Bahu Alia berguncang, ia menangis sesenggukan.
Julian merasa kikuk, beruntung pengunjung kedai tidak banyak saat itu.
"Al, ... aku mohon, maafkan aku. Aku memang tidak siap jika harus meninggalkan istriku. Ini semua demi anak-anakku." Sesaat kemudian Julian meneysal telah melontarkan kalimat itu. Ia sadar, jika itu akhirnya hanya akan memperburuk keadaan perasaan Alia.
"Ok, aku sudah paham." Tangis Alia perlahan mulai mereda.
Bayangan tentang perlakuan ayahnya terhadap sang ibu dulu tergambar semua. Ia melihat sosok sang Ayah pada diri Julian. Lelaki itu telah menyakiti istrinya, dan dirinya sendirilah yang menjadi penyebabnya. Dalam keadaan itu, Alia mulai tidak bisa menerima dirinya sendiri. Kestabilan jiwa Alia yang selama ini terjaga, kembali terganggu.
Istriya Julian di rumah pasti sudah sangat menderita karena mengetahui suaminya selingkuh. Hatinya pasti koyak, sebentar lagi depresi melanda. Batin Alia.
Entah apa yang merasuki hati dan pikiran Alia. Kemudian, "aku tidak akan membiarkan istrimu hidup, atau mati menegak racun karena menahan kecewa terhadapmu Julian,"
"Maksudmu apa?" Julian tidak pernah menyangka jika Alia yang selama ini dikenalinya sebagai perempuan paling santun dan sabar begitu berapi-api.
"Aku tidak mau kecewa. Kamu harus menjadi suamiku. Akan aku bantu istrimu mengakhiri hidupnya secepat mungkin," Kalimatnya terlihat tidak main-main.
Alia beranjak dari tempat duduknya. Julian berusaha menahan.
"Lepaskan aku!" Alia menepis keras tangan kekasihnya. Lalu berlari menembus hujan yang turun semankin deras.