HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT BAHASA BIASA GILBERT RYLE DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Diana Tri Widarti
Vera Sardila
Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
ABSTRAK
Filsafat bahasa merupakan salah satu gerakan pemikiran yang tidak dapat diabaikan dalam berbagai solusi atas permasalahan kehidupan manusia. Salah satu pemimpin filsafat bahasa adalah Gilbert Ryle, yang pemikirannya mempengaruhi banyak pemikir. Namun, signifikansi pemikiran Gilbert Ryle tidak dipelajari di Indonesia seperti orang-orang sezamannya seperti Ludwig Wittgenstein dan JL Austin.Â
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pemikiran Gilbert Riles tentang konsep bahasa biasa dan untuk menyajikan hubungannya bagi pendidikan karakter di Indonesia. Penulisan ini perlu dilakukan untuk menguji efektivitas pemikiran Gilbert Roe dalam memecahkan salah satu masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Penelitian ini adalah sejenis penelitian kepustakaan. Metode hermeneutis akan digunakan untuk menganalisis ide-ide filosofis Gilbert Ryle tentang konsep bahasa biasa dan untuk memahami relevansinya dengan pelatihan karakter dengan pendidikan karakter di Indonesia.Â
Hasil dari penelitian ini adalah tugas filsafat Gilbert Ryle adalah menganalisis bahasa menurut bahasa sehari-hari atau bahasa biasa. Penting untuk membedakan antara pernyataan yang bermakna "capaian" (achievement) dan pernyataan yang bermakna "tugas" (task). Juga harus dibedakan antara pernyataan yang mengandung makna disposisi (dispositional statement) dan pernyataan yang mengandung makna peristiwa perticular (occasional/episodical statement). Mekanisme pembedaan semacam ini adalah cara untuk menghindar dari kegalatan kategori. Bertitik tolak dari sinilah pemikiran Gilbert Ryle bisa memberikan sumbangsih berarti bagi pendidikan di Indonesia melalui analisis terhadap konsep pendidikan karakter di Indonesia.
Kata kunci:Â Konsep Bahasa Biasa, dan Pendidikan Karakter
PENDAHULUAN
Filsafat bahasa biasa adalah salah satu aliran filsafat analitik yang muncul pada abad ke-20. Aliran ini menekankan pentingnya analisis bahasa sehari-hari dalam memahami berbagai konsep dan fenomena. Salah satu tokoh penting dalam filsafat bahasa biasa adalah Gilbert Ryle. Ryle berpendapat bahwa tugas filsafat adalah untuk menganalisis bahasa sehari-hari dan menjernihkan makna dari konsep-konsep yang digunakan dalam bahasa tersebut. Ia mengkritik filsafat tradisional yang menurutnya terlalu abstrak dan tidak memperhatikan konteks penggunaan bahasa.
Pendidikan karakter merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan bangsa. Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter mulia, yaitu manusia yang memiliki nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian sosial. Pendidikan karakter di Indonesia telah menjadi salah satu prioritas pemerintah. Hal ini terlihat dari dimasukkannya pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan nasional.Â
Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pendidikan karakter adalah terjadinya kesalahpahaman dalam memahami konsep-konsep karakter. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan bahasa yang tidak tepat dalam menjelaskan konsep-konsep karakter. Dari sinilah muncul pertanyaan penulis tentang bagaimana konsep karakter dan konsep bahasa biasa Gilbert Ryle? serta bagaimana  pendidikan karakter dan filsafat bahasa Gilbert Ryle?
