Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Soal Rasa

15 April 2020   21:50 Diperbarui: 15 April 2020   22:13 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eric Ward / unsplash.com

"Kamu gak harus terus-terusan menangis, Nolly. Lupakan saja lelaki itu! Masih banyak yang peduli padamu," ujar Gandi serius.

Lelaki itu memang tidak terlalu banyak bicara. Namun demi orang yang sedang menangis di hadapannya, apapun akan ia lakukan. Tidak terkecuali memberikan nasihat dan mengingatkan gadis itu.

Namun, kepeduliannya kepada Nolly selama ini seolah tidak berarti. Mata hati Nolly sepertinya tidak pernah sedikitpun terbuka untuk melihat kebaikan dan perhatiannya selama ini. Gandi selalu setia mendampingi gadis itu dalam keadaan suka maupun duka. 

Sejak duduk di bangku SMA, hingga kini mereka sudah hampir lulus kuliah, Gandi lah yang selalu peduli mendengarkan semua cerita Nolly. Dari mulai kisah patah hati hingga tentang kisah jatuh cintanya Nolly yang membuat hati Gandi patah berkali-kali.

Gandi, sejak SMA tidak pernah memiliki hubungan dengan siapapun. Bukan karena ia tidak menyukai perempuan seperti yang selama ini dituduhkan banyak orang. 

Kejam memang, ketika Gandi yang selalu sama-sama dengan Nolly sejak SMA sampai kuliah di jurusan dan kelas yang sama, malah menimbulkan pandanganburuk dari orang-orang di sekitarnya. Anggapan-anggapan bahwa dirinya sama dengan Nolly -menyukai lelaki pun didapatkannya. Padahal, jika dibandingkan dengan yang lain, maka ia adalah lelaki yang paling setia menjaga cintanya. Ya, cintanya hanya untuk Nolly seorang.   

"Kenapa sejak dulu saran kamu selalu itu-itu saja? Apakah kamu gak ngerti perasaanku? Aku sangat mencintai Dirga," ucap Nolly di tengah isak tangisnya. 

Tangannya menutupi muka dengan hidung dan mata yang sudah memerah. Bahunya berguncang, tangisannya tidak lagi tertahankan. 

Ingin rasanya, Gandi menawarkan bahu untuk Nolly bersadar. Namun mustahil dilakukan. Ia harus menjaga sikap. Secinta apapun dirinya, tidak lantas membuatnya menjadi lelaki yang melupakan keyakinan yang ia pelihara kuat-kuat dalam dadanya.

"Sudah aku bilang, jangan pernah berharap kepada lelaki yang tidak bertanggungjawab!" kali ini kalimat Gandi terdengar lebih tegas. 

Perasaan kesal sudah menyelimuti hatinya. Ia kenal betul kepada Dirga. Lelaki itu hanya mempermainkan Nolly saja. 

"Maksudmu apa? Lelaki mana yang harus aku percayai? Semuanya selalu mengecewakan aku," kalimatnya terbata-bata. Tangisnya belum juga reda.

"Ada banyak lelaki yang mencintai perempuannya tanpa harus mengecewakan," Gandi mencoma menstabilkan kembali emosinya. "Nolly, cinta adalah menjaga. Termasuk menjaga kedamaian hati dan kebahagiaan orang yang kita cintai."

"Kamu tahu apa tentang cinta? Selama aku kenal sama kamu, aku belum pernah sekalipun mendengarmu jatuh cinta. Jadi, tahu apa kamu soal cinta?"

"Aku memang awam. Namun aku mohon, berhentilah menangisi lelaki itu!" 

Nolly menatap Gandi dengan penuh kebencian. Sahabatnya yang selama ini dianggap paling pengertian, hari itu begitu tidak menyenangkan baginya.

"Aku benci sama kamu!" ujar Nolly dengan nada bicara yang tinggi. 

Gandi diam. Kalimat Nolly cukup menyakitkan. Ingin rasanya ia berteriak sekencangnya, bahwa dirinyalah yang jauh lebih menyayangi Nolly daripada laki-laki yang selama ini sering menyakiti. Dirinyalah yang selalu jatuh cinta kepada Nolly. Bukan yang lain.

Namun kalimat itu lagi-lagi tertahan. Seperti biasa, ia memilih bungkam dan mengungkapkan perasaannya dalam doa-doa. Berharap Tuhan menggetarkan hati gadis itu, atau, Tuhan memberikan pengganti yang jauh lebih baik serta menyisipkan rasa ikhlas dalam hatinya untuk melupakan Nolly, jika perempuan itu memang bukan jodohnya.

Caf tempat mereka bertemu hari itu tidak terlalu ramai. Hari mulai petang. Gandi beranjak dari hadapan Nolly.

"Mau kemana kamu?" tanya Nolly yang masih sesenggukan.

"Lebih baik aku pergi. Percuma aku ada di sini, tidak memberikan manfaat bagimu," kalimatnya datar tetapi penuh dengan kesungguhan.

"Jangan pergi..." sikap manja Nolly kembali. 

Bagaimana pun kesalnya ia kepada Gandi, ia tidak mau jika ia ditinggalkan sendirian dalam keadaan sedih.

"Berhenti nangis, aku akan tetap di sini bersamamu," ucap Gandi.

Nolly luluh. Ia beringsut menyeka linangan air matanya dan mencoba menenangkan diri. Gandi kembali duduk tanpa sepatah kata pun dari mulutnya. Memilih untuk membuka dan memainkan layar ponselnya.

"Gandi...." Ucap Nolly setelah tangisnya reda.

"Ya. Apa?"

"Ih kok kamu gitu sih jawabnya?" rengek Nolly.

"Aku harus ngomong apa lagi?"

"Kamu kok akhir-akhir ini gak peka sih. Sahabat kamu lagi sedih malah dicuekin, dimarahi, dinasihati. Kamu akhir-akhir ini gak berpihak lagi sama aku." Gerutu Nolly. 

Seperti biasa, ia selalu bebas dan leluasa mengungkapkan apapun yang dirasakannya kepada lelaki yang selama ini dianggap sahabat terbaiknya itu. 

Tidak pernah ada yang Nolly tutup-tutupi. Rahasia Nolly hampir semuanya Gandi tahu. Itulah yang membuat Gandi semakin merasa harus menjaga Nolly.

"Nolly, aku memang tidak tahu apa-apa soal cinta seperti yang kamu maksud. Karena aku tidak pernah pacaran. Namun jika aku diizinkan mengungkapkan cinta kepada seseorang yang selama ini aku cintai, maka aku berjanji, tidak akan menyia-nyiakan dia. Jangankan menduakannya, meyakiti hatinya saja tak akan tega aku melakukannya,"

Kalimat itu terlontar begitu saja.

Nolly tertegun

"Maksud kamu apa? Kamu tuduh Dirga selingkuhi aku? Dia setia kok, Cuma sikapnya aja egois," Nolly bersungut-sungut. 

Gandi tidak habis pikir, mengapa perempuan itu masih saja membela lelaki yang sudah menyakitinya.

Inilah saatnya untuk berhenti berharap kepada Nolly, batinnya. Tiba-tiba kesadarn itu muncul.

"Baik, Nolly, lakukan apapun yang kamu suka. Aku tidak akan lagi mencampurinya,"

"Ok, memang seharusnya tidak perlu ikut campur!" dengan nada ketus, Nolly membuang muka.

Gandi menghela napas panjang. Rasa sayangnya kepada Nolly semakin bulat. Membiarkannya menjadi apa yang dia mau, mungkin akan membuatnya jauh lebih bahagia. Daripada ia mengungkapkan perasaan yang selama ini telah lama ia pendam.

**

Hari berganti, keduanya lulus kuliah. Gandi tidak lagi menemui Nolly sperti dulu. Ia lebih menjaga jarak dan larut dalam kesibukan barunya.

Tiga tahun berlalu, Gandi semakin sukar dihubungi. Ada rasa kehilangan yang teramat besar dalam hati Nolly. Tidak ada lagi Gandi yang selalu mendengarkan cerita dan kisah pilunya. 

Belakangan, ia mendengar kabar, bahwa Gandi sudah bekerja dan akan segera menikah. Entah kenapa, ada perasaan sakit di hati Nolly. Entah itu perasaan iri, cemburu atau entah apa. Gandi yang tidak pernah pacaran tiba-tiba menemukan jodohnya. Sementara dirinya memiliki banyak pacar, tidak satu pun yang mengajaknya ke jenjang yang lebih serius. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun