"Bolehkah anak lelakimu itu untukku saja?" tanya Johan sungguh-sungguh. Matanya menatap Amira lamat-lamat.
"Maksudmu?" Amira salah tingkah. Tatapan Johan membuatnya kikuk.
"Sejak dulu aku menginginkan anak laki-laki. Namun sayang harapan itu sudah hilang," ucap Johan. Tangannya sibuk memainkan sedotan jus di gelasnya. Ada perasaan bersalah telah telalu berani mengungkapkan kalimat itu.
"Kenapa hilang?" tanya Amira penasaran.
"Istriku sudah meninggal lima tahun lalu," jawab Johan. Hatinya kembali terasa sakit membayangkan kepergian istri meninggalkan dua bayi kembar perempuan.
"Oh, maafkan aku, aku tidak tahu," ujar Amira dengan perasaan bersalah.
"Tidak apa-apa. Its ok." Johan mencoba tersenyum dan berharap suasana lebih cair dari sebelumnya.
Amira menyedot jusnya. Kemudian tersenyum tipis, tetapi tetap manis. Johan terpana dan nyaris lupa dunia, karena terlampau Bahagia melihat senyum manis itu terbit kembali di wajah Amira.
"Nah,bagitu dong, senyum." Johan tersenyum, "Lupakan masalah Hendrik ya, kamu harus tetap kuat untuk anak lelakimu," ucapnya.
Amira terdiam. Ucapan Johan benar. Tiada gunanya ia terusberlarut-larut memikirkan lelaki yang telah lama menyakitinya. Hidupnya terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kesedihan. Usianya masih sangat muda, jalannya masih panjang. Keputusan rahasia yang telah ia ambil beberapa bulan lalu kini ia yakini sebagai langkah yang benar.
Amira telah melayangkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.