Mohon tunggu...
Diana Tri Hartati
Diana Tri Hartati Mohon Tunggu... Penulis - penulis buku anak, penulis artikel

Seorang ibu rumah tangga yang suka menulis. Kadang nge-halu kalau lagi sendiri 😁

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Kawin Sang Duda

16 Desember 2022   19:06 Diperbarui: 16 Desember 2022   19:15 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adalah Mbah Sarijo, duda beranak empat--yang semuanya wanita, yang menjadi bahan pergunjingan orang-orang di Kampung Parukan karena ulahnya yang "doyan kawin". Konon di usianya yang menginjak angka tujuh puluh lima, Mbah Sarijo sudah pernah kawin dengan empat wanita. Terakhir bahkan kakek renta itu ingin kawin lagi. Sontak saja, keempat anaknya pun kelimpungan. Selain malu pada tetangga, mereka juga heran dengan sikap bapaknya  yang terbilang luar biasa tersebut.

Namun, dibalik sikapnya yang suka menguber wanita untuk dijadikan istri itu, Mbah Sarijo sesungguhnya dulu adalah lelaki yang minder dan takut pada wanita. Karena itulah  ia tidak laku kawin dan akhirnya menjadi perjaka tua. Lho? Peristiwa itu terjadi puluhan tahun silam. Sosok Sarijo muda merupakan pemuda lugu, pendiam, dan terlihat bodoh.

Karena sikapnya itu pula kadang-kadang orang-orang mengiranya sedikit sinting. Lalu ibunya pun berupaya mencarikan jodoh. Alhasil, seorang perawan dari desa sebelah akhirnya didapat. Seorang  perawan yang masih bau kencur, masih berumur 15 tahun atau separuh dari umur Mbah Sarijo kala itu. Singkat cerita Ijab Qobul pun terlaksana, dan pesta pernikahan berjalan dengan lancar dan meriah.

Namun keesokan harinya orang-orang sekampung pun gempar. Pada pagi buta itu Sarijo mengemasi barang-barangnya dan hengkang dari rumah istri yang baru saja dinikahinya, dan pulang ke rumah orangtuanya.

Peristiwa puluhan tahun silam tersebut hingga kini masih menjadi obrolan segar orang-orang di warung dan di gardu ronda. Ada yang berpikiran kalau Sarijo belum siap berumah tangga karena masih menganggur, namun ada pula yang berpikir "nakal" bahwa Sarijo "anu"nya kecil, jadi tidak bisa menggauli istrinya. Namun penyebab pasti hengkangnya Sarijo tidak ada seorang pun yang tahu.

Lima tahun berselang, Sarijo kembali menikah. Seorang wanita cantik yang menjadi kembang desa berhasil dipersuntingnya. Warga kembali gempar, terutama para pemuda. Supeni adalah wanita jelita nan seksi yang menjadi dambaan setiap pemuda, bagaimana mungkin bisa didapatkan Sarijo dengan mudah? Padahal banyak pemuda lain yang lebih kaya, lebih ganteng, dan juga lebih terhormat dari pada Sarijo.

 Warga pun kembali menduga-duga, mungkinkah Sarijo menggunakan ilmu hitam untuk menakhlukkan hati Supeni? Hal itu dilakukan untuk menepis dugaan warga  kalau Sarijo tidak laku kawin. Tetapi dugaan dan tuduhan tersebut tidak ada gunanya, karena toh Sarijo dan Supeni tetap menikah dan hidup berbahagia. Bahkan perkawinan keduanya membuahkan empat anak perempuan, yaitu Mawar, Melati, Kemuning, dan Kenanga.

Namun tiba-tiba Supeni ditemukan mati mendadak. Kabar pun kembali berhembus kencang jika Sarijo benar-benar menggunakan ilmu hitam dalam memperistri Supeni, maka  Supeni pun menjadi tumbal, begitu menurut anggapan warga.

Sepeninggal Supeni, Sarijo sering terlihat menyendiri. Ia suka melamun di gubuk di pinggir sawah sambil bersenandung sendirian, menyebut-nyebut nama Supeni, dan terkadang terdengar ia juga tertawa-tawa kecil. Warga yang secara kebetulan melintas di dekatnya  sering memergokinya.

Tetapi keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Belum genap setahun meninggalnya Supeni, Sarijo kembali menikah. Namun pernikahan ketiga ini berlangsung sangat singkat, hanya setahun. Sukemi, istri ketiga Sarijo meninggal bersama bayinya sesaat setelah melahirkan.

"Nah, benar kan kataku. Sarijo mempunyai ilmu hitam. Buktinya keluarganya jadi tumbal. Pertama, Supeni yang meninggal secara misterius. Kedua, Sukemi, dan yang  ketiga anaknya yang masih bayi," begitu bisik seorang warga pada warga lainnya. Dan bisikan itu kemudian terus berkembang dari mulut ke mulut hingga menjadi gunjingan yang menghangat.

Belum reda suara pergunjingan warga kampung, Sarijo kembali membawa pulang seorang janda. Sulastri, janda kembang yang baru saja ditinggal mati suaminya berhasil dipersunting oleh Sarijo. Kali ini hubungan harmonis yang dibangun Sarijo bersama Sulastri sedikit menepis anggapan miring tentang Sarijo. Sarijo sering terlihat mengantarkan Sulastri ke pasar. Sulastri, istri keempat Sarijo memang berprofesi sebagai pedagang sayuran.

Kebersamaan Sarijo bersama Sulastri berlangsung hingga belasan tahun hingga pada suatu sore terjadilah peristiwa menghebohkan itu. Sulastri meninggal dunia di kamar mandi rumahnya. Meninggalnya Sulastri ini membuat Sarijo sangat terpukul. Seminggu lamanya ia mengurung diri di dalam kamar. Sarijo merasa Sulastri merupakan wanita yang bisa menjadi pelabuhan hatinya, mengerti tentang penderitaan yang dialaminya. Keempat anak Sarijo yang telah beranjak dewasa pun tidak kuasa menghibur kegundahan hati bapaknya yang tengah galau.

Akhirnya didatangkan seorang kyai untuk memberikan pencerahan bagi Sarijo. Setelah diberikan motivasi dan semangat, akhirnya Sarijo kembali "normal". Ia yang telah memasuki usia setengah baya mulai terlihat beraktivitas seperti biasa; bekerja, beribadah, dan bersosialisasi di masyarakat.

Tahun berganti tahun. Warga kampung Parukan seolah telah melupakan "cerita" tentang Mbah Sarijo kala masih muda. Mbah Sarijo menjadi sesepuh yang disegani  dan menjadi panutan para anak muda. Mbah Sarijo dikenal santun dan taat beribadah. Hingga di pagi buta itu terdengarlah sebuah keributan di rumah Mbah Sarijo. Para peronda secara tidak sengaja mendengar Mbah Sarijo sedang berdebat sengit dengan anak-anak perempuannya.

"Aku mau kawin lagi, aku ingin mempunyai istri yang bisa merawat dan menyayangiku," demikian kata Mbah Sarijo.

"Tidak bisa!" jawab Mawar dengan keras.

"Tidak mungkin!" sahut Melati .

"Aku tidak setuju!" timpal Kemuning.

"Bapak  tidak pantas kawin lagi. Bapak sudah menikah empat kali, kami malu punya bapak "tukang kawin", kata Kenanga dengan ketus.

"Apa urusan kalian melarang aku kawin lagi? Selama ini kalian tidak peduli padaku. Kalian sibuk dengan urusan sendiri. Pokoknya aku mau kawin lagi, dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangiku, titik!" kata Mbah Sarijo tidak kalah tegas.

