisa menghela napas panjang. Usahanya kini lagi-lagi tidak menemukan titik terang. Harapannya perlahan pudar.Â
"Aku tahu, Mas. Sekat di antara kita terlalu kuat. Ibumu tidak akan pernah setuju anak lelaki satu-satunya menikah dengan anak mantan pacarnya di masa muda. Mungkin luka yang pernah bapakku goreskan terlalu dalam sampai ibumu tidak bisa memaafkan," ujar Nimas sambil berlinang air mata.Â
"Tahu dari mana bahwa ibuku...?"