"Maksudmu apa? Lelaki mana yang harus aku percayai? Semuanya selalu mengecewakan aku," kalimatnya terbata-bata. Tangisnya belum juga reda.
"Ada banyak lelaki yang mencintai perempuannya tanpa harus mengecewakan," Gandi mencoma menstabilkan kembali emosinya. "Nolly, cinta adalah menjaga. Termasuk menjaga kedamaian hati dan kebahagiaan orang yang kita cintai."
"Kamu tahu apa tentang cinta? Selama aku kenal sama kamu, aku belum pernah sekalipun mendengarmu jatuh cinta. Jadi, tahu apa kamu soal cinta?"
"Aku memang awam. Namun aku mohon, berhentilah menangisi lelaki itu!"Â
Nolly menatap Gandi dengan penuh kebencian. Sahabatnya yang selama ini dianggap paling pengertian, hari itu begitu tidak menyenangkan baginya.
"Aku benci sama kamu!" ujar Nolly dengan nada bicara yang tinggi.Â
Gandi diam. Kalimat Nolly cukup menyakitkan. Ingin rasanya ia berteriak sekencangnya, bahwa dirinyalah yang jauh lebih menyayangi Nolly daripada laki-laki yang selama ini sering menyakiti. Dirinyalah yang selalu jatuh cinta kepada Nolly. Bukan yang lain.
Namun kalimat itu lagi-lagi tertahan. Seperti biasa, ia memilih bungkam dan mengungkapkan perasaannya dalam doa-doa. Berharap Tuhan menggetarkan hati gadis itu, atau, Tuhan memberikan pengganti yang jauh lebih baik serta menyisipkan rasa ikhlas dalam hatinya untuk melupakan Nolly, jika perempuan itu memang bukan jodohnya.
Caf tempat mereka bertemu hari itu tidak terlalu ramai. Hari mulai petang. Gandi beranjak dari hadapan Nolly.
"Mau kemana kamu?" tanya Nolly yang masih sesenggukan.
"Lebih baik aku pergi. Percuma aku ada di sini, tidak memberikan manfaat bagimu," kalimatnya datar tetapi penuh dengan kesungguhan.