"Perempuan zaman sekarang harus pintar dandan, Ayah. Sedangkan Ningrum tidak." Ningrum kembali menyendok nasinya. "Pakai blush on, eyeliner, bulu mata palsu kalau perlu. Sedangkan aku tidak pandai melakukannya."
"Tidak selalu begitu. Masih sangat banyak yang bisa diandalkan dari seorang perempuan selain tampilan," ayahnya berkata jujur.
"Iya, ayahmu dulu naksir ibu bukan karena ibu berdandan kok," Ibunya menimpali.
"Ada banyak yang bisa diandalkan dalam diri perempuan. Tidak melulu harus berdandan. Justru, zaman sekarang yang hars dikedapankan adalah ketajaman pikiran, luasnya pemahaman, dan kepekaan hati serta nurani seorang perempuan. Banyak perempuan yang sudah hilang urat malunya. Mempertontonkan kecantikannya di berbagai media sosial. Kemudahan membagikan informasi membuat kaum perempuan yang latah menghalalkan segala cara dei mendapatkan sanjungan dan apresiasi dari banyak orang."
Ayahnya yang sudah lebih dulu menghabiskan nasi goreng buatan ibu, bicara panjang lebar. Ningrum manggut-manggut sepakat dengan perkataan ayahnya.
Kini ia tidak akan lagi menghiraukan perkataan rekan-rekan kerjanya yang sering menyindir soal kosmetik mahal yang tidak dibelinya.
"Kamu ini mampu, Ning. Beli itu sja kok kayak gak mampu!" ujar Marni ketika semua rekan kerja perempuannya menambah koleksi make-up belanja ramai-ramai.
"Aku bukan tidak mampu, tapi gakbisa makenya." Jawab Nngrum jujur.
Kini ia akan tetap pada pendiriannya bahwa perempuan cantik sudah banyak, tapi perempuan yang memiliki kecerdasan di kepala, kemampuan untuk bekerja keras, dan keyakinan serta keoptimisan dalam menghadapi hidup, adalah  modal yang paling kuat pada seorang perempuan.
"Ingat Neng, sosok Kartini yang begitu kokoh memperjuangkan hak-hak perempuan pada zaman penjajahan, apakah ia berdandan dan berlagak centil di hadapan para para kolonial Belanda? Tentu tidak. Yang ia lakukan adalah mengasah kemampuan, mengisi kepalanya dengan kecerdasan lalu menuangkan ide-idenya pada buku-buku yang ditulisnya dan dibaca banyak orang. Tulisannya menggugah hati para perempuan. Membakar dan membangkitkan semangat perempuan untuk bangkit menjadi perempuan yang tangguh." Ibunya menambahkan.
Menulis, Ningrum pun sedang melakukannya. Ia berharapa bisa memberikan inspirasi kepada orang banyak dengan tulisannya. Ningrum terus menuangkan gagasan ke dalam sebuah buku, di samping ia tetap melakukan tugasnya sebagai karyawan di kantornya.
Tidak perlu waktu lama, Ningrum telah menghabiskan isi piringnya.