Dalam konteks ini, filsafat bahasa biasa dapat memberikan sumbangsih yang berarti bagi pendidikan karakter di Indonesia. Filsafat bahasa biasa dapat membantu untuk menganalisis bahasa sehari-hari yang digunakan dalam pendidikan karakter.Â
Dengan demikian, dapat dihindari terjadinya kesalahpahaman dalam memahami konsep-konsep karakter. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengkaji hubungan antara filsafat bahasa biasa Gilbert Ryle dengan pendidikan karakter di Indonesia. Artikel ini akan membahas tentang pemikiran Ryle tentang bahasa sehari-hari dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia. Â Â Â
PEMBAHASAN
A. Konsep Karakter dan Konsep Bahasa Biasa Gilbert Ryle
Karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin "charakter", yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Maka pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah system yang menamkan nilai kepada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melakasanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia (Aumillah, 2011: 18).Â
Menurut Tazkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). Dalam KBBI, karakter diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan lainya, dan dapat pula diartikan watak. Karakter dalam bahasa Indonesia adalah sebuah kata benda (Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008: 628), dengan demikiran kata karakter ini harus dibikin menjadi kata kerja agar operasionalisasi analisis menggunakan konsep-konsep Gilbert Ryle bisa dilanjutkan. Kata karakter harus diubah menjadi kata kerja, yakni berkarakter.Â
Dalam analisis Ryle, harus dibedakan antara pernyataan yang menunjukkan suatu pencapaian (achievement atau success statements) dan pernyataan yang menunjukkan suatu tugas (task statements) (Ryle, 2009a: 131). Pembedaan task dan achievement stantements serta occasional/episodic dan dispositional statements bukanlah klasifikasi linguistik semata. Gilbert Ryle melakukan pembedaan ini setelah menganalisis konsep-konsep aktivitas mental dalam penggunaannya sehari-hari.
Menganalisis kata berkarakter dengan menggunakan pembedaan harus dilakukan dalam penggunaannya sehari-hari, bukan sebagaimana terdapat dalam kamus atau tata aturan linguistik bahasa. Pertama, kata berkarakter dalam pernyataan "anak itu berkarakter buruk" apakah pernyataan okasional (occasional statement) ataukah disposisional (dispositional statement)? Kenyataannya, kata kerja berkarakter dalam penggunaannya yang sehari-hari tidak menunjukkan suatu tindakan konkret tertentu. Singkatnya, pengertian pernyataan "anak itu berkarakter buruk" berarti anak itu tidak bertindak religius, suka berbohong, bersikap intoleran terhadap minoritas, pemalas, dan seterusnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kata kerja berkarakter tergolong ke dalam kata kerja disposisional (dispositional verbs) murni. Tambahan 'murni' di sini dimaksudkan bahwa kata kerja ini tidak memiliki aspek okasionalnya dalam dirinya sendiri. Dalam penggunaan sehari-hari, tidak ada tindakan konkret yang ditunjuk oleh kata berkarakter. Seseorang disebut berkarakter karena adanya suatu sifat intrinsik di dalam dirinya. Persis seperti disposisi ‘larut’ dalam pernyataan ‘gula itu larut dalam air panas’.Â
Ketika harus ditunjuk kegiatan apakah itu berkarakter, artinya di mana aspek occasional verbs-nya, tindakan konkret terhadap nilai-nilai turunan itulah jawabannya. Tapi tindakan-tindakan konkret terhadap nilai-nilai itu dalam penggunaan sehari-harinya tidak disebut sebagai kegiatan berkarakter. Seseorang yang ucapannya selalu tidak sama dengan tindakannya disebut sebagai ‘berbohong’, seseorang yang mengucilkan temannya karena beda agama disebut ‘bersikap intoleran’, orang yang enggan-engganan bekerja disebut sebagai ‘bermalas-malasan’, dan seterusnya. Semua itu adalah occasional verbs, namun peristiwa-peristiwa konkret tak disebut sebagai berkarakter buruk, melainkan ‘berbohong’, ‘bersikap intoleran’, ‘bermalas-malasan’, dan seterusnya.
Pembedaan task dan achievement statements menurut Gilbert Ryle lebih mudah dilakukan terhadap konsep karakter. Tidak diragukan lagi bahwa pernyataan "anak itu berkarakter baik" adalah suatu achievement statement sebab kata 'berkarakter baik' adalah frasa yang mensyaratkan beberapa tindakan tertentu untuk mencapainya. Tindakan-tindakan untuk mencapai 'berkarakter baik' itu tidak lain adalah nilai-nilai turunan dari konsep karakter itu sendiri, seperti religius, toleran, jujur, pekerja keras, kreatif, dan lain sebagainya.
B. Pendidikan Karakter dan Filsafat Bahasa Biasa Gilbert Ryle
Bagi seorang guru, mendidik ada kalanya berarti 'mengajar' dan juga 'melatih'. Gilbert Ryle menganalisis dua konsep itu dalam artikelnya, Teaching and Training (Ryle, 2009c: 464-478). Menurut Gilbert Ryle, 'mengajar' berarti mengajarkan anak didik tentang sesuatu, teaching that, sedangkan 'melatih' berarti mengajarkan anak didik bagaimana melakukan sesuatu, teaching how to. Mengaburkan dua pengertian dasar ini akan mengacaukan konsep pendidikan itu sendiri.