Akhir perdebatan di pagi buta itu tidak diketahui dengan pasti, yang jelas setelah kejadian tersebut perangai Mbah Sarijo terlihat berubah. Penampilan kakek itu terlihat lebih bersih, pakaian-pakaian yang dikenakannya selalu terlihat rapi, dan rambut putihnya pun tertata dengan licin.

Terdengar berita yang sangat gencar kalau Mbah Sarijo ingin kawin lagi. Jika hal ini terlaksana, maka itu adalah perkawinannya yang ke-lima. Namun keempat anak perempuannya sangat menentang kehendak bapaknya tersebut. Beberapa kali Mbah Sarijo mendekati wanita tetapi selalu digagalkan oleh anak-anaknya.

"Kupikir Bapak itu tidak normal kok, laki-laki seusia Bapak biasanya sudah tidak ingin kawin lagi. Niatnya hanya menghabiskan masa tua  untuk beribadah. Iya kan Mbak?" kata Kenanga, si anak bungsu pada kakak-kakaknya.

"Iya, aku juga sependapat dengan kamu. Bapak kita memang aneh. Mungkin hasrat seksualnya lebih tinggi dari yang lain," kata Mawar, si sulung memberi komentar, yang kemudian di-amini adik-adiknya.

Begitulah keadaannya. Karena beberapa kali gagal dalam mendapatkan wanita untuk dijadikan istri, Mbah Sarijo menjadi putus asa dan frustasi. Mbah Sarijo yang biasanya pendiam menjadi hilang kendali dan lepas kontrol. Mbah Sarijo sering berteriak-teriak keras dan seenaknya sendiri.

"Kaaawiiiiiiin......," teriakan  Mbah Sarijo terdengar keras dan parau.

"Pak, jangan berteriak begitu, malu jika terdengar tetangga," kata Kenanga sedikit membentak.

"Kawin! Kawin! Siapa yang mau kawin sama akuuuuuu?" Mbah Sarijo terus berteriak tanpa menggubris kata-kata Kenanga.

"Bapak ini kok malah tambah keras? malu Pak, malu!" Kali ini Kenanga menarik tangan Mbah Sarijo ke kamarnya," Sudah, tidur di sini saja daripada berteriak-teriak tidak jelas," gerutu Kenanga sambil menutup pintu kamar.

                                                                                                                     ***

Mbah Sarijo keluar rumah dengan mengendap-endap. Dikenakannya baju batik panjang dan sarung. Setiap ada wanita yang ditemuinya, Mbah Sarijo selalu mengatakan keinginannya untuk kawin. Beberapa wanita ada yang merasa maklum dan hanya menanggapinya dengan tersenyum, tetapi ada yang lari ketakutan karena menyangka pikiran Mbah Sarijo sudah tidak waras lagi, dan ada pula yang langsung memaki-maki Mbah Sarijo tanpa perasaan.

Mbah Sarijo tiba di tikungan. Ia melihat Mawar dan adik-adiknya sedang berembug. Mbah Sarijo pun mengintip dari balik pohon.

 "Mbak, menurutku Bapak itu sudah sangat keterlaluan kok, setiap hari berteriak-teriak minta kawin, bahkan kadang-kadang Bapak juga  ke luar rumah  dan berteriak-teriak di jalan sampai semua orang tahu. Kita jadi malu Mbak," kata Kemuning pada Mawar.

"Iya, aku juga sudah tahu. Banyak orang yang bercerita padaku, mereka menanyakan kondisi kejiwaan Bapak dan malah ada yang mengusulkan untuk memasukkan Bapak ke Rumah Sakit Jiwa segala, bagaimana menurut kalian?" Mawar memandang wajah adik-adiknya satu-persatu.

"Wah, jangan Mbak, memasukkan Bapak ke Rumah Sakit Jiwa sama saja dengan menampar muka kita sendiri. Berarti kita menyatakan kalau Bapak itu gila," kata Melati, yang dibenarkan pula oleh Kemuning.

"Lalu bagaimana, apa usul kalian?" Mawar tampak mengernyitkan dahinya.

"Aku punya usul Mbak, tetapi ini sepertinya terdengar agak kejam. Bagaimana kalau Bapak dipasung saja?" usul Kenanga yang langsung membuat kakak-kakaknya sangat kaget.

"Dipasung????" Mawar, Melati, dan Kemuning terperangah dan tampak terdiam beberapa saat, tetapi akhirnya mereka bertiga menyetujui usul Kenanga yang terbilang "ekstrim" itu.

Edan kok anak-anakku ini, masak bapaknya sendiri mau dipasung!? Umpat Mbah Sarijo dalam hati. Lalu ia pun berjingkat-jingkat pergi dari tempat itu, tetapi ada dua tangan yang memeganginya.

"Ayo, Bapak mau ke mana? Ayo ikut kami!" tiba-tiba Mawar dan adik-adiknya telah  berhasil menangkap raganya.

"Eh, apa-apaan kalian ini?" Mbah Sarijo berusaha melepaskan diri dari kungkungan anak-anaknya, "Aku mau dibawa kemana? Aku mau jalan-jalan," teriak Mbah Sarijo sambil terus berontak

Senja itu ketenangan Kampung Parukan pecah oleh suara ribut-ribut. Terlihat Mbah Sarijo sedang dikerubuti keempat anaknya. Kenanga dan Kemuning menarik tangan bapaknya, sedangkan Mawar dan Melati terlihat mendorong tubuh bapaknya.

"Bapak harus pulang," kata Mawar sambil terus mendorong tubuh Mbah Sarijo. Beberapa warga yang menyaksikan kejadian tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Min, Sarmin..tolong aku. Aku tidak mau pulang...toloooong," pinta Mbah Sarijo sambil memandang ke arah lelaki yang bernama Sarmin. Maka Sarmin pun buru-buru mendekat dan bermaksud hendak menolong Mbah Sarijo, tetapi tangan Mawar menghalangi langkahnya. Akhirnya Sarmin hanya bisa memandangi Mbah Sarijo yang terus berjalan sambil melolong-lolong.

Sesampainya di rumah, Mbah Sarijo langsung dibawa ke gudang.

"Bapak harus kami pasung!" terdengar suara keras Mawar.

"Tidak mau!" Mbah Sarijo berusaha melawan, tapi apalah artinya kekuatan seorang lelaki renta, hingga akhirnya ia pun menyerah dan tersungkur lunglai, pasrah terhadap tindakan anak-anaknya.

Beberapa saat kemudian terdengar jeritan panjang Mbah Sarijo yang memelas.

"Ampun...ampun lepaskan aku, aku berjanji tidak akan kawin lagi, lepaskan aku...aku tidak akan kawin lagi!"

"Eh, Bapak bangun Pak." terdengar suara Mawar di telinga Mbah Sarijo.

"Apa? Oh ternyata aku cuma mimpi toh," gumam Mbah Sarijo.

"Memangnya Bapak mimpi apa?"

"Aku mimpi dipasung sama kamu dan adik-adikmu gara-gara ingin kawin lagi,"

"Wah, Bapak ini ada-ada saja. Meski kami melarang Bapak kawin lagi, kami tidak mungkin berbuat sekejam itu," tandas Mawar.

"Mawar, aku kini sadar. Mungkin mimpi buruk itu suatu pertanda. Aku janji tidak akan kawin lagi, bilang sama adik-adikmu sana," lanjut Mbah Sarijo.

"Benar Pak? Syukurlah, kalau begitu sekarang makan siang dulu sana. Mawar sudah masak enak buat Bapak lho," Mawar terlihat  sumringah.

"Makannya nanti saja, aku masih ngantuk. Mau tidur lagi...," setelah berkata begitu, Mbah Sarijo langsung mendengkur.

