Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fespin 2023: Sepayung Bumi, Responi Kegelisahan Efek El Nino

16 September 2023   07:57 Diperbarui: 16 September 2023   15:53 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seruan cinta alam lewat goresan payung; salah satu fotobooth di acara Fespin 2023| dokpri 

Siang begitu cerah mendera langit kota Bengawan. Seturut jejak kaki, saya melangkah menyusuri lengkung simetris koridor bambu di halaman Balaikota Surakarta.

Sore hari kala itu, 8 September 2023 yang lalu, plaza Balaikota Surakarta dijejali oleh warga masyarakat yang berbondong menjadi bagian dari sejarah. Termasuk saya? Tentu saja!

Saya manut, bersedia duduk bersila; merumput bersama seluruh rasa takjub para pengunjung Festival Payung Indonesia.

Ya, kali ini gelaran Festival Payung Indonesia (Fespin) 2023 mengunjungi era satu dasawarsa.

Sepayung Bumi, menjadi tema Fespin X | dokpri 
Sepayung Bumi, menjadi tema Fespin X | dokpri 

fotobooth payung warna-warni pada Fespin 2023| dokpri 
fotobooth payung warna-warni pada Fespin 2023| dokpri 

Sengaja mengambil tema "Sepayung Bumi, Alam adalah Kita" Fespin berupaya menggemakan kegaduhan batin anak manusia. 

Selurus dengan perubahan iklim yang sempat menjadi perbincangan viral di dunia maya, Fespin hadir sebagai perpanjangan tangan para budayawan dan seniman dari seluruh persada. 

Fespin hadir ingin mengajak kita kembali menyadari bahwa sejatinya kita adalah bagian dari alam.

Fespin hadir mengingatkan kita dampak dua sisi koin dari peristiwa El Nina maupun El Nino pada kebakaran hutan, gunung, gelombang panas laut, udara pekat partikel jahat, tanah kering, gagal panen, maupun dampaknya terhadap sektor bahari kita.

Insiden karhutla ironisnya menjadi berita yang sudah terlampau sering kita dengar. Semenjak Desember 2022 yang lalu, sepertinya kasus karhutla semakin marak terjadi.

Memang, kekeringan bukan satu-satunya penyebab terjadinya karhutla, bisa saja karhutla terjadi akibat ulah usil segelintir manusia.

Namun demikian, dampak perubahan iklim akibat fenomena El Nino tak hanya dirasakan setiap makhluk hidup di daratan saja. Suhu air laut yang menghangat tentu bukan menjadi soal bagi para penikmat aktivitas pantai. 

Akan berbeda dengan makhluk hidup di laut yang habitatnya pada suhu air tertentu. Sudah barang tentu makhluk-makhluk tersebut akan merasa gerah abis! Akan berdampak pada kegiatan sektor perikanan laut? Yaiyala.

Lantas, siapa yang peduli? Terlebih, kondisi bumi semakin diperparah dengan partikel-partikel kimia tak bersahabat dengan tubuh mulai mengisi ruang berudara. Tak ayal, jumlah kasus beragam sakit penyakit terutama ISPA dikuatirkan akan berajojing ria! 

Persembahan Omah Sapit Uwos bersama sandal jepit bekas yang diukir; diubah menjadi hiasan dinding| dokpri
Persembahan Omah Sapit Uwos bersama sandal jepit bekas yang diukir; diubah menjadi hiasan dinding| dokpri

Sikap arogansi sebagai "pengusaha" keseimbangan alam, mengubah manusia seolah menjadi "penguasa" alam seakan lupa bahwa jati diri manusia adalah bagian dari kesemestaan alam itu sendiri. Lantas, polutan dengan gampang ditunjuk sebagai penyebab bumi terasa tak nyaman lagi ditinggali.

Fespin X pada tahun ini hadir penuh dengan rangkaian rasa dan karsa dari welas asih terhadap lingkungan. 

kardus bekas diolah kembali menjadi aneka ragam wayang kardus yang unik| dokpri
kardus bekas diolah kembali menjadi aneka ragam wayang kardus yang unik| dokpri

tarian topeng ireng membawa piranti daun menggambarkan manusia adalah bagian dari alam| dokpri
tarian topeng ireng membawa piranti daun menggambarkan manusia adalah bagian dari alam| dokpri

Payung sebagai salah satu wujud inovasi teknologi telah digunakan selama berabad, bahkan ribuan tahun lamanya.

Banyak ahli menyatakan bahwa payung telah menjadi simbol kekuasaan semenjak masa peradaban Mesopotamia 5000 tahun yang lalu.

Bahkan masyarakat Tiongkok telah menggunakan payung sebagai pelindung dari terik matahari sejak 3500 SM.

salah satu sudut di ruang galeri pamer Payung Nusantara, perjalanan payung dari masa monarki purba hingga masa kiwari | dokpri
salah satu sudut di ruang galeri pamer Payung Nusantara, perjalanan payung dari masa monarki purba hingga masa kiwari | dokpri

Dalam evolusinya, payung menjelma sebagai replika strata kelompok sosial tertentu.