Seorang guru yang sedang 'mengajar' kepada murid muridnya, artinya teaching that, berarti memberitahukan mereka mengenai fakta-fakta atau informasi-informasi tertentu, misalnya bahwa Perang Jawa terjadi pada tahun 1825 sampai 1830, atau bahwa Manila adalah ibu kota Filipina. Para muridnya dianggap berhasil belajar jika mereka bisa mengulang informasi-informasi itu dengan tepat di ujian kelas. 'Melatih' atau teaching how to punya ciri berbeda. Seorang guru melatih murid-muridnya belajar bersepakbola atau badminton bisa jadi memberitahukan proposisi-proposisi tertentu untuk diingat oleh para muridnya, tapi ukuran keberhasilan ditunjukkan di dalam permainan sepakbola dan badminton. Murid-muridnya dianggap menguasai pelajaran jika mereka bisa menunjukkan permainan itu dengan bagus dalam suatu pertandingan.Â
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan suatu teaching how to atau pelatihan adalah pengulangan berkali-kali. Tujuan akhirnya adalah menjadi seorang ahli, katakanlah, di bidang olahraga sepakbola atau badminton. Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan suatu teaching how to atau pelatihan adalah pengulangan berkali-kali. Pengulangan berkali-kali ini kerap diistilahkan dengan pembiasaan (habituation) dalam etika Aristotelian.
Adapun pendidikan karakter di Indonesia, apakah konsep itu termasuk aktivitas teaching that ataukah aktivitas teaching how to? pendidikan karakter adalah upaya sadar menanamkan nilai-nilai ke dalam jiwa seseorang. Seorang guru bisa menjelaskan secara panjang lebar di ruang kelas mengenai apa itu nilai Patriotisme misalnya, membeli produk-produk dalam negeri, belajar kesenian lokal, dan lain sebagainya. Guru itu, dengan menjelaskan semua itu secara terperinci, berarti sedang menerapkan pendidikan karakter sebagai teaching that.
Namun tampaknya pendidikan karakter di Indonesia tidak memadai untuk diterapkan sekadar sebagai suatu teaching that sebab puncak dari pembelajaran seperti itu hanyalah kemampuan para anak didik mengutip ulang informasi-informasi yang telah diberikan oleh gurunya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter tentu bukan kemampuan menangkap dan menghapal proposisi-proposisi yang diberikan oleh guru atau yang tertera di buku ajar, melainkan terbentuknya kualitas-kualitas tertentu di dalam diri anak didik yang akan menuntunnya pada perbuatan-perbuatan tertentu.
Pendidikan karakter adalah sebentuk pengajaran yang bertipe teaching how to, yaitu suatu pelatihan agar anak didik punya keterampilan dan kecakapan untuk melakukan dan berbuat sesuatu. Seorang guru yang hendak menempa karakter anak didiknya pun harus mengawasi dan menjamin agar nilai-nilai yang hendak ditanamkan bisa diterapkan oleh anak didiknya secara berulang-ulang. Seorang anak didik yang berpengalaman menerapkan nilai patriotisme, misalnya, akan dengan sendirinya menjadi lebih ‘mahir’ dan ‘cakap’ berperilaku patriotis dan, dengan demikian, menjadi pribadi yang berkarakter. Semakin berulang-ulang peristiwa penerapan nilai patriotisme itu oleh anak didik, semakin berkarakterlah dia. Hal ini menandaskan bahwa orang yang berkarater baik sebetulnya adalah orang yang 'sangat terlatih' (well-trained) dalam menerapkan nilai-nilai baik itu.
Apa yang tidak bisa diabaikan dari model teaching dan learning how to adalah "metode", yaitu perihal teknik, modi operandi, tata aturan, kanon-kanon, prosedur-prosedur, atau kiat-kiat tertentu. Sebagaimana kata Gilbert Ryle sendiri, "Teaching people how to do things just is teaching them methods or modi operandi" (Ryle, 2009c: 473).Â
Metode adalah cara melakukan sesuatu. Metode memiliki pengertian 'general' dalam dua arti. Pertama, 'general' itu berarti bahwa cara melakukan sesuatu itu. Sebuah metode adalah properti publik, dalam artian bahwa modus operandi itu bisa dilakukan oleh banyak orang, meskipun tindakan tertentu yang berdasarkan metode itu tetaplah tindakan per individu, yakni tindakanku atau tindakanmu dan seterusnya. Kedua, 'general' itu berarti bahwa tidak ada batasan mengenai tindakan yang mungkin dilakuan menurut cara melakukan sesuatu. Sebuah metode bisa diterapkan di manapun, kapanpun dan oleh siapapun.
