Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh sawah yang mulai menguning, hiduplah seorang kakek bernama Joko. Kakek Joko sudah berusia delapan puluh tahun dengan tubuh yang kurus, rambut putih berantakan, dan kacamata bulat yang selalu melorot di hidungnya. Ia tinggal sendiri di sebuah rumah sederhana. Rumah itu, setiap sudutnya dipenuhi dengan kenangan masa muda dan foto-foto anak-anaknya.
Suatu sore, Kakek Joko duduk di teras rumahnya. Ia memandangi jalan setapak yang mengarah ke desa. Ia merindukan anaknya, Juki yang sudah merantau ke kota besar selama beberapa tahun. Setiap kali ia melihat anak-anak bermain di luar, rasa rindu itu semakin menggerogoti hatinya.
"Duh, Juki... kapan kau pulang?" Kakek Joko bergumam sambil mengusap kacamata.
Tiba-tiba, suara tawa mengalihkan perhatiannya. Kakek Joko melihat seorang anak kecil bernama Unyil yang berusia sekitar tujuh tahun, berlari-lari sambil mengejar ayam. Unyil adalah anak yang ceria, penuh energi, dan selalu berhasil membuat Kakek Joko tersenyum.
"Unyil!" panggil Kakek Unyil, "Ke sini sebentar!"
Unyil menghentikan larinya, mengernyitkan dahi, dan berlari menghampiri Kakek Joko dengan langkah ringan. "Ada apa, Kakek?"
Kakek Joko tersenyum, "Kau tahu, kan, Juki, anakku? Dia belum pulang dari kota. Aku sangat merindukannya."
Unyil mengangguk, "Iya, Kakek. Tapi kenapa Kakek tidak pergi ke kota? Biar ketemu!"
Kakek Joko menggelengkan kepala, "Aku sudah tua, Nak. Jaraknya jauh, dan aku tidak tahu jalan ke sana."
Unyil berpikir sejenak. "Tapi aku bisa bantu Kakek! Kita bisa bikin rencana!"
Kakek Joko tersenyum lebar. "Oh, kamu ini pintar sekali, Unyil! Â Apa rencanamu?"