Kini Mbah Sarijo berada di tempat yang aneh. Ia terlihat kebingungan. Dipandanginya sekeliling yang terasa asing. Tiba-tiba seorang wanita muda menghampiri Mbah Sarijo.

"Selamat sore, Mbah. Nama saya Jamilah. Saya ke sini mau mencari jodoh. Saya seorang janda satu anak. Suami saya meninggal  dua tahun yang lalu. Apakah Mbah tahu siapa laki-laki di kampung ini yang juga sedang mencari jodoh?" tanya wanita itu.

Mbah Sarijo mengangkat wajahnya dan memandang wanita itu. Seorang wanita yang berumur kurang lebih dua puluh tujuh tahun, wajahnya cerah dan bersih, bibirnya menyunggingkan senyum yang melegakan hati siapa pun yang melihatnya.

"Saya tidak tahu siapa saja lelaki di kampung ini yang sedang mencari jodoh, tetapi  ada satu lelaki tua renta yang telah berada di ujung ajal yang ingin kawin, tetapi saya yakin Anda tidak bersedia, jadi saya tidak akan menunjukkan orangnya, silakan Anda bertanya kepada orang-orang di kampung ini, siapa tahu ada yang berjodoh dengan Anda," jawab Mbah Sarijo sambil  menunduk.

"Apa? Ada yang ingin segera kawin tetapi sudah tua? Oh, siapa dia, Mbah? Terus terang saya tidak mempermasalahkan soal usia, tetapi saya hanya ingin pendamping hidup yang bisa menerima saya dan anak saya," kata wanita yang bernama Jamilah itu dengan tulus.

"Sayalah orangnya, bagaimana? Anda pasti mengurungkan niat kan?" Mbah Sarijo menjawab ogah-ogahan.

"Tidak, Mbah. Saya bersedia kok menjadi istri Mbah," jawab Jamilah mantap.

"Apa?? Anda bersedia menjadi istri saya? Apa saya tidak sedang bermimpi?" Mbah Sarijo membelalakkan matanya tak percaya. Jamilah, wanita muda yang lebih pantas menjadi cucunya ini mau menjadi istriku?? Ah, tidak mungkin..batinnya.

"Iya Mbah, saya bersedia, mari kita ke penghulu untuk kawin," jawab Jamilah lagi.

Mbah Sarijo langsung gemetar dan tampak menggigil. Ia berdiri dan pergi meninggalkan  Jamilah yang masih terpaku. Mbah Sarijo tampak seperti baru menang undian. Kakek itu berteriak," Aku mau kawin lagi, aku mau kawin lagi..." kemudian berlari-lari hingga akhirnya tersandung dan jatuh pingsan.

"Pak, bangun Pak! Sudah adzan maghrib, mau ke masjid tidak?" Mawar mengguncang-guncangkan tubuh Mbah Sarijo .

"Jamilah? Jamilah mana? Aku mau kawin lagi! Aku mau kawin lagi!" teriak  Mbah Sarijo kencang-kencang. Ia mengusap-usap matanya dan menoleh ke sekeliling.

"Bapak ini ngomong apa?" Mawar mendekati bapaknya.

"Mawar, aku bermimpi ketemu wanita muda. Namanya Jamilah. Ia mau jadi istriku," cerita Mbah Sarijo.

"Lalu?"

"Aku mau kawin lagi," lanjut Mbah Sarijo.

 "Apa saya tidak salah dengar? Barusan Bapak bilang tidak akan kawin lagi, sekarang kok mau kawin lagi? Padahal saya dan adik-adik sudah sepakat mau syukuran lho," kata Mawar lagi.

"Hah? Apa??" Mbah Sarijo beranjak mengambil peci dan sarung.

"Lho sekarang Bapak mau ke mana?" Mawar mengikuti langkah bapaknya.

"Ke masjid, sholat, dan mau ikhtiar mencari Jamilah, aku mau kawin lagi!" jawabnya sambil ngeloyor pergi.

???

                                                                                                                          **   Tamat **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun