Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartini

21 April 2020   11:19 Diperbarui: 21 April 2020   11:45 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh hari ini hari Kartini ya," Ningrum bergumam pada dirinya sendiri.

Langkah kakinya menuju ke ruang tengah, sebuah kalander berukuran sedang terpampang di dindingnya.

"Betul, hari ini tanggal 21 April 2020." Perempuan itu kembali ke kamarnya. Duduk di depan cermin, mengamati wajahnya lamat-lamat, tidak ada bekas riasan. Di mejanya pun tidak ada kosmetik yang sering disebut-sebut sebagai "alat tempur" perempuan.

Kemudian ia berdiri, memutar, lenggak-lenggok, mencoba memeragakan gaya seorang peragawati. Kaku.

Ningrum bukan tipe perempuan yang terlalu feminim yang bisa berpenampilan lemah gemulai, berdandan atau menyukai barang-barang koleksi seperti tas, sepatu, dan pakaian warna-warni.

Ia sadar betul, ia memang berbeda dengan kebanyakan teman-temannya yang sesama perempuan. Mereka begitu pandai berdandan dan memadu padan pakaian. Ningrum lebih suka tampil seadanya, pergi kuliah atau bekerja pun yang penting berpakaian rapi dan sopan. Soal membubuhkan blush-on dan mascara, ia tidak pandai sama sekali.

"Apakah aku termasuk Kartini masa kini?" gumamnya.

Ningrum duduk di sisian ranjang, memandang hujan di balik jendela kamar. Laptopnya dibiarkannya terbuka dalam keadaan on di meja kerja. Naskah tulisannya belum selesai. Ada bosan yang sedang mampir di kepala, memaksa Ningrum menanggalkan pekerjaannya.

Ningrum menghela napas panjang. Ia meremas kain dasternya. Pakaian paling nyaman yang ia kenakan ketika berada di dalam rumah. Bekerja di rumah saat wabah corona menimbulkan kejenuhan. Karena itu, sesekali Ningrum menyibukan diri pada hobinya. Ya, menuliskan sesuatu yang ada di kepalanya, merupakan selingan yang paling menyenangkan di tengah kesibukan pekerjaannya.  Bekerja di rumah membuat perempuan itu bisa mengatur waktu sendiri, yang penting pekerjaan selesai tepat waktu.

Berhari-hari berdiam diri di rumah karena adanya imbauan lockdown dan PSBB untuk memutus rantai penyebaran covid-19, telah membuat ia lupa hari dan tanggal. Bahkan makan dan mandi pun tidak lagi seteratur ketika rutinitas berjalan normal. Bangun, salat Subuh, mandi, sarapan, lalu bersiap pergi ke tempat kerja.

Kesibukannya bekerja di rumah sudah menyita perhatiannya. Menjadi seorang mahasiswa yang juga bekerja paruh waktu membuat Ningrum sibuk dan melupakan banyak hal. Ia hanya berkonsentrasi pada target-target pekerjaan dan pencapaian pribadinya, menyelesaikan naskah-naskah.

"Neng... makan dulu!" teriak ibunya dari balik pintu.

Menyadarkan Ningrum pada perasaan lapar. Ini sudah pukul 10 lebih. Perutnya pun perlu diisi. Ningrum melangkahkan kaki menuju ruang makan. Ibu dan ayahnya sudah duduk di sana siap dengan santapan di piringnya.

"Kamu belum mandi?" tanya ayahnya.

Lelaki itu menggelengkan kepala, tidak habis piker, sesiang itu anak peremuannya belum menyempatkan mandi. Ningrum hanya bisa tersenyum malu.

"Belum, Ayah." Jawabnya.

Ningrum memang bukan perempuan yang suka berdandan apalagi ketika ia diharuskan untuk bekerja dari rumah. Sebuah kemerdekaan yang tiada tara untuknya. Ketika bekerja, berbagai tuntutan datang. Dari mulai keharusan berpenampilan menarik, berbaju rapi, sepatu hak tinggi, yang menyiksa kakinya.

Ningrum kini merdeka, tidak lagi harus berdandan berlebihan. Berdandan adalah sebuah kegiatan yang tidak terlalu disukainya. Menggunakan make-up tebal, berlipstik, apalagi menggunakan eyeliner di matanya merupakan sebuah beban yang besar untuk nya. Namun apa boleh buat itu harus ia lakukan demi agar tidak ditegur atasan, saat tampil di depan klien atau  saat bertemu dengan orang-orang penting lainnya.

"Bu, hari ini hari Kartini. Apakah aku termasuk Kartini masa kini?"

Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja di tengah kunyahannya. Nasi goreng di piringnya masih mengepul mengeluarkan aroma lezat.

"Iya...." Jawab ibunya.

"Kamu Kartini masa kini dong, Nak," ujar ayahnya menimpali.

"Perempuan zaman sekarang harus pintar dandan, Ayah. Sedangkan Ningrum tidak." Ningrum kembali menyendok nasinya. "Pakai blush on, eyeliner, bulu mata palsu kalau perlu. Sedangkan aku tidak pandai melakukannya."

