Pantai yang bijak retak, tangan basah dan lembab mencengkram kedua pergelangan kakiku. Aku berteriak, tapi suaraku tidak keluar. Bukan aku terjatuh, ponselku pun begitu. Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku tertahan dalam genggamannya.Â
Sesaat kemudian tubuhku perangkat begitu tinggi. sesuatu menarik kerah bajuku dari arah belakang. Tubuh melayang di udara. Didekatkannya tubuhku dengan sosok gadis yang menggantung tadi sampai akhirnya aku bisa melihat jelas berupa gadis tersebut. Seram dan mengkhawatirkan. Wajahnya koyak, hidungnya tak lagi utuh. Lehernya mulai bolong, darah segar bercucuran. Lagi-lagi aku ingin berteriak, tetapi tidak sanggup melakukan.Â
Sebisa mungkin aku membacakan ayat-ayat yang kuhapal. Aku berusaha menguatkan hati untuk membaca doa-doa itu.Â
Brak! Tubuhku menghantam lantai. Jatuh, sakit sekali.Â
Sementara gadis itu tetap tergantung, di atas kepalaku. Aku berusaha lari sekencang mungkin, melewati lorong. Aku sudah tidak peduli dengan mbak Nina yang pasti mencariku.Â
Di tengah pelarian, aku terus berusaha melafalkan ayat-ayat yang dibaca. Langkah kakiku begitu berat, tapi akhirnya aku sampai juga di ujung lorong. Pintu hijau itu kubuka dengan segera.Â
Hujan mengguyur membasahi tubuhku. Aku terus berlari kencang menuju posko. Sesampainya di sana, kawan-kawan sudah berkumpul dengan gelak tawa dalam bahasanya masing-masing. Mata mereka tertuju padaku seketika, saat aku tiba di pintu ruangan. Berbagai tanya dilontarkannya.
"Kamu kenapa, kok seperti yang ketakutan?"Â
Mulutku bisu, tidak bisa menjawab apa-apa.Â
Seseorang memapah tubuhku, membiarkanku duduk dan memberikanku minum.
Butuh waktu sekitar 10 menit untuk membuatku tenang dan dapat berbicara menceritakan semua yang kualami kepada teman-temanku disana. Semua memasang ekspresi tidak percaya atas apa yang sudah aku alami.Â