Selain Tiongkok dan Mesopotamia, Mesir serta masyarakat belahan bumi Utara seperti masyarakat Eropa mengembangkan payung dalam beragam fungsinya yang tidak hanya menjadi simbol kekuasaan para praja dan bangsawan, melainkan menjelma menjadi salah satu aksesoris cantik dalam dunia fashion.

mumpung ada model syantik ikutan azha nunut njepret, makasih nggih, kakak | dokpri
mumpung ada model syantik ikutan azha nunut njepret, makasih nggih, kakak | dokpri

payung dalam aneka bentuk dan warna | dokpri
payung dalam aneka bentuk dan warna | dokpri

warna-warni payung rajut turut memeriahkan sudut Fespin X | dokpri
warna-warni payung rajut turut memeriahkan sudut Fespin X | dokpri

Selain para seniman dan budayawan negri sendiri, Fespin X masih menjadi wadah bagi duta negara manca untuk ikut meraya pada momentum bersejarah ini. Seperti para pelukis payung yang sempat nggedabrul alias berbincang dengan saya di Fespin X beberapa hari yang lalu.

gerai duta Thailand| dokpri
gerai duta Thailand| dokpri

para pengrajin payung lukis dari Thailand sedang sibuk dengan payung dan produk tradisional mereka| dokpri
para pengrajin payung lukis dari Thailand sedang sibuk dengan payung dan produk tradisional mereka| dokpri

Yang unik dan menarik pada Festival Payung kali ini bukan hanya menjadi ajang pamer kerajinan payung dari berbagai wilayah. 

Fespin X menyeret dua sastrawan kondang negri ini. Siapa yang tak kenal Joko Pinurbo dan Ki Dalang Sudjiwo Tedjo? Kehadiran duo sastrawan yang turut berkontribusi pada penulisan buku "Sepayung Bumi, Kumpulan Cerpen dan Puisi" tersebut seakan merupa mantra sastra yang memikat peminat frasa dan kumpulan kalimat penuh pikat estetika. 

Mungkin memanglah benar kata Cicero, "sebuah kamar tanpa buku, seperti tubuh tanpa jiwa".

Langkah kaki saya tertegun dalam beku. Indera visual saya menatap tetap pada payung-payung batik dengan ukuran diameter kurang lebih 2 meter yang dilukis oleh teman-teman dari ISI Yogyakarta tanpa sketsa dasaran. 

payung batik yang mengangkat tema perjalanan hidup manusia dari lahir hingga akhir hayat| dokpri 
payung batik yang mengangkat tema perjalanan hidup manusia dari lahir hingga akhir hayat| dokpri 

Penuh pesona, jemari para perupa seakan menembus atap angkasa penuh jelaga semesta. Aroma magis malam, tinta pada pucuk-pucuk canting para pelukis terus mengalir dalam perbincangan kecil kami yang melaju manis. Menyapu makna alur kehidupan dalam detak nadi semesta: canting, malam, dan mori.

Bersama setiap para pengunjung Fespin 2023, kembali saya dibawa masuk melalui pintu-pintu sejarah. Payung dalam proses perjalanannya memberi peneduhan kepada para pembuat dan pemakainya. 

payung lukis Juwiring memilih mengolah ulang kain-kain lurik yang digunakan sebagai media payung lukis| dokpri
payung lukis Juwiring memilih mengolah ulang kain-kain lurik yang digunakan sebagai media payung lukis| dokpri

kolaborasi seniman Ekuador dengan anak-anak siswa SMK 8 Surakarta| dokpri 
kolaborasi seniman Ekuador dengan anak-anak siswa SMK 8 Surakarta| dokpri 

Tepat 8 September yang lalu diperingati sebagai Hari Aksara Internasional 2023. Sebagai duta budaya, Fespin tak pernah luput pula membentangkan aksara Nusantara. 

Adalah ibu Putri Listyandari Rukmiyati. Beliau bersama sang putri, perupa muda jebolan Desain Komunikasi Visual ISI Surakarta, mencoba kembali meneguhkan pitutur luhur dalam serat Wredhatama di atas media payung.

Sangat beruntung saya bertemu beliau sebagai sesama pecinta aksara Jawa carakan, kami belajar, bertukar pikiran bersama-sama.

citra aksara Nusantara | dokpri 
citra aksara Nusantara | dokpri 

satu sudut layout Ibu Putri, payung beraksara| dokpri
satu sudut layout Ibu Putri, payung beraksara| dokpri

Layaknya kalimat merakyat, memayu hayuning bawana, ambrastha dur angkara, yang bermakna bilamana manusia di dunia ini harus mengusahakan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan; serta memberantas sifat angkara, tamak, dan keserakahan.

Selaras gending pengiring sukma mengalun, anak-anak manusia menyusur jejak peristiwa demi peristiwa.

fotobooth dari bunga dan daun kering yang banyak dikunjungi peminat kata dari usia muda maupun dewasa| dokpri
fotobooth dari bunga dan daun kering yang banyak dikunjungi peminat kata dari usia muda maupun dewasa| dokpri

Senja, 10 September 2023. Di atas jembatan pasar Gede Surakarta, fespin X usai bercerita | dokpri
Senja, 10 September 2023. Di atas jembatan pasar Gede Surakarta, fespin X usai bercerita | dokpri

Menabur benih aroma sastra di setiap musim pun semesta jagat raya, di mana payung senantiasa hadir penuh setia. Menuntun roda amarta berputar dari sudut sunyi keagungan para dewata hingga gempita tarian para jelata. Anda dan saya, adalah anak-anak kata, saksi-saksi yang dinanti paramasastra.

Sampai jumpa pada artikel berikutnya, salam sadar, salam bahagia. Rahayu.

Penulis

***

*Solo, saatnya meniti diri, kembali sadari kita hanyalah bagian dari alam semesta. Terima kasih untuk bapa Yohanes Tri dan Mas Lucky yang sudah membantu saya. Matur nuwun sanget.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun