Mohon tunggu...
Diana Tutut
Diana Tutut Mohon Tunggu... Petani - Haii

Numpang ngombe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sedayu Biru

23 Desember 2017   13:54 Diperbarui: 23 Desember 2017   13:57 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terbentang luas semakin menampaki sepertengah dua di ujung perbatasan, diantaranya langit dan laut yang terpisah garis tipis menyatu menjadi warna kebiruan. Ombaknya telah melebur bersama pasir, serpihan cangkang, koral dan batu karang. Terbawa arus mampir sebentar dipinggirkan dan terpental. Lalu, kembali dalam hitungan menit datang dan membasahi lagi.

Pada sedayu biru. Jika sang bayu telah mengkoyakan, dimanakah  arah berlabuh pasti perahu kehilangan arah bertepi. Bukan? sama seperti Siti Zulaikah, kata orang dia sering berjalan sendiri menampaki  bibir pantai di sini. Hingga, aku mendengar  kabar "Siti Zukalaikah hilang lagi!"

Ku jajaki setiap persinggahan yang sering ia kunjungi. Pada akhirnya, di tempat ini  aku berdiri. Riuh fikiran mencoba melepaskan dari kebuntuan dari kekosongan.

"Cepatlah kembali!"  suara hati merintih. Memohon

"Sudah berapa sering kau kesini Siti? Pasti kau bosan  hanya menatap puluhan kapal terapung, berserakan dan bau ikan asin terjemur hingga kering" batinku.

" Mungkinkah dia tinggal disana?"  pandanganku  kacau  kearah timur pulau merah   tak berpenghuni. Terbelesit sesaat menjemputnya dengan perahu dayung.

"Ah..mana mungkin dia pergi di pulau itu" pikirku lelah. Ngelantur

"Setiap persimpangan jalan  orang-orang berpapasan bercerita, berbagai isu menyebar luas di penjuru desa sampai penjuru desa tetangga. Kabarnya ada yang mengatakan :

"Siti Zulaikah terbawa gelombang laut di malam hari"

"Siti Zulaikah minggat bersama selingkuhanya"

" Siti Zulaikah bla...bla...bla..." ku tutup telinga rapat-rapat.  Aku tak percaya omongan mereka.

>>>

Sudah empat hari, lagi-lagi aku berjalan di bibir pantai. Bernostalgia kembali bersama enam tahun lamanya. Hingga,  setiap jejak telapak kaki  semakin menyudutkan perasaan  hilang. Mendalam. Tersapu bersama riakan gelombang dan membekas  akhirnya kandas. Ku ingat kalimat itu Siti Zulaikah

 " Hari esok kau pasti kembali berjumpa bersama seseorang disini" kenangku.

Mulai dari  itu, aku selalu rindu pada sedayu biru. Tak lama kemudian terdengar seseorang  memanggilku dari belakang.

"Firman.. Firman" berlari menghampiriku

" Iya ada apa?" 

"Dadang !.. Ini aku temanmu" bola mataku tebelalak mencoba mengingat wajah lelaki itu.

" Ini Dadang?...  benar Dadang?"  aku masih ragu.

 "Iya aku Dadang" mimik wajah menyakinkan.  Setelah itu, kami  tertawa terbahak-bahak  dan meranjak duduk berteduh di pohon kelapa yang cukup rindang.

 "Sudah tiga hari aku melihatmu disini, ku ingat-ingat bocah itu. Sepertinya kenal tapi ragu menyapanya. Ternyata betul kau firmansyah kawan SD ku dulu"

"Kenapa kau ragu menyapaku?" tanyaku

 " Aku kira, kau orang tak waras. Mondar-mandir gak jelas di bibir pantai" candanya.

" Banyak berubah kau setelah tinggal di Ibukota"

" Iya kau juga banyak perubahah Dang"

" Iya beginilah. Makin hitam saja kan?"

"Haha...Kenapa gak pergi merantau ?" tanyaku

"Mau jadi apalagi,  cari kerja susah"  jawabnya. Hampir 30 menit lamanya kami berbincang-bincang panjang, bercengkrama dengan sahabat lama.

"Rindu kah kau padanya Fir, pada Siti Zulaikah?"  suasana berubah menjadi hening mencekik- pekik.

