Yang unik dan menarik pada Festival Payung kali ini bukan hanya menjadi ajang pamer kerajinan payung dari berbagai wilayah.Â
Fespin X menyeret dua sastrawan kondang negri ini. Siapa yang tak kenal Joko Pinurbo dan Ki Dalang Sudjiwo Tedjo? Kehadiran duo sastrawan yang turut berkontribusi pada penulisan buku "Sepayung Bumi, Kumpulan Cerpen dan Puisi"Â tersebut seakan merupa mantra sastra yang memikat peminat frasa dan kumpulan kalimat penuh pikat estetika.Â
Mungkin memanglah benar kata Cicero, "sebuah kamar tanpa buku, seperti tubuh tanpa jiwa".
Langkah kaki saya tertegun dalam beku. Indera visual saya menatap tetap pada payung-payung batik dengan ukuran diameter kurang lebih 2 meter yang dilukis oleh teman-teman dari ISI Yogyakarta tanpa sketsa dasaran.Â
Penuh pesona, jemari para perupa seakan menembus atap angkasa penuh jelaga semesta. Aroma magis malam, tinta pada pucuk-pucuk canting para pelukis terus mengalir dalam perbincangan kecil kami yang melaju manis. Menyapu makna alur kehidupan dalam detak nadi semesta: canting, malam, dan mori.
Bersama setiap para pengunjung Fespin 2023, kembali saya dibawa masuk melalui pintu-pintu sejarah. Payung dalam proses perjalanannya memberi peneduhan kepada para pembuat dan pemakainya.Â
Tepat 8 September yang lalu diperingati sebagai Hari Aksara Internasional 2023. Sebagai duta budaya, Fespin tak pernah luput pula membentangkan aksara Nusantara.Â
Adalah ibu Putri Listyandari Rukmiyati. Beliau bersama sang putri, perupa muda jebolan Desain Komunikasi Visual ISI Surakarta, mencoba kembali meneguhkan pitutur luhur dalam serat Wredhatama di atas media payung.