Oleh Diah Trisnamayanti
"Maaf, saya tidak bisa terima!" Ungkap Rohmah sang pemilik kontrakan.
"Kenapa, bu? Saya akan membayar! Hanya minta 3 kali pembayaran." Pinta Rindia pada ibu Rohmah,
"Bawa aja lagi duitnya kalau ga dilunasi sekarang juga. Saya kasih waktu 2 hari, kalau ga cari kontrakan lain aja!"
Wajah Rindia murung dan kerut di dahinya bertambah, lunglai tubuhnya setelah seharian bekerja menjajakan nasi ayam dan telur untuk para sopir truk di pinggir tol padaleunyi di kedai kecilnya. Penghasilannya hanya bisa membuatnya menabung sepuluh ribu sehari dan setahun  dia hanya bisa dapat uang tiga juta enamratus limapuluh ribu. Sementara uang kontrakan setahun dua belas juta tidak boleh dicicil. Dia tak punya suami tempatnya bergantung. Dia hanya tinggal bersama putrinya yang kuliah di salah satu Universitas dekat rumah mereka.
"Kemana aku harus meminjam uang sebanyak itu?" pikirnya sambil melangkahkan kakinya menuju rumahnya.
"Fidya..!" panggil Rindia pada anak tunggalnya.
"Ya, Ibu. Aku didapur sedang nyiangin sayur dan bumbu-bumbu"
"Nak, bu Rohmah ga mau dibayar nyicil kontrakannya. Kayaknya kita pindah aja.kemasi barang-barang. Kita hanya diberi waktu 2 hari"
"Astagfirullah! Gila aja lagi!"
"Kemana kita cari rumah dengan harga murah bu?" tanyanya sambil sedikit bernada marah pada bu Rohmah. Sambil mencuci sayuran dan  memasaknya.
"Fid, ibu lihat-lihat ada rumah dikontrakan atau rumah kosong dekat jalan buntu. kita tanya berapa harganya ke pak RT Didu, ya nak?"
"Yang mana bu? Di Jalan L itu?"
"Iya"
"Boleh bu, nanti Fid ke sana. Ibu sudah capekan istirahat dulu. Nanti Fid, cari tahu siapa pemiliknya ya bu."
Rindia beristirahat sejenak, Fidya menyelesaikan pekerjaan di dapur dengan cepat dan menyiapkan makan siang untuk mereka. Dia menemui pak RT Didu menanyakan pemilik rumah di Jalan buntu L. Menurut pak Didu, rumah itu sudah tidak dihuni oleh pemiliknya karena semua sudah wafat. Jika ingin tinggal dipersilahkan. Karena sudah banyak yang tinggal tapi tidak ada yang tahan. Banyak dedemitnya kata pak Rt Didu. Fidya meminta kunci rumah tersebut dan masuk bersama pak RT Didu, yang selalu membersihkan rumah itu. Dia mangatakan itu agar Fidya berhati-hati bila ingin menggunakan rumah itu tidak diperkenankan membawa lawan jenis yang belum menikah ke rumah itu selain untuk membantu. Dia pun berlari memberitahukan ibunya tentang informasi itu. dia pun menyampaikan bahwa mereka tidak perlu membayar
 "Habis makan kita beberes deh nak; kalau bisa malam ini kita masuk ke rumah itu"
"iya bu, rumahnya sejuk siiih bu; Cuma pas di kamar belakang agak bikin merinding"
"Kamu siap ga?"
"insya Allah,kita bisa ya bu!"
"Iya nak. Bersyukur ma Allah"
"Alhamdulillah... semoga Allah melindungi kita selalu ya bu"
Malam itu, Rindia dan anaknya Fidya mebereskan barang-barang yang cuma sedikit. Dia menelpon Gilang dan Haris sahabatnya untuk pinjam mobilnya agar dia bisa pindah ke rumah kontrakan baru . Gilang mengangkat lemari sederhana dan kursi-kursi tamu ke rumah itu
Ketika sampai di rumah itu, mereka mulai mengepel lantai dan membersihkan ruangan-ruangan. Â Ada 3 kamar di dalam rumah itu. kamar terdepan akan menjadi kamar Fidya, kamar Rindia di sebelahnya. Sementara kamar ketiga adalah kamar yang agak sedikit sunyi yang aromanya aneh dan buat merinding bulu kuduk dibuat mushola oleh Fidya. Gilang dan Haris tinggal di apartemen dekat kampus.
"Thanks ya lang and ris.." sahutnya setelah membereskan lampu-lampu dan saklar listrik di dapur dan kamar-kamar.
"Oke. Jangan lupa nasi goreng nya dong!"
"Iya.. ntar tukangnya lewat, gue beliin buat lo Lang. Pedes atau biasa aja?"
"Ya biasa lah, ntar pedes mah gue moncor mulu di flat"
"Bisa aja loh! Lu kan jagonya pedes lang" sahut Haris kemudian. Tapi dia mulai merasa ada bau telor busuk di sekitarnya buat dia merinding. Hanya tidak dia ungkapkan, khawatir teman baiknya justru kesulitan bila dia mengatakan hal itu.
"Ris lu mau apaan? Nasi goreng pa mie goreng?"
 "Gue mah yang ada aja dah."
 "Eh lu pade mo balik abis makan?"
 " iya lah, gue balik ke flat; lu gimana lang?"
"Balik lah. Ntar dimarahin pak Dudi kite nginep mah, Fid" jawab mereka
 "Alhamdulillah. Bener banget. Emang lu pada baik ya ma gue."
 Tukang mie tektek lewat dan Fidya memesan empat porsi. Tidak diduga, tukang mie tektek tahu cerita sepatu tentara rumah itu. Sambil makan Gilang dan Haris mendengarkan cerita itu
"Kesian si Fidya kalau ada kejadian sesuatu di rumah itu" Gilang bergumam ga jelas, tapi Haris mendengar dengan seksama gumaman Gilang. Dia juga merasa khawatir pada Fidya.
Malam itu memang tidak terjadi sesuatu atau tidak dirasakan karena mereka kelelahan, adzan shubuh; Rindia sudah terbangun. Ketika dia mengambil air wudhu ada sekelebat hitam masuk ke mushola kamar. Rindia menganggap itu hanya imajinasinya. Rindia sholat shubuh dan mengaji di mushola kamar. Tiba-tiba badannya dingin dan dia pingsan qur'an masih terbuka. Fidya yang baru bangun. Dia terkejut melihat ibunya tergeletak di mushola.
"Bu.... ibu kenapa? Astagfirullah! Lailahaillah.. astagfirullah!!" teriaknya. Dia memapah ibunya setelah Rindia siuman. Sejenak Fidya melihat ke sekitarnya. Tidak ada apa-apa. Lalu mengambilkan air minum untuk ibunya. Dia sholat di ruangan yang sama dengan ibunya kemudian mengaji, benar ada rasa merinding seperti ada yang memperhatikan. Dia tidak perduli. Dia selalu membaca al qur'an sampai dengan lima lembar. Setelah itu dia kekamar ibunya. Rindia, sempat tak sadarkan diri. Hanya ketika Fidya mengaji dia kembali tersadar dan mengucap astagfirullah berulang-ulang.
"Ibu kuat ya.."
"Kita akan berjuang meskipun pengganggu itu mengusik kehidupan kita" Ibunya mengangguk-angguk setuju dengan wajah sayu dan memucat. Dia bertekad untuk meminta perlindungan pada Allah.
Fidya membersihkan diri sementara Rindia sudah lebih stabil dan memasak untuk jualan hari itu. Kedai pinggir jalan tol cukup banyak dikenal sopir truk dan mahasiswa rantau yang tidak memiliki uang banyak. Dia ingin menaikan harganya tetapi kadang ingat anaknya yang juga sedang kuliah dan tetangganya yang lebih susah darinya. Makanya semampu dia untuk berjualan makanan dengan harga murah meriah.
Setelah selesai Fidya mandi, Rindia juga membersihkan diri dan berwudhu untuk sholat dhuha sebelum membuka kedai. Fidya merapikan segala sesuatu untuk kuliah dan dagangan ibunya ke baskom peralatan lainnya dalam gerobak.
"ibu, sudah selesai? Ayo kita pergi" teriak Fidya memanggil ibunya dari arah luar. Kenapa ibunya tidak keluar-keluar dan diapun masuk ke dalam
"Astagfirullah!!" Fidya menjerit karena melihat ibunya terkapar pingsan di mushola. Sebelumnya ibu tidak pernah seperti ini.
"Masya Allah! Kalian mengapa mengganggu ibuku?" teriaknya.
"Kami tidak mengganggu kalian, Hiduplah di kehidupan kalian!! Jangan ganggu kami!" teriaknya lagi.
"Kami mengaji karena Allah yang selalu melindungi kami; kalau kalian tak mau. tutuplah telinga kalian dan hati kalian. Jauhi ibuku!!"
Rindia pun tersadar seketika dan menangis dalam pelukan Fidya anaknya.
"Astagfirullah!!" Â Dia mngucap berkali-kali lagi.Â
"Ibu, mau istirahat di rumah? Kita ga usah jualan ya bu"
"Maafkan ibu ya nak. Hari ini kita berjualan di rumah saja"
"Iya bu"
Fidya membereskan dagangan ibunya di depan garasi rumah itu. Kemudian dia mencari HPnya agar dapat memulai jualan onlinenya. Fidya mengurusi semua kebutuhan ibunya berdagang dan membersihkan peralatan masak. Dia meletakkan Hpnya di atas meja belajarnya yang juga meja tamu. Tiba-tiba menghilang dan ada di lubang angin jendela depan.
Ketika malam tiba. Sepatu-sepatu tentara  berderap makin kencang di tengah malam, di atas loteng kamarnya tak berhenti dan Fidya tidak bisa tidur mendengarnya. Kompor yang padam tiba-tiba menyala sendiri; untung dia terbiasa bangun malam untuk sholat lail. Ketika dia sholat lail bersama ibunya. Ada sesosok putih duduk di mushola kamar. Mereka membiarkan sosok itu berdiam di sana. Mereka tetap melakukan sholat lail semampu mereka dan mengaji.
Setelah kejadian itu semua tenang. Fidya dan ibunya tetap melakukan kebiasaannya sholat malam dan mengaji sementara mereka pun setia dengan mengganggu dengan cara mereka. Terkadang sebilah pisau melayang ingin menikam Rindia atau Fidya ketika saat mereka tertidur pulas. Pak Didu mengatakan gantian tidurnya dagar tidak terjadi sesuatu, maka mereka tidur bergantian dan sholat selalu bersama dan mengaji bersama. Sepatu tentara di langit-langit setiap malam pasti hadir terkadang mereka meloncat dari bawah ke arah langit-langit dengan suara yang keras sekali, Fidya dan Ibunya yakin horor ini akan menjadi kehidupannya selama setahun atau bertahun-tahun biarlah Allah saja pengatur semuanya.
##### finished#####
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H