"Sungguh Siti Zulaikah yang malang. Beban hidup seakan membuat tubuhnya tak bernyawa lagi, tak semangat. Murung. Bahasa apalagi yang dikatakan Dadang, dia menambah  perasaan menjadi pilu kalbu. Aku terdiam mendengarnya

 "Seperti lagu saja kisahmu. "Ku pergi kau kembali"  lirik lagu berjudul Harus Berpisah, Cakra Khan. Ia nyayikan tersendat-sendat nyaring suaranya. Fals

"Mana bisa! Kau potong lagu itu, disambung-sambunkan. Beda cerita Dang"  suasana menjadi cair. Lelaki berambut kriting itu pandai menghibur.

" Ku dengar dia berpisah dengan suaminya, itu alasanku kembali Dang"  curhatku.

"Masih berharap kau padanya Fir? Iya, sungguh tega suaminya. Dia bawa pergi anak perawan meninggalkan Siti tanpa kabar. Dasar si penikung, hidung belang" hujatnya.

" Sudah dua kali dia minggat, kau tau arah minggatnya kemana Dang?" Dadang membisu

"Dulu, dia ingin merantau bersekolah tinggi  mengikutiku. Masih ingatkah kau? Di tempat ini Siti Zulaikah selalu berkicau tentang pengharapan, pencapaian dan kebebasan di masa depan" lanjutku

" Iya. Karena  di paksa orang tuanya menikah sama  anaknya pak Mamat juragan ikan. Dia nekat minggat. Sayangnya, baru satu hari sembunyi kepergok di rumah ririn. teman sekampungnya.

"Tak habis pikir aku Dang, kenapa dia suka sekali  minggat" tanyaku heran

"Itu karena Siti tak pernah dihargai. Dia selalu mengikuti arah yang sebenarnya bukan kehendaknya. Aku tau bagaimana nasipnya ".

"Seperti apa nasipnya?"  memotong kalimatnya

"Bagaimana bisa orang tuanya meminta Siti mempertahankan rumah  tangganya. Padahal mereka tahu kelakuan si Abdul seperti apa. Tapi Siti kuat menerima, menutupi nama baik keluarga. Hingga, sekarang merasakan malu yang begitu keras menamparnya.

"Kau pasti  tau dimana dia minggat Dang?" tuduhku.

"Tak tau aku" menyingkurkan wajahnya. Menunduk

"Percayakah Dang? Perasaanku masih sama, masih mengharap dan menunggunya, Setidaknya, aku ingin mengetahui bagaimana keadaanya Dang"

Tiba-tiba, Dadang  berjalan kedepan mengendap-endap pelan. Kepalanya menengok ke kanan, ke kiri. Setelah itu dia mengatakan:

"Siti Zulaikah, berada di kota Bali" jawabnya.

" Jadi selama ini kau yang  menyembunyikan?"

"Aku kasihan Fir, dia selalu menelusuri bibir pantai setiap hari. Pernah aku melihatnya sedang  menangis, wajahnya sendu memandangi ke arah pulau merah itu. Suatu hari, dia datang meminta bantuan. Lalu subuh pagi ku sebrangkan  lewat Selat Bali. Ku berikan alamat rumah temanku  agar dia bekerja disana, tinggal sementara" jelasnya

" Antarkan aku sekarang Dang"

" Jangan sekarang Fir, orang-orang akan curiga pada kita. Kau tak takut bapaknya preman? Mau nasipmu seperti Syamsul Bahri" celetus Dadang mengkaitkan kisahku seperti  kekasih Siti Nurbaya.

"Kau mungki tak mempedulikan, tapi bagaimana nasibku" dia mempertimbangkan

"Jadi kapan kita pergi?"

"Esok subuh datanglah di Selat Bali" aku mengangguk

"iya" jawabku singkat.

>>>

Terlihat jelas Selat Bali dari pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Panorama pulau terlukis hitam kabur diatas bukit tinggi. Gelap masih menguasai seperempat subuh pagi, semilir angin begitu usil hingga sekujur tubuh mengigil. Beku. Bukan hanya sekujur tubuh tapi segalanya menjadi beku.

"Ayok" ajak Dadang, aku mengikuti dari belakang. Dia menjulurkan tanganya sebagai tanda, langkahnya di atur kadangkala dipelankan kemudian dipercepatkan.

" Kau takut Dang?" tanyaku penasaran

" Kalau pak Mamat tahu, aku  menyembunyikan mantunya. Ku jual kemana lagi  ikanku" wajahnya resah

"Segitunya Dang?" kita beranjak menaiki kapal Ferry duduk di dekat tingkat kedua. Sepanjang perjalanan pulau Jawa berangsur - angsur menjauh. Sedangkan, Dadang seperti terkena penyakit sariawan. Ku pancing -- pancing pembicaraan dia hanya menjawab sekedarnya, lalu membisu lagi. Hingga jam 9 pagi kita sampai di sebuah desa.

" Tok..tok..tok...Assalamu'alaikum" Kita mengetuk pintu

"Wa'alaikumsalam..... Dadang?" Terlihat kaget wajah Siti Zulaikah.

" Siti kau ingat siapa dia" Tanya Dadang  spontan, matanya menatapku sekejap seakan  mempertanyakan.

"Aku Firmansyah Siti"  garis alis tipisnya tiba-tiba berubah. Dia terdiam

" Siapa Siti? seorang perempuan keluar dari dalam rumah

" Aku ada perlu sama kau Rina" sahut Dadang

" Ada apa?" ajak dadang menarik tanganya pergi.

" Ada perlu apa kau disini Firman?" tanyanya pelan

"Ayok kembali di desa Sumber Agung Siti"

"Pergilah, aku ingin memulai lembaran baru disini"

" Orang tuamu mencarimu"

" Tidak Firman aku ingin tetap disini, membangun toko kue dan membesarkan namanya dengan usahaku.

" Kau masih sama seperti dulu, mengejar harapanmu ?" aku tersenyum tipis padanya

" Sudah lama aku takut pada pengharapan Fir"

" Ayok kita bangun bersama pengharapan 6 tahun lalu? bujuk ku

" 6 Tahun, aku tak ingin mengingatnya. Pergilah!"

" Kau berubah jadi kasar Siti Zulaikah"

" Kau tau itu" Dia meneteskan air matanya

" Aku sudah tak menyakini pengharapan itu, terlalu malu" Katanya

"Aku akan mengatakan pada orang tuamu, meminta restu padanya"

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin kita hidup bersama"

"Bagaimana jika orang tua ku menolak?"

" Aku akan tetap tinggal di sana menjadi nelayan. Hidup sebatang kara."

"Kau terlalu gila Fir, Pergilah!" Dia menutupi derai air matanya. Lalu masuk dan mengunci pintu meninggalkanku.

" Ayoklah kita pulang bersama Siti" ibaku. Suara tangis terdengar di balik pintu.

"Iya aku akan menjadi orang gila disana. Menunggumu!"  seruku

>>>

Empat tahun lamanya, sepertinya masyarakat desa telah melupakan sosok Siti Zulaikah yang menghilang. Orang tuanya pasrah, mereka berduka penuh sesal. Sedangkan, aku dan  Dadang  bekerja keras menjadi nelayan. Banyak perubahan di desa ini. Semua orang tak mengantungkan  hasil tangkapanya pada juragan  Mamat. Aku membuka usaha pengepulan Ikan dan kadangkala ikut dadang  melaut. Sekedar melampiaskan  penat, melapiaskan perasaan, Meleburkan hati yang kacau tak karuan.

Suatu senja,  lagi-lagi aku berjalan di bibir pantai. Bernostalgia kembali bersama sepuluh tahun lamanya. Hingga, setiap jejak telapak kaki semakin menyudutkan perasaan  hilang. Mendalam. Tersapu bersama riakan gelombang dan membekas akhirnya kandas. Ku ingat kalimat itu Siti Zulaikah " Hari esok kau pasti kembali berjumpa bersama seseorang disini" kenangku. Mulai dari  itu aku selalu rindu pada sedayu biru. Tak lama kemudian terdengar suara perempuan memanggil.

"Firman" tersenyum lembayung berwajah putih segar, menyapaku

"Siti Zulaikah, benarkah kau kembali?

" Iya aku kembali bersama pengharapan" jawabnya    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun