"Baik, Ayah, Ibu, terima kasih, Ningrum mau balik lagi ke kamar, mau lanjutkan tulisan. Biar jadi Kartini masa kini yang hebat!"
Sambil mengepalkan tangan tanda semangat, Ningrum beranjak dari kursi makannya, meletakanmembawa piringnya ke wastafel kemudian mencucinya bersama piring-piring kotor lain yang ada di sana.
"Ya, tapi tidak upa mandi juga dong. Anak gadis Ayah gagal jadi Kartini kalua malas mandi. Kartini masa kini, harus tetap wangi dan bersih walau pun tidak berdandan berlebihan." Ujar ayahnya disusul dengan gelak tawa.
Ningrum beringsut. Muliutnya manyun. Lalu tersenyum lebar penuh dengan keceriaan.
"Siap, Ayah... Ningrum mandi."
Perempuan berusia 24 tahun itu berlalu meninggalkan ayah ibunya di ruang makan.
Beberapa saat setelah mandi dan berganti pakaian, Ningrum sudah kembali larut dalam kesibukannya merangkai kata-kata. Kata-kata yang diharapkan mampu membius hati dan pikiran para perempuan, bahwa menajdi terkenal, dan diakui tidak melulu harus mengandalkan penampilan dan kemolekan yang hanya indah dipandang mata. Namun harus menjadi sosok inspirasi yang cerdas dan berkontribusi.
Kartini masa kini adalah dia yang mampu menarik perhatian orang lain dengan kecerdasannya. Perempuan yang mampu menginspirasi banyak orang dengan hal-hal positif. Bisa jadi, Kartini sejati adalah mereka yang tetap duduk diam dirumah tanpa dandan berlebihan, tetapi mampu menghasilkan karya-karya yang dinikmati banyak orang dan menggugah hati para penikmat karyanya.
Kartini masa kini adalah para perempuan yang tetap memertahankan agama, dan dengan ketulusan hati mendidik anak-anaknya menjadi penerus bangsa yang berbudi luhur.
Sepuluh halaman selesai tanpa jeda. Ningrum kembali ke depan cerminnya. Lalu berbisik kepada dirinya sendiri "Kalau sudah mandi, dan sudah menuliskan gagasan aku jadi lebih bahagia dan memang lebih cantik ya."
Lengkung senyumnya pun terlukis indah di bibirnya.