Siang begitu cerah mendera langit kota Bengawan. Seturut jejak kaki, saya melangkah menyusuri lengkung simetris koridor bambu di halaman Balaikota Surakarta.
Sore hari kala itu, 8 September 2023 yang lalu, plaza Balaikota Surakarta dijejali oleh warga masyarakat yang berbondong menjadi bagian dari sejarah. Termasuk saya? Tentu saja!
Saya manut, bersedia duduk bersila; merumput bersama seluruh rasa takjub para pengunjung Festival Payung Indonesia.
Ya, kali ini gelaran Festival Payung Indonesia (Fespin) 2023 mengunjungi era satu dasawarsa.
Sengaja mengambil tema "Sepayung Bumi, Alam adalah Kita" Fespin berupaya menggemakan kegaduhan batin anak manusia.Â
Selurus dengan perubahan iklim yang sempat menjadi perbincangan viral di dunia maya, Fespin hadir sebagai perpanjangan tangan para budayawan dan seniman dari seluruh persada.Â
Fespin hadir ingin mengajak kita kembali menyadari bahwa sejatinya kita adalah bagian dari alam.
Fespin hadir mengingatkan kita dampak dua sisi koin dari peristiwa El Nina maupun El Nino pada kebakaran hutan, gunung, gelombang panas laut, udara pekat partikel jahat, tanah kering, gagal panen, maupun dampaknya terhadap sektor bahari kita.
Insiden karhutla ironisnya menjadi berita yang sudah terlampau sering kita dengar. Semenjak Desember 2022 yang lalu, sepertinya kasus karhutla semakin marak terjadi.
Memang, kekeringan bukan satu-satunya penyebab terjadinya karhutla, bisa saja karhutla terjadi akibat ulah usil segelintir manusia.
Namun demikian, dampak perubahan iklim akibat fenomena El Nino tak hanya dirasakan setiap makhluk hidup di daratan saja. Suhu air laut yang menghangat tentu bukan menjadi soal bagi para penikmat aktivitas pantai.Â
Akan berbeda dengan makhluk hidup di laut yang habitatnya pada suhu air tertentu. Sudah barang tentu makhluk-makhluk tersebut akan merasa gerah abis! Akan berdampak pada kegiatan sektor perikanan laut? Yaiyala.
Lantas, siapa yang peduli? Terlebih, kondisi bumi semakin diperparah dengan partikel-partikel kimia tak bersahabat dengan tubuh mulai mengisi ruang berudara. Tak ayal, jumlah kasus beragam sakit penyakit terutama ISPA dikuatirkan akan berajojing ria!Â
Sikap arogansi sebagai "pengusaha" keseimbangan alam, mengubah manusia seolah menjadi "penguasa" alam seakan lupa bahwa jati diri manusia adalah bagian dari kesemestaan alam itu sendiri. Lantas, polutan dengan gampang ditunjuk sebagai penyebab bumi terasa tak nyaman lagi ditinggali.
Fespin X pada tahun ini hadir penuh dengan rangkaian rasa dan karsa dari welas asih terhadap lingkungan.Â
Payung sebagai salah satu wujud inovasi teknologi telah digunakan selama berabad, bahkan ribuan tahun lamanya.
Banyak ahli menyatakan bahwa payung telah menjadi simbol kekuasaan semenjak masa peradaban Mesopotamia 5000 tahun yang lalu.
Bahkan masyarakat Tiongkok telah menggunakan payung sebagai pelindung dari terik matahari sejak 3500 SM.
Dalam evolusinya, payung menjelma sebagai replika strata kelompok sosial tertentu.
Selain Tiongkok dan Mesopotamia, Mesir serta masyarakat belahan bumi Utara seperti masyarakat Eropa mengembangkan payung dalam beragam fungsinya yang tidak hanya menjadi simbol kekuasaan para praja dan bangsawan, melainkan menjelma menjadi salah satu aksesoris cantik dalam dunia fashion.
Selain para seniman dan budayawan negri sendiri, Fespin X masih menjadi wadah bagi duta negara manca untuk ikut meraya pada momentum bersejarah ini. Seperti para pelukis payung yang sempat nggedabrul alias berbincang dengan saya di Fespin X beberapa hari yang lalu.
Yang unik dan menarik pada Festival Payung kali ini bukan hanya menjadi ajang pamer kerajinan payung dari berbagai wilayah.Â
Fespin X menyeret dua sastrawan kondang negri ini. Siapa yang tak kenal Joko Pinurbo dan Ki Dalang Sudjiwo Tedjo? Kehadiran duo sastrawan yang turut berkontribusi pada penulisan buku "Sepayung Bumi, Kumpulan Cerpen dan Puisi"Â tersebut seakan merupa mantra sastra yang memikat peminat frasa dan kumpulan kalimat penuh pikat estetika.Â
Mungkin memanglah benar kata Cicero, "sebuah kamar tanpa buku, seperti tubuh tanpa jiwa".
Langkah kaki saya tertegun dalam beku. Indera visual saya menatap tetap pada payung-payung batik dengan ukuran diameter kurang lebih 2 meter yang dilukis oleh teman-teman dari ISI Yogyakarta tanpa sketsa dasaran.Â
Penuh pesona, jemari para perupa seakan menembus atap angkasa penuh jelaga semesta. Aroma magis malam, tinta pada pucuk-pucuk canting para pelukis terus mengalir dalam perbincangan kecil kami yang melaju manis. Menyapu makna alur kehidupan dalam detak nadi semesta: canting, malam, dan mori.
Bersama setiap para pengunjung Fespin 2023, kembali saya dibawa masuk melalui pintu-pintu sejarah. Payung dalam proses perjalanannya memberi peneduhan kepada para pembuat dan pemakainya.Â
Tepat 8 September yang lalu diperingati sebagai Hari Aksara Internasional 2023. Sebagai duta budaya, Fespin tak pernah luput pula membentangkan aksara Nusantara.Â
Adalah ibu Putri Listyandari Rukmiyati. Beliau bersama sang putri, perupa muda jebolan Desain Komunikasi Visual ISI Surakarta, mencoba kembali meneguhkan pitutur luhur dalam serat Wredhatama di atas media payung.
Sangat beruntung saya bertemu beliau sebagai sesama pecinta aksara Jawa carakan, kami belajar, bertukar pikiran bersama-sama.
Layaknya kalimat merakyat, memayu hayuning bawana, ambrastha dur angkara, yang bermakna bilamana manusia di dunia ini harus mengusahakan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan; serta memberantas sifat angkara, tamak, dan keserakahan.
Selaras gending pengiring sukma mengalun, anak-anak manusia menyusur jejak peristiwa demi peristiwa.
Menabur benih aroma sastra di setiap musim pun semesta jagat raya, di mana payung senantiasa hadir penuh setia. Menuntun roda amarta berputar dari sudut sunyi keagungan para dewata hingga gempita tarian para jelata. Anda dan saya, adalah anak-anak kata, saksi-saksi yang dinanti paramasastra.
Sampai jumpa pada artikel berikutnya, salam sadar, salam bahagia. Rahayu.
Penulis
***
*Solo, saatnya meniti diri, kembali sadari kita hanyalah bagian dari alam semesta. Terima kasih untuk bapa Yohanes Tri dan Mas Lucky yang sudah membantu saya. Matur nuwun sanget.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H