"Hidup memang tidak selalu berpihak kepada pelakunya, Amira," ujar Johan.
Tatapan lelaki itu datar. Ia menghela napas panjang mengusir sesal yang bertumpuk. Mengapa aku tidak bertemu denganmu di masa lalu?Â
Amira, perempuan itu teralu baik untuk disakiti. Johan tidak habis pikir, mengapa lelaki bernama Hendrik begitu tega menyakiti Amira.
Bagi Johan sendiri, Amira adalah perempuan yang istimewa. Selain cantik dengan tampilan terbaik seorang peremuan, mata bulat, kulit putih mulus dengan tubuh tinggi semampai. Amira pun memiliki kecerdasan yang hebat. Pemikiran yang brilian. Bahkan, dalam beberapa situasi Amira selalu mampu mengendalikan sikap. Kepandaiannya membawa diri, membuat perempuan itu terlihat semakin anggun dalam penilaiinnya.
Siapa sangka, jika di balik senyumnya yang selalu terkembang ada luka yang begitu dalam disembunyikan. Hendrik sang suami benar-benar telah membuat kehidupan perempuan usia 28 tahun itu porak-poranda. Kelainan seksual yang dimilikinya membuat hubungan suami istri tidak lagi sehat. Kehidupan rumah tangga pun carut-marut. Hendrik menyukai lawan jenis, pun sesama jenisnya.
"Aku mohon maaf, jika boleh tahu, sejak kapan Hendrik begitu?" Dengan sangat hati-hati Johan melontarkan pertanyaan.
Lelaki itu begitu takut melukai hati perempuan yang telah lama dicintainya. Hanya saja ia harus pandai-pandai menyembunyikan rasa. Walau sudah lama ia ingin sekali memiliki pengganti istrinya yang telah lama pergi, tidak berarti ia harus menyatakan cinta kepada perempuan bersuami.
Mengungkapkan perasaan kepada perempuan sehebat Amira hanya akan mengundang tamparan keras di pipinya. Oh tidak, tentu tidak. Amira tidak akan sekasar itu. Ia bukan perempuan tempramen. Hanya saja malu rasanya jika Johan sampai terlalu berani menyatakan perasaannya.
Amira menunduk. Matanya berkaca-kaca. Sebutir bulir air meluncur begitu saja di pipinya yang putih. Segera ia menyekanya dengan jemarinya.
"Baik, aku tarik lagi pertanyaanku. Tidak usah kau jawab," ucap Johan dengan penuh rasa sesal.
"Dia sudah begitu sebelum menikahiku," ujar Amira di tengah isak tangisnya. "Namun ia merahasiakannya dariku. Aku baru tahu kemudian, ketika aku sedang mengalami masa nifas pasca melahirkan. Ia sering bepergian dan pulang larut malam dan membiarkanku begadang sendirian menunggui bayi kami yang rewel. Ketika ia pulang begitu larut dan tertidur lelap, aku tidak sengaja mengangkat sebuah telepon."
Amira berhenti berbicara. Sejenak ia memejamkan mata. Seolah ingin melupakan sesuatu.
Johan menahan napas, menunggu kalimat lanjutan.
"Seorang lelaki menelefon dengan suara manja dan mengucapkan terima kasih atas keperkasaan suamiku malam itu," papar Amira.
Air matanya semakin deras, bahunya berguncang.
Johan berpindah duduk ke sisi Amira. Ia mencoba menenangkan perempuan yang dicintainya dan berkata, "Maafkan aku, tidak seharusnya kita membahs ini." Pikirannya dipenuhi dengan pikiran-pikiran menjijikan tentamg Hendrik.
"Tidak apa-apa. Tak banyak yang bisa mendengar ini, Johan. Aku merasa harus melepas beban yang selama ini aku simpan sendirian." Amira mengambil sehelai tisu dan kembali menyeka air matanya yang belum berhenti berderai.
"Aku tidak habis pikir, kau menahan semuanya selama bertahun-tahun," ujar Johan. Ia menggelengkan kepala tetap tidak habis pikir.
"Aku tidak ingin anak lelakiku kehilangan sosok ayahnya," jawab Amira. Tangisnya mulai mereda. Ia kembali mengela napas panjang. Disandarkannya tubuh yang tampak letih ke sandaran sova.
Caf tempat mereka bertemu telah lengang.
"Mir, anakmu lelaki?" tanya Johan.
Amira mengangguk.
"Bolehkah anak lelakimu itu untukku saja?" tanya Johan sungguh-sungguh. Matanya menatap Amira lamat-lamat.
"Maksudmu?" Amira salah tingkah. Tatapan Johan membuatnya kikuk.
"Sejak dulu aku menginginkan anak laki-laki. Namun sayang harapan itu sudah hilang," ucap Johan. Tangannya sibuk memainkan sedotan jus di gelasnya. Ada perasaan bersalah telah telalu berani mengungkapkan kalimat itu.
"Kenapa hilang?" tanya Amira penasaran.
"Istriku sudah meninggal lima tahun lalu," jawab Johan. Hatinya kembali terasa sakit membayangkan kepergian istri meninggalkan dua bayi kembar perempuan.
"Oh, maafkan aku, aku tidak tahu," ujar Amira dengan perasaan bersalah.
"Tidak apa-apa. Its ok." Johan mencoba tersenyum dan berharap suasana lebih cair dari sebelumnya.
Amira menyedot jusnya. Kemudian tersenyum tipis, tetapi tetap manis. Johan terpana dan nyaris lupa dunia, karena terlampau Bahagia melihat senyum manis itu terbit kembali di wajah Amira.
"Nah,bagitu dong, senyum." Johan tersenyum, "Lupakan masalah Hendrik ya, kamu harus tetap kuat untuk anak lelakimu," ucapnya.
Amira terdiam. Ucapan Johan benar. Tiada gunanya ia terusberlarut-larut memikirkan lelaki yang telah lama menyakitinya. Hidupnya terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kesedihan. Usianya masih sangat muda, jalannya masih panjang. Keputusan rahasia yang telah ia ambil beberapa bulan lalu kini ia yakini sebagai langkah yang benar.
Amira telah melayangkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Amira tersenyum. Sebuah harapan baru terpancar di matanya yang masih sembab sisa tangisan.
Johan menyentuh bahunya, mengusap pelan menenangkan dan memberi dukungan.
Tatapan mereka bertemu untuk beberapa detik. Ada getar yang terlalu dahsyat di hati mereka.
"Jadi kapan kamu selesai?" tanya Johan ragu-ragu.
"Hm?" Amira bergumam. Matanya yang indah mendelik ke arah Johan, "Aku sudah selesai," jawabnya singkat.
Dada Johan terhenyak. Ada bahagia yang datang tiba-tiba. "Boleh aku ulang pertanyaanku?"
"Apa?"
"Bolehkan anak lelakimu untukku saja?"
Amira bergeming. Tatapan johan yang begitu dalam melumpuhkan pertahanannya. Semula ia tidak ingin membuka peluang kepada lelaki manapun yang sudah berstatus seorang suami. Selama ini, ia menganggap Johan sebagai rekan kerja saja.
"Kita obati luka sama-sama. Kamu mau, Amira?"
Tangan Johan meraih tangan Amira. Perempuan itu menunduk malu. Kemudian mengangguk tanda setuju.
Caf tempat mereka bertemu semakin lengang. Tinggalah butir-butir harapan yang berterbangan ke udara, memenuhi langit-langit cafe. Bahkan menembus menerobos atapnya hingga ke angkasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI