"Sore Bu," sapa suara di seberang sana, saat aku masih perjalanan pulang. Sempat kulihat tadi, nama yang terpampang pada layar ponselku, Pak Ahmad.
"Sore Pak Ahmad." JawabkuÂ
"Mohon maaf ini Ibu, mengganggu waktu Ibu sebentar. Mau menanyakan beberapa hal, Ibu."
"Baik, Bapak."
"Satu, apakah benar ada Praktik Kerja Lapangan atau PKL di sekolah?"
"Benar Pak."
"Baik. Lalu, siapa yang mengkoordinir penjualannya produk hasil PKL itu, Ibu?"
"Wah, kalau itu saya kurang paham Bapak, karena saya sendiri tidak diikutkan tim PKL. Tapi Bapak coba tanya pimpinan tim kami. Ada apa ya Pak?"
"E..tidak ada apa-apa Ibu. Baik terima kasih informasinya Bu."
"Baik Pak."
*
Siang hari keesokkan harinya, sekitar jam 11.30, di ruang guru tim. Rata-rata guru sudah selesai ngajar online sebelum dzuhur, tinggal menunggu jam istirahat, dan nanti mungkin sebagian ada yang ngajar lagi setelah dzuhur.
"Ih, tadi si Anita mengamuk lho, Mba!" Kata Tika tiba-tiba ketika masuk ruangan.Â
"Lah, kenapa?" Tanya kami langsung menoleh ke arah Tika.
"Nggak tahu, capai mungkin ya. Dia tuh ambil panci, terus dilempar begitu saja di lantai. Waktu kutanyain, 'kenapa Anita?', dia cuma bilang, 'tidak apa-apa!'" kata Tika. Tika lalu menuju kursinya dan duduk di sana.
"Ngomong-ngomong semua siswa yang PKL di sekolah harus jualan ya?"
"Iya." Jawab Liyana.
"Nah itu dia. Mungkin dia capai PKL, capai juga jualannya." Kataku.
"Mungkin." Kata Halima.
"Emang seminggu siswa jualan berapa kali?" Tanyaku lagi.
"Kalau jadwalku, sehari praktik, sehari jualan, dan sehari membuat laporan. Jadi seminggu dua kali jualan." Jawab Liyana.
"Sekali jualan bawa berapa produk?" Tanyaku lagi.
"Rata-rata dua toples."
"Harganya?"
"Per toples Rp 30.000."
"Perminggu anak jualan sekitar Rp 120.000,- Pantes..."
Liyana, Halima, dan Tika diam, tapi seperti menunggu kelangsungan ceritaku.
"Kemarin ada wali yang menghubungi Pak Ahmad, kemudian pak Ahmad telepon aku!"Â
"Iya, apa katanya?"
"Ya Pak Ahmad menanyakan, siapa yang mengkoordinir penjualan hasil PKL siswa?!"
"Terus?"
"Terus karena aku tidak tahu ya..aku bilang 'kurang paham Pak, coba tanya bu bos.' gitu.
Tapi, tadi pagi kukonfirmasi bos, Pak Ahmad telepon dia atau tidak, bos jawabnya tidak.
Bos juga sempat tanya 'Ada apa?'
Kujelaskan kalau ada wali siswa yang bertanya siapa yang mengkoordinir penjualan PKLÂ
Terus bos bilang lagi, 'Tidak, Pak Ahmad tidak menghubungi.'
Langsung saja aku to the point mengatakan. Mungkin wali siswa ada yang keberatan mengenai jualan hasil PKL.
Aku juga tanya bos, bos meminta siswa untuk jualan seminggu berapa kali.Â
Bos menyampaikan hal yang sama, hampir dua kali dalam seminggu.
Sekali jualan bawa produk sekitar 5-6 bungkus, dengan harga perbungkus Rp 10.000,- sampai Rp12.000,-
Terus aku bilang
'Berarti perminggu persiswa jualan sekitar Rp 120.000. Sebulan Rp 480.000,- Apa tidak memberatkan siswa? Ini lagi COVID lho, banyak orang tua mereka yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan. Jangankan orang tua mereka, aku saja, yang guru honorer, keberatan kalau harus membayar produk sebesar itu.' kataku.
Tapi bos bilang lagi, 'Tapi kan saya pesannya dijual, bukan dibeli sendiri.'
'Tapi kan wajib laku. Kalau wajib laku, ya kalau tidak laku pasti akan dibeli oleh wali siswa itu sendiri. Kecuali, laku tidak laku boleh dibawa kembali ke sekolah, tidak ada pengurangan nilai.'
'Tapi mereka bilang, orang tua mereka senang kok, beli produk kita.'
'Nah, berarti benar kan, dibeli orang tua? Saya pikir siswa pasti akan berkata seperti itu. Jarang ada siswa yang berani frontal mengatakan bahwa mereka keberatan membawa pulang produk dan harus membeli produk tersebut.'" begitu kataku.
...Aku diam, tidak melanjutkan ceritaku.
"Terus bos gimana?" Tanya Liyana.
"Entahlah..diam. Yang penting aku sudah menyampaikan pendapatku." Jawabku.
"Hmm..bagus, bagus. Aku sama Halima juga hanya manut perintah!" Komentar Liyana.
"Sama Mba, aku saja cuma mengikuti keputusan. Itulah kenapa Anita ngamuk kali ya, haha.." Kata Tika.
"Iya makanya aku selalu dijegal. Sering tidak diikutkan kegiatan ini-itu ya? Haha..terlalu rewel sih ya.." kataku
"Kayak kemarin aku dilaporkan ke pemimpin sekolah, dengan alasan katanya aku tidak mau menjadi pembimbing siswa PKL di sekolah. Lalu barusan kemarinnya lagi, aku difitnah jualan jenang." Kataku lagi.Â
"Dih, iya? Kok bisa?" Tanya Halima. "Tika, pesan kopi, sana!" Kata Halima lagi.
"Dih, kok aku Mba?" Tanya Tika sambil menatap Halima, pura-pura tidak terima.
"Ya iyalah, kamu kan yang paling junior, jadi kamu yang traktir. Lagipula kamu itu kaya musafir, jarang di tempat. Jadi pumpung ini ada ditempat, gantian kamu yang traktir!" Kata Halima lagi.
Aku dan Liyana terbius melihat perdebatan mereka.
"Dih!" Kata Tika sambil ngecek isi dompetnya.
"Buruan, buat ngedengerin cerita menarik ini!" Kata Halima lagi sambil tertawa.
"Iya, iya..!" Kata Tika. Lalu Tika terlihat mulai mengetikkan pesannya di layar ponselnya. Mungkin memesan kopi.
"Ayo dong Liyana, cerita!" Kata Halima lagi.
Aku nyengir, lalu mulai cerita. "Iya, aku kan pernah kasih masukan. Kalau meminta siswa untuk latihan berjualan, sebaiknya kita juga mengarahkan dan memfasilitasi siswa untuk jualan dimana. Misal, kita ajari mereka julan secara online di toko-toko online. Atau kita ajak mereka menitipkan produk di warung atau toko-toko atau kantin. Atau diarahkan berjualan ke sekolah lain, ke puskesmas, atau ke instansi lain. Atau kalaupun mereka harus berjualan langsung ke pelanggan, ya sampaikan cara-caranya dan sampaikan juga ke mereka agar mereka jangan ambil jalan pintas yang akhirnya meminta orang tua mereka sendiri untuk membeli produk tersebut, intinya gitu lah.Â
Eh, malah, saya dilaporkan ke pemimpin sekolah, katanya, 'Alia tidak mau jadi pembimbing PKL di sekolah.', gitu." Terangku.
"Lah, kok meleset jauh ya? Yang disarankan apa, yang dilaporkan apa?" Kata Halima.
"Hehe..biasa itu mah! "Kata Tika.
"Btw, kok kamu tahu, bos bilang gitu ke pemimpin sekolah?" Tanya Liyana.
"Iya, soalnya bos bilang sendiri. Dia bilang ke aku gini. 'Saya tadi sudah menyampaikan ke pemimpin sekolah, bahwa Alia tidak mau jadi pembimbing siswa yang PKL di sekolah.'Â
Terus pemimpin sekolah bilang, 'Kalau tidak mau ya sudah, jangan dipaksa.' Gitu.
Lah, aku juga langsung mengkritisi, 'Kok bos bilangnya gitu?'
Ya dia balik tanya, 'Lha harusnya saya bilangnya gimana?'
Aku jawab lagi 'Ya seharusnya menyampaikan pesan saya bahwa, kalau mau PKL di sekolah, dan siswa harus berjualan, siswa sekalian diberi tahu cara-cara berjualan.'
'Oh gitu ya' jawabnya."
...hening sejenak.
"Itu pura-pura tidak tahu cara menyampaikannya atau..sengaja sih, haha..!" Kata Tika memecah keheningan.
"Entahlah..!" Kataku ikut tertawa.Â
"Sudah gitu, giliran aku membukakan jalan untuk siswa, dengan cara berjualan online, di market place dan Facebook, langsung ada yang memfitnah bahwa aku menjual produk milik sekolah untuk kepentingan pribadi. Sulit amat ya?" Kataku lagi.
"Masa, Alia? Ada yang memfitnah kamu seperti itu?" Tanya Halima.
"Iya benar." Jawabku
"Kok kamu bisa tahu?" Tanya Liyana lagi.
"Pemimpin sekolah yang konfirmasi langsung ke aku. Beliau menanyakan, 'Apa benar aku menjual produk yang dibuat dan dibiayai oleh sekolah untuk kepentingan pribadi? Bukankah itu milik sekolah?'
Aku kaget kan ya. Jujur campur marah. Apa lagi ini, pikirku kan?Â
Tapi setelah tenang baru kujawab, 'Maksud menjual produk milik sekolah apa ya Pak? Tentu saja saya tidak akan berani melakukan hal itu.'
Lalu kujawab lagi, 'Dan yang dimaksud dibiayai sekolah, mohon maaf, untuk biaya pembuatan jenang saya hanya habis kurang lebih Rp 300.000,- dan itupun masih sisa bahan di freezer', gitu.Â
Kan aku khawatirnya pemimpin sekolah tahunya aku terima uang sampai Rp 2.000.000,- misalnya, hasil bagi hasil pinjaman ke sekolah itu ya."
"Ya betul." Kata Liyana. "Terus pemimpin sekolah bilang apa?"
"'Baik, trima kasih konfirmasinya.' hanya itu saja."
Liyana mengamatiku, mau mengatakan sesuatu, namun akhirnya tidak jadi, hanya menghembuskan nafas panjang.
"Ya..aku juga mikir-mikir lah ya. Emang aku mau bunuh diri apa, menjual produk sekolah secara terang-terangan dan terbuka gitu." Tambahku lagi.Â
"Permisi..kopinya, Bapak, Ibu!"Â
"Ah, pas sekali momennya. Sini bawa masuk!" Kata Liyana. "Untuk mendinginkan kepala! Itu yang bayar Tika ya!" Kata Liyana lagi.
"Siap Bu!"
Tika mengeluarkan uangnya dan membayar kopi tersebut.
"Ayo ngopi saja gaiss! Daripada panas ini kepala!" Kata Liyana lagi.
Halima menatapku dan Tika, kemudian kami tertawa bersama.
"Ayo.."
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H