Seseorang anak didik yang menangkap metode yang dikasih tahu oleh gurunya dan bertindak melalui arahan-arahan metode tersebut di kemudian hari tidak perlu tuntunan dan pengawasan sang guru sebab dia sudah mendapat pengertian mengenai bagaimana dia seharusnya bertindak. Hal ini juga berlaku dalam konteks pendidikan karakter di Indonesia. Oleh sebab mengajarkan karakter kepada anak didik adalah sebentuk teaching how to, maka tak pelak seorang guru sebetulnya menawarkan metode-metode atau cara-cara tertentu kepada para anak didiknya untuk menuntun mereka dalam bertindak. Nilai-nilai pendidikan karakter sebagaimana dirumuskan oleh pemerintah, misalnya, musti disampaikan kepada para anak didik sebagai suatu kerangka operasional dalam bertindak.Â
Nilai-nilai yang hanya disampaikan secara deskriptif-proposisional, artinya disampaikan dalam model teaching that, tidak akan memberi dampak signifikan dalam pembentukan karakter anak didik sebab karakter adalah sesuatu yang sebagaimana dijelaskan di atas dengan menggunakan istilah Gilbert Ryle sifatnya dispositional dan achievement. Pembentukan disposisi dan pemenuhan tujuan tertentu memerlukan pengulangan berkali-kali dan pembiasaan yang penuh disiplin. Langkah untuk melakukannya tentu membekali anak didik dengan suatu metode, tidak bisa lain.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab untuk memperjelas konsep pendidikan karakter di Indonesia ini adalah bagaimana seorang guru mengajarkan metode atau cara melakukan sesuatu kepada para anak didiknya? Apalagi ini adalah urusan nilai-nilai, metode apakah yang musti diajarkan agar nilai-nilai itu terserap dalam batin para anak didik? Tidak mudah  menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Hal ini karena beragamnya nilai yang harus diajarkan menuntut cara-cara pengajaran yang berbeda-beda pula. Selain itu, setiap guru punya cara-caranya masing-masing dalam melakukannya, para anak didik juga punya kapasitas yang bermacam-macam pula untuk menangkap dan menyerap proses pembelajarannya terhadap karakter tertentu.Â
Semua keragaman ini menjadikan pertanyaan-pertanyaan di atas sulit dijelaskan satupersatu. Hanya saja, satu hal yang tidak boleh diabaikan untuk menjawab pertanyaan di atas, yakni bahwa anak didik harus melakukan sendiri entah karena didorong oleh tekanan, kepentingan, ambisi ataupun kesadarannya—nilai-nilai yang hendak mereka serap itu.
Setiap teaching atau learning how to haruslah pernah dipraktekkan oleh anak didik agar tujuan mereka memperoleh kecakapan dan kemahiran tertentu bisa tercapai. Sebutlah contohnya kemahiran menari, memasak, dan berpidato, semuanya bisa dikuasai oleh para anak didik dengan memulainya dari mempraktekkannya sendiri di luar instruksi langsung dari guru. Tak terkecuali juga penyerapan dan penanaman nilai-nilai, seorang anak didik harus mengusahakannya dari praktek langsung di lapangan di luar instruksi gurunya.
Paparan di atas menunjukkan suatu salah satu persoalan serius dalam pendidikan karakter di Indonesia, yakni bahwa meskipun pendidik karakter mengajarkan sesuatu kepada anak didiknya, namun tindakan menerapkan nilai-nilai sepenuhnya milik anak didik. Seorang pendidik bisa saja mengajarkan apa itu karakter berikut nilai-nilainya dan mengajarkan bagaimana menerapkannya dengan metode tertentu, namun semua tindakan berdasarkan nilai-nilai itu sepenuhnya berada di tangan para anak didiknya. Keputusan untuk menerapkan betul-betul nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan nyata tetap berada di tangan anak didik, tak peduli seberapa gencar seorang guru melancarkan pengajarannya.Â
Di sinilah batas-batas yang dimiliki seorang guru dihadapan para anak didiknya dalam konteks pendidikan nilai-nilai. Seorang pendidik karakter hanya mampu mengantarkan para anak didiknya di depan pintu nilai-nilai kebaikan, sedangkan keputusan untuk membuka pintu itu dan memasukinya terletak kepada keputusan para anak didiknya. Keputusan mereka ditentukan oleh beragam faktor selain sekolah.Â
Dengan demikian, aspek keputusan anak didik untuk menerapkan dan menghidupi nilai-nilai itu menjadi aspek tak terpisahkan dalam pendidikan karakter. Bukan tidak mungkin bahwa arahan dan instruksi guru mengenai karakter yang baik akan menghasilkan seorang anak didik yang berkarakter buruk sebab keputusan yang dia ambil dalam kehidupan sehari-harinya adalah kebalikan dari arahan dan instruksi itu.
Inilah kenapa Doni Koesoema (Koesoema, 2007: 104) menekankan aspek internal dari seseorang dalam mendefinisikan karakter. Menurutnya, aspek antropologis manusia tidak menentukan segala-galanya, melainkan hanya menyediakan kemungkinan agar manusia bisa mengembangkan potensi-potensinya. Justru aspek kebebasan manusialah yang menjadikan proses internal manusia mampu mendorongnya untuk senantiasa mengatasi kekurangan dan kelemahan dirinya.
KESIMPULAN
Indonesia sudah memutuskan untuk menerapkan pendidikan karakter sejak tahun 2010 sebagai implementasi dari UU Sisdiknas No. 10 tahun 2003. Langkah ini merupakan babak baru dalam perkembangan pendidikan nasional. Pendidikan Karakter berarti mengajarkan dan belajar nilai-nilai dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Namun tak bisa dimungkiri bahwa konsep pendidikan karakter itu sendiri masih menyimpan problem di beberapa seginya. Salah satu problem itu adalah kekaburan konsep karakter dan pendidikan karakter.
Oleh karena itulah, filsafat Gilbert Ryle mendapatkan relevansinya di sini. Sebagaimana dikatakan oleh Ryle, filsafat yang bertugas untuk mengurai dan memperjelas konsep-konsep akan sangat berguna jika digunakan untuk menyelesaikan problem kebijakan pendidikan karakter ini. Pertama, kata karakter dalam pendidikan karakter selalu diungkapkan dalam achievement statement dan dispositional statement sehingga kekeliruan mendiagnosa hal ini kerap menjerumuskan penggunanya ke dalam kegalatan kategori.
Implikasinya, setiap pengujaran kata karakter dalam seminar-seminar atau dalam rumusan-rumusan kebijakan kerap terjebak dalam kekaburan makna. Kedua, pendidikan karakter harus dimengerti sebagai teaching/learning that sekaligus sebagai teaching/learning how to. Anggapan bahwa pendidikan karakter hanyalah mencakup aspek teaching that dalam suatu proses pendidikan jelas merupakan kegalatan kategori. Jika kegalatan kategori ini dipertahankan, akibatnya tidak hanya akan mengacaukan proses pendidikan nasional, namun juga akan menggagalkan upaya melahirkan generasi yang berkarakter.
DAFTAR RUJUKAN
Cottingham, John, 1996, Western Philosophy; An Anthology, Blackwell Publishers Inc., Oxford.
Descartes, Ren, 1996, Meditations on First Philosophy, Terj. John Cottingham,, Cambridge University Press, Cambridge.
Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Cultures: Selected Essays, Basic Books, New York.
Koesoema, Doni, 2007, Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Grasindo, Jakarta.
Mustansyir, Rizal, 2012, "Dimensi Tanda Dalam Perspektif Filsafat Analitik Ludwig Wittgenstein Dan Pengaruhnya Dalam Tanda Kontemporer", Jurnal Filsafat Vol. 22 No.1 2012, Fakultas Filsafat, Yogyakarta.
Ryle, Gilbert, 2009a, The Concept of Mind, Routledge, London, 2009b, Collected Papers Volume I; Critical Essays.
Routledge, London, 2009c, Collected Papers Volume II; Collected Essays 1929-1968, Routledge, London.
Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H