"Beri aku waktu."
Sejak saat itu, hari-hari Alia dipenuhi dengan semua tentang Julian. Tekadnya mulai bulat, akan mengakhiri masa lajang dengan lelaki itu. Walaupun ia harus berbagi suami dengan perempuan lain, tidak mengapa. Hatinya telah memilh, bahwa Julian lah yang membuat dirinya merasa utuh walaupun lelaki itu kelak hanya akan memberinya separuh.
Hari-hari dalam hidup Alia semuanya untuk Julian. Apa yang tidak Julian sukai ia tingggalkan, dan apa yang membuat Julian merasa senang, Alia akan mengusahakannya sebisa mungkin. Ia benar-benar belajar bagaimana menjadi istri yang patuh untuk Julian. Agar ketika saatnya menikah itu tiba, ia tidak lagi harus belajar banyak. Sebesar itulah pengaruh Julian dalam hidupnya.
Sampai suatu hari, kenyataan pahit itu pun tiba.
"Al, ada yang ingin aku bicarakan." Nada bicara Julian sangat serius. Ia melucuti jas dan diletakannya di atas punggung kursi tempatnya duduk.
Hari itu mereka bertemu di sebuah kedai bakso sekitar kampus.
"Apa?" dengan mimik muka yang sumringah Alia menyambut kalimat calon suaminya itu.
"Maafkan aku." Julian menghela napas panjang. Wajahnya lesu.
"Ada apa?" mimik wajah Alia seketika ikut berubah. Muram. Ada kecemasan tergambar di sana. Ia tak sabar menanti kalimat berikutnya dari mulut sang kekasih.
"Aku sudah bicara dengan istriku," Julian menatap gadisnya dalam-dalam. Sungguh ia ingin menemukan kalimat yang paling tepat untuk menyampaikan kalimat berikutnya. Sangat berat dan tak sanggup ia katakan.
Alia diam, menahan napas. Berharap kalimat lanjutan segera meluncur dari lisan Julian.