"Tidak selalu begitu. Masih sangat banyak yang bisa diandalkan dari seorang perempuan selain tampilan," ayahnya berkata jujur.

"Iya, ayahmu dulu naksir ibu bukan karena ibu berdandan kok," Ibunya menimpali.

"Ada banyak yang bisa diandalkan dalam diri perempuan. Tidak melulu harus berdandan. Justru, zaman sekarang yang hars dikedapankan adalah ketajaman pikiran, luasnya pemahaman, dan kepekaan hati serta nurani seorang perempuan. Banyak perempuan yang sudah hilang urat malunya. Mempertontonkan kecantikannya di berbagai media sosial. Kemudahan membagikan informasi membuat kaum perempuan yang latah menghalalkan segala cara dei mendapatkan sanjungan dan apresiasi dari banyak orang."

Ayahnya yang sudah lebih dulu menghabiskan nasi goreng buatan ibu, bicara panjang lebar. Ningrum manggut-manggut sepakat dengan perkataan ayahnya.

Kini ia tidak akan lagi menghiraukan perkataan rekan-rekan kerjanya yang sering menyindir soal kosmetik mahal yang tidak dibelinya.

"Kamu ini mampu, Ning. Beli itu sja kok kayak gak mampu!" ujar Marni ketika semua rekan kerja perempuannya menambah koleksi make-up belanja ramai-ramai.

"Aku bukan tidak mampu, tapi gakbisa makenya." Jawab Nngrum jujur.

Kini ia akan tetap pada pendiriannya bahwa perempuan cantik sudah banyak, tapi perempuan yang memiliki kecerdasan di kepala, kemampuan untuk bekerja keras, dan keyakinan serta keoptimisan dalam menghadapi hidup, adalah  modal yang paling kuat pada seorang perempuan.

"Ingat Neng, sosok Kartini yang begitu kokoh memperjuangkan hak-hak perempuan pada zaman penjajahan, apakah ia berdandan dan berlagak centil di hadapan para para kolonial Belanda? Tentu tidak. Yang ia lakukan adalah mengasah kemampuan, mengisi kepalanya dengan kecerdasan lalu menuangkan ide-idenya pada buku-buku yang ditulisnya dan dibaca banyak orang. Tulisannya menggugah hati para perempuan. Membakar dan membangkitkan semangat perempuan untuk bangkit menjadi perempuan yang tangguh." Ibunya menambahkan.
Menulis, Ningrum pun sedang melakukannya. Ia berharapa bisa memberikan inspirasi kepada orang banyak dengan tulisannya. Ningrum terus menuangkan gagasan ke dalam sebuah buku, di samping ia tetap melakukan tugasnya sebagai karyawan di kantornya.

Tidak perlu waktu lama, Ningrum telah menghabiskan isi piringnya.

"Baik, Ayah, Ibu, terima kasih, Ningrum mau balik lagi ke kamar, mau lanjutkan tulisan. Biar jadi Kartini masa kini yang hebat!"
Sambil mengepalkan tangan tanda semangat, Ningrum beranjak dari kursi makannya, meletakanmembawa piringnya ke wastafel kemudian mencucinya bersama piring-piring kotor lain yang ada di sana.

"Ya, tapi tidak upa mandi juga dong. Anak gadis Ayah gagal jadi Kartini kalua malas mandi. Kartini masa kini, harus tetap wangi dan bersih walau pun tidak berdandan berlebihan." Ujar ayahnya disusul dengan gelak tawa.
Ningrum beringsut. Muliutnya manyun. Lalu tersenyum lebar penuh dengan keceriaan.

"Siap, Ayah... Ningrum mandi."

Perempuan berusia 24 tahun itu berlalu meninggalkan ayah ibunya di ruang makan.

Beberapa saat setelah mandi dan berganti pakaian, Ningrum sudah kembali larut dalam kesibukannya merangkai kata-kata. Kata-kata yang diharapkan mampu membius hati dan pikiran para perempuan, bahwa menajdi terkenal, dan diakui tidak melulu harus mengandalkan penampilan dan kemolekan yang hanya indah dipandang mata. Namun harus menjadi sosok inspirasi yang cerdas dan berkontribusi.

Kartini masa kini adalah dia yang mampu menarik perhatian orang lain dengan kecerdasannya. Perempuan yang mampu menginspirasi banyak orang dengan hal-hal positif. Bisa jadi, Kartini sejati adalah mereka yang tetap duduk diam dirumah tanpa dandan berlebihan, tetapi mampu menghasilkan karya-karya yang dinikmati banyak orang dan menggugah hati para penikmat karyanya.

Kartini masa kini adalah para perempuan yang tetap memertahankan agama, dan dengan ketulusan hati mendidik anak-anaknya menjadi penerus bangsa yang berbudi luhur.

Sepuluh halaman selesai tanpa jeda. Ningrum kembali ke depan cerminnya. Lalu berbisik kepada dirinya sendiri "Kalau sudah mandi, dan sudah menuliskan gagasan aku jadi lebih bahagia dan memang lebih cantik ya."

Lengkung senyumnya pun terlukis indah di bibirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun