Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kata kerja berkarakter tergolong ke dalam kata kerja disposisional (dispositional verbs) murni. Tambahan 'murni' di sini dimaksudkan bahwa kata kerja ini tidak memiliki aspek okasionalnya dalam dirinya sendiri. Dalam penggunaan sehari-hari, tidak ada tindakan konkret yang ditunjuk oleh kata berkarakter. Seseorang disebut berkarakter karena adanya suatu sifat intrinsik di dalam dirinya. Persis seperti disposisi ‘larut’ dalam pernyataan ‘gula itu larut dalam air panas’.Â
Ketika harus ditunjuk kegiatan apakah itu berkarakter, artinya di mana aspek occasional verbs-nya, tindakan konkret terhadap nilai-nilai turunan itulah jawabannya. Tapi tindakan-tindakan konkret terhadap nilai-nilai itu dalam penggunaan sehari-harinya tidak disebut sebagai kegiatan berkarakter. Seseorang yang ucapannya selalu tidak sama dengan tindakannya disebut sebagai ‘berbohong’, seseorang yang mengucilkan temannya karena beda agama disebut ‘bersikap intoleran’, orang yang enggan-engganan bekerja disebut sebagai ‘bermalas-malasan’, dan seterusnya. Semua itu adalah occasional verbs, namun peristiwa-peristiwa konkret tak disebut sebagai berkarakter buruk, melainkan ‘berbohong’, ‘bersikap intoleran’, ‘bermalas-malasan’, dan seterusnya.
Pembedaan task dan achievement statements menurut Gilbert Ryle lebih mudah dilakukan terhadap konsep karakter. Tidak diragukan lagi bahwa pernyataan "anak itu berkarakter baik" adalah suatu achievement statement sebab kata 'berkarakter baik' adalah frasa yang mensyaratkan beberapa tindakan tertentu untuk mencapainya. Tindakan-tindakan untuk mencapai 'berkarakter baik' itu tidak lain adalah nilai-nilai turunan dari konsep karakter itu sendiri, seperti religius, toleran, jujur, pekerja keras, kreatif, dan lain sebagainya.
B. Pendidikan Karakter dan Filsafat Bahasa Biasa Gilbert Ryle
Bagi seorang guru, mendidik ada kalanya berarti 'mengajar' dan juga 'melatih'. Gilbert Ryle menganalisis dua konsep itu dalam artikelnya, Teaching and Training (Ryle, 2009c: 464-478). Menurut Gilbert Ryle, 'mengajar' berarti mengajarkan anak didik tentang sesuatu, teaching that, sedangkan 'melatih' berarti mengajarkan anak didik bagaimana melakukan sesuatu, teaching how to. Mengaburkan dua pengertian dasar ini akan mengacaukan konsep pendidikan itu sendiri.
Seorang guru yang sedang 'mengajar' kepada murid muridnya, artinya teaching that, berarti memberitahukan mereka mengenai fakta-fakta atau informasi-informasi tertentu, misalnya bahwa Perang Jawa terjadi pada tahun 1825 sampai 1830, atau bahwa Manila adalah ibu kota Filipina. Para muridnya dianggap berhasil belajar jika mereka bisa mengulang informasi-informasi itu dengan tepat di ujian kelas. 'Melatih' atau teaching how to punya ciri berbeda. Seorang guru melatih murid-muridnya belajar bersepakbola atau badminton bisa jadi memberitahukan proposisi-proposisi tertentu untuk diingat oleh para muridnya, tapi ukuran keberhasilan ditunjukkan di dalam permainan sepakbola dan badminton. Murid-muridnya dianggap menguasai pelajaran jika mereka bisa menunjukkan permainan itu dengan bagus dalam suatu pertandingan.Â
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan suatu teaching how to atau pelatihan adalah pengulangan berkali-kali. Tujuan akhirnya adalah menjadi seorang ahli, katakanlah, di bidang olahraga sepakbola atau badminton. Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan suatu teaching how to atau pelatihan adalah pengulangan berkali-kali. Pengulangan berkali-kali ini kerap diistilahkan dengan pembiasaan (habituation) dalam etika Aristotelian.
Adapun pendidikan karakter di Indonesia, apakah konsep itu termasuk aktivitas teaching that ataukah aktivitas teaching how to? pendidikan karakter adalah upaya sadar menanamkan nilai-nilai ke dalam jiwa seseorang. Seorang guru bisa menjelaskan secara panjang lebar di ruang kelas mengenai apa itu nilai Patriotisme misalnya, membeli produk-produk dalam negeri, belajar kesenian lokal, dan lain sebagainya. Guru itu, dengan menjelaskan semua itu secara terperinci, berarti sedang menerapkan pendidikan karakter sebagai teaching that.
Namun tampaknya pendidikan karakter di Indonesia tidak memadai untuk diterapkan sekadar sebagai suatu teaching that sebab puncak dari pembelajaran seperti itu hanyalah kemampuan para anak didik mengutip ulang informasi-informasi yang telah diberikan oleh gurunya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter tentu bukan kemampuan menangkap dan menghapal proposisi-proposisi yang diberikan oleh guru atau yang tertera di buku ajar, melainkan terbentuknya kualitas-kualitas tertentu di dalam diri anak didik yang akan menuntunnya pada perbuatan-perbuatan tertentu.
Pendidikan karakter adalah sebentuk pengajaran yang bertipe teaching how to, yaitu suatu pelatihan agar anak didik punya keterampilan dan kecakapan untuk melakukan dan berbuat sesuatu. Seorang guru yang hendak menempa karakter anak didiknya pun harus mengawasi dan menjamin agar nilai-nilai yang hendak ditanamkan bisa diterapkan oleh anak didiknya secara berulang-ulang. Seorang anak didik yang berpengalaman menerapkan nilai patriotisme, misalnya, akan dengan sendirinya menjadi lebih ‘mahir’ dan ‘cakap’ berperilaku patriotis dan, dengan demikian, menjadi pribadi yang berkarakter. Semakin berulang-ulang peristiwa penerapan nilai patriotisme itu oleh anak didik, semakin berkarakterlah dia. Hal ini menandaskan bahwa orang yang berkarater baik sebetulnya adalah orang yang 'sangat terlatih' (well-trained) dalam menerapkan nilai-nilai baik itu.
Apa yang tidak bisa diabaikan dari model teaching dan learning how to adalah "metode", yaitu perihal teknik, modi operandi, tata aturan, kanon-kanon, prosedur-prosedur, atau kiat-kiat tertentu. Sebagaimana kata Gilbert Ryle sendiri, "Teaching people how to do things just is teaching them methods or modi operandi" (Ryle, 2009c